SAAT duduk di langgar tua sang kakek, cucu bertanya bagaimana cara menjadi orang yang ridla atas segala ketentuan Allah. Kakek terdiam sejenak lalu meminum kopi yang kental dengan sahar hitam setengah kasar itu. Sang kakek lalu menghela napas panjang dan berkata lirih: “Tolehkan matamu pada apa yang ada, tutuplah matamu dari yang tiada.”
Sang cucu mungkin masih terlalu muda usia untuk langsung memahami makna kata sang kakek. Kakekpun memberikan syarah atas kata-kata singkat tadi bahwa memandangnya mata akan apa yang menjadi milik orang lain seringkali menggoda rasa untuk memilikinya. Saat gagal memilikinya, biasanya akan lahir keluhan akan nasib atau celaan akan milik orang lain. Sikap seperti ini adalah wujud sikap tak ridla yang sangat tak disuka Allah. Sang cucu mengangguk dan mencatat kata-kata kakeknya dalam kepalanya, mengingat dan menghapalkannya.
Lalu sang cucu bertanya: “Tapi kakek, bukankah cita-cita itu adalah mengharapkan apa yang belum ada. Lalu apakah orang yang bercita-cita itu adalah orang yang tidak ridla?” Sungguh pertanyaan cerdas sekali, menurut saya. Entah sang kakek bisa menjawab dengan baik apa tidak. Tiba-tiba nenek keluar dari dapur menuju langgar itu membawa sepiring pisang goreng yang masih “aktual” alias hangat plus ketela pohon rebus kesukaan kakek. Kakek tersenyum sambil berkata kepada cucunya: “Ayo dimakan cucuku. Kalau ada ketela rebus begini, biasanya kecerdasan saya naik beberapa digit.”
“Jawabannya bagaimana Kek?” tanya sang cucu. Setelah habis dua potong ketela rebus si kakek menjawab: “Bercita-cita itu adalah optimis. Optimis itu memang berharap sesuatu yang belum ada, namun optimis itu didasarkan pada mensyukuri apa yang ada. Selama masih mensyukuri apa yang ada, maka itu tidak keluar dari zona ridla.”
Senangnya ya jika komunikasi kakek dan cucu berbobot seperti ini. Diskusinya penuh nilai, mencerahkan. Mari kita ikut merenungkan kalimat-kalimat kakek di atas. Salam, AIM.[*]
Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi