SAUDARAKU, ketika mempelajari sejarah kita banyak menemukan kisah-kisah manusia yang hidupnya sibuk dalam kemegahan dunia. Perjalanannya adalah perjalanan mengumpulkan harta. Seolah harta yang dimiliki tidak pernah cukup. Namun ironisnya, kebanyakan dari kisah-kisah seperti itu berakhir dengan kehancuran. Salah satu kisah yang paling termasyhur adalah kisah Qarun.
Di dalam surah al-Qashash [28] ayat 76-82, kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa, yang diberikan karunia oleh Allah SWT berupa harta yang berlimpah-ruah banyaknya. Tetapi, dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya. Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakan umat Bani Israil lainnya, dikarenakan mereka merasa iri terhadap Qarun. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikap yang mengkufuri nikmat Allah SWT.
Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah saw juga bekerja, bahkan sejak usianya sangat belia.
Allah menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 22)
Jelas sudah, kekayaan alam ini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Namun, yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatkan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.
Saat ini, bukan hal asing ketika manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan hal asing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba-coba ilmu hitam.
Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang, apa artinya pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itu sama sekali tak memberi pengaruh apa-apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berkurang dan lain sebagainya.
Saudaraku, marilah kita renungkan pesan Allah SWT yang terkandung dalam surah at-Takatsur ini, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. at-Taktsur [102]: 1-8)
Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Tiada satu pun yang luput dari pemberian-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekadar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artinya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.
Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parkir. Seorang tukang parkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya. Karena ia menyadari betul, semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang datang dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.
Demikianlah pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia Yang Mahakaya telah menitipkannya kepada kita, sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan-titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.
Tidak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba-lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan. [*]
Tidak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba-lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan. [*]
Oleh :Â KH Abdullah Gymnastiar