Diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
إِنِّي سَمِعْتُهُ يَقُولُ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنَ الصَّلاَةِ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، قَالَ: وَكَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ المَالِ، وَمَنْعٍ وَهَاتِ، وَعُقُوقِ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدِ البَنَاتِ
“Sesungguhnya aku pernah mendengar beliau selalu mengucapkan doa selesai shalat, yaitu;
LAA ILAAHA ILLALLAAH, WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR
(Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia maha berkuasa atas segala sesuatu)
Beliau mengucapkannya hingga tiga kali. Dan beliau juga melarang “qiila wa qaala”; banyak bertanya [1]; menghambur-hamburkan harta [2]; tidak mau melaksanakan kewajiban; meminta sesuatu yang bukan haknya; mendurhakai ibu; dan mengubur hidup-hidup anak perempuan.” (HR. Bukhari no. 6473)
Terdapat beberapa penjelasan tentang makna “qiila wa qaala”, yaitu [3]:
Pertama, mengutip atau menyebar semua berita yang dia dengar, dia mengatakan, “Katanya demikian sih” atau “Si fulan mengatakan ini” atau “Denger-denger kabarnya begitu”. Padahal dia tidak mengetahui apakah itu informasi (berita) yang valid ataukah tidak. Dan dia sendiri tidak bisa (atau belum bisa) memastikan apakah berita itu berita yang valid ataukah tidak. Orang semacam ini disebut sebagai pendusta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5, Abu Dawud no. 4992 dan An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 11845)
Model pertama ini misalnya sibuk dengan berita gosip, desas-desus, atau hoax yang tidak benar. Apalagi jika berita gosip itu berkaitan dengan kehormatan ustadz, ulama, atau pemimpin (pemerintah) kaum muslimin. Tentu lebih parah lagi bahaya yang bisa ditimbulkannya.
Kedua, seseorang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya dengan membahas dan mengutip berita. Sebagaimana yang kita jumpai saat ini, yaitu orang-orang yang mengisi majelis mereka dengan sibuk mencermati, mengutip, dan mengomentari berita yang memang benar (valid). Sibuk harus merasa tahu semua berita yang viral hari ini, entah di media online atau media sosial, padahal berita benar itu tidak ada manfaat dan kepentingannya untuk dirinya.
Di antara model pengertian kedua ini adalah sibuk mencari berita tentang kehidupan artis, entah si artis menikah (lagi), atau bercerai, atau belanja, atau sedang wisata ke suatu tempat, atau sedang ke salon, dan seterusnya, yang tidak ada manfaatnya kita mengetahui seluk beluk dan detil kehidupan mereka.
Jika orang awam sibuk membicarakan artis, bisa jadi kalangan penuntut ilmu (thalibul ‘ilmi) sibuk membicarakan ustadznya. Entah sang ustadz yang menikah (lagi), entah sang ustadz beli barang baru, dan kabar-kabar pribadi lainnya yang tidak ada manfaatnya kita menghabiskan waktu untuk membahas dan membicarakan kehidupan pribadi beliau dan keluarganya. Oleh karena itu, kita tidak perlu merasa selalu ingin tahu tentang kehidupan pribadi seseorang jika tidak ada kaitannya dengan suatu kewajiban yang harus kita kerjakan sebagai sesama kaum muslimin.
[Selesai]
M Saifudin Hakim
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50908-menyibukkan-diri-dengan-berita.html