Seandainya Nabi Bersikap Keras, Tentu Mereka Akan Menjauh

Perang Uhud adalah salah satu momen kritis dari kehidupan Nabi. Pasukan yang di atas bukit melanggar perintah Nabi. Mereka turun meninggalkan pos-nya karena khawatir tidak mendapat harta pampasan perang. Kesalahan ini fatal. Pasukan porak poranda. Kemenangan yang hampir diraih menjadi ambyar.

Nabi Muhammad pun dikepung musuh. Gigi beliau ada yang tanggal. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipi Kanjeng Nabi. Paman beliau, Sayidina Hamzah, pun menjadi korban dengan tragis. Parahnya lagi, sejumlah pasukan melarikan diri dari pertempuran. Bahkan sempat terdengar berita bahwa Nabi Muhammad telah terbunuh. Pendek kata, akibat ketidakpatuhan sebagian pasukan, kondisi jadi kocar-kacir. Kesalahan mereka teramat jelas dan konsekuensinya teramat berbahaya bagi Nabi dan juga kelangsungan agama Islam.

Namun, apa sikap Nabi? Apa yang Nabi lakukan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran besar tersebut?

Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159 memberi jawaban:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka….”

Syekh Abu Zahrah dalam Zahratut Tafasir menjelaskan:

‎والمعنى: بسبب رحمة أي رحمة عظيمة فياضة أفاضها المولى العلي القدير كنت لئنا معهم في كل أحوالك، وكنت لينا لهم بعد الأخطاء التي وقعوا فيها، والكارثة التي نتجت عن مخالفتك، فما لمُتَهُم، ولا عنَّفْتَهم بل سكت حيث رأيت ما أصابهم من غم استغرقهم، وحزن استولى عليهم، ولقد شكر الله سبحانه وتعالى لنبيه ذلك اللين

“Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat yang agung bagi semesta. Di dalam jiwa dan raganya ada rahmat Allah. Rahmat Allah inilah yang menyebabkan Nabi bersikap lemah lembut dalam segala kondisi, bahkan pada kondisi perang sekalipun, di saat perbuatan sebagian pasukannya melakukan kesalahan yang benar-benar membahayakan beliau dan agama Allah.”

Lanjutan bunyi ayatnya:

“….. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”

Tafsir al-Maraghi menjelaskan:

‎أي ولو كنت خشنا جافيا فى معاملتهم لتفرقوا عنك، ونفروا منك، ولم يسكنوا إليك، ولم يتم أمرك من هدايتهم وإرشادهم إلى الصراط السوىّ

Ayat di atas menegaskan bahwa Nabi tidak bersikap keras. Nabi juga tidak berhati kasar. Bukan hanya sikap lahiriah beliau yang tidak keras, tapi hati beliau pun tidak kasar. Wajah beliau Saw tidak menampakkan kemarahan. Hati beliau tidak panas membara, apalagi mendendam. Kalau itu beliau lakukan, maka bukan saja mereka akan lari dari medan pertempuran, tapi mereka akan berlari menjauhkan diri dari Nabi Muhammad.

Tak terdengar caci maki. Tak terdengar sumpah serapah. Tak ada teriakan bunuh-bunuh-bunuh. Tak ada kata-kata: penistaan agama! Tak ada teriakan takbir yang membahana sebagai luapan emosi.

Tidaklah baik jika seseorang hanya puas dengan ilmu yang ada pada dirinya, tanpa menghiasinya dengan akhlaq yang baik, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Apakah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengaku ikut kepada beliau SAW, berlaku buruk kepada orang-orang beriman, berperilaku kejam, berhati keras, dan berucap yang tidak terpuji? Hanya karena satu kesalahan, kita lupa akan sembilan kebaikan saudara kita.

Jika rahmat Allah sudah ada di jiwa, yang muncul adalah sikap lemah lembut. Mereka mendekat pada Islam karena kelembutan akhlak Rasul. Tapi kini banyak yang menjauh dari Islam karena kejelekan akhlak kita. Duh, Gusti….

Potongan dari ayat selanjutnya lebih menggetarkan lagi:

“…. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlahdengan mereka dalam urusan itu…”

Dalam Tafsir al-Munir, Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:

‎وإذا كنت يا محمد بهذه الأخلاق فاعف عنهم، وتجاوز عما صدر منهم، واطلب لهم المغفرة من الله حتى يغفر لهم، وشاورهم في أمور السياسة العامة ومصالح الأمة في الحرب والسلم، وكل شؤون المصالح الدنيوية

Kesalahan mereka yang begitu besar itu, malah Allah suruh Nabi Muhammad SAW untuk melakukan tiga hal secara berurutan: Pertama, maafkanlah mereka. Kedua, memohonkan ampunan bagi mereka. Ketiga, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan siyasah dan kemaslahatan umum seperti peperangan dan perdamaian.

Luar biasa. Mereka yang bersalah, bukan mendapat hukuman, malah dimaafkan oleh Nabi. Padahal kita tahu kesalahan mereka amat berat. Tidak cuma Nabi memaafkan, bahkan Nabi pun memohon agar Allah mengampuni kesalahan mereka. Setelah itu, orang-orang yang bersalah itu tetap dirangkul dan diajak bicara sambil bermusyawarah. Mereka tidak diisolir. Mereka tidak dimasukkan penjara. Mereka tetap dianggap punya hak yang sama dengan para Sahabat Nabi lainnya untuk duduk bersama-sama, berdiskusi dan turut serta bermusyawarah.

Tafsir al-Wasith karya Sayyid Thantawi menerangkan:

‎وقد جاءت هذه الأوامر للنبي صلّى الله عليه وسلّم، على أحسن نسق، وأحكم ترتيب، لأن الله تعالى أمره أولا بالعفو عنهم فيما يتعلق بخاصة نفسه، فإذا ما انتهوا إلى هذا المقام، أمره بأن يستغفر لهم ما بينهم وبين الله تعالى، لتنزاح عنهم التبعات، فإذا صاروا إلى هذه الدرجة، أمره بأن يشاورهم في الأمر لأنهم قد أصبحوا أهلا لهذه المشاورة

Inilah bukti bahwa Nabi itu diutus sebagai rahmat semesta alam, dan rahmat Allah telah ada dalam diri beliau SAW, sehingga secara tertib (sesuai urutannya) beliau bersikap lemah lembut, memaafkan dan tetap menghormati serta merangkul mereka.

Maka syarat untuk ketemu dan bermusyawarah itu gak boleh ada ganjalan di hati. Maafkan dulu, lalu doakan mereka, baru kemudian duduk bertemu. Kalau belum dimaafkan dan didoakan, maka nanti jalannya musyawarah hanya penuh emosi dan saling menyalahkan.

Bagian akhir ayat menegaskan:

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Kitab Shafwatut Tafasir menjelaskan:

‎{فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى الله}
‎أي إِذا عقدت قلبك على أمر بعد الاستشارة فاعتمد على الله وفوّض أمرك إِليه
‎{إِنَّ الله يُحِبُّ المتوكلين}
‎أي يحب المعتمدين عليه، المفوضين أمورهم إِليه

Apapun hasil musyawarah, harus kita patuhi untuk kita bertekad menjalankannya. Dalam musyawarah, Nabi Muhammad bisa mengajak para sahabatnya melakukan introspeksi, bisa pula memberi nasehat, dan kemudian mengatur strategi berikutnya. Setelah tercapai kesepakatan, laksanakanlah dengan bertawakal kepada Allah. Hasil akhir kita serahkan pada kuasa Allah karena Allah menyukai orang yang berserah diri.

Mereka yang sering marah-marah, berhati kasar, bersikap keras, enggan memaafkan, tidak mau mendoakan saudaranya, bahkan diajak duduk bersama saja untuk bermusyawarah tidak mau, maka mereka itu tidak mengikuti akhlak Kanjeng Nabi SAW, baik mereka itu memakai sorban atau peci, gamis atau baju batik, cingkrang atau sarung, atau siapapun.

Semoga kita semua dapat meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW.

Allahumma shalli ‘ala Nabiyyir rahmah
Allahumma shalli ‘ala Syafi’il ummah

ISLAMIco