Ular cukup banyak disebut dalam Alquran.
Ular cukup banyak disebut dalam Alquran. Kebanyakan ayat-ayat tersebut berkaitan dengan kisah mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Musa. Dalam ayat Alquran digambarkan apa yang terjadi saat pertemuan antara Nabi Musa dan Firaun.
“Dan Musa berkata, “Wahai Fir’aun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh alam, aku wajib mengatakan yang sebenarnya tentang Allah. Sungguh, aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersamaku.” Dia (Fir’aun) menjawab, “Jika benar engkau membawa sesuatu bukti, maka tunjukkanlah, kalau kamu termasuk orang-orang yang benar.” Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya.” (al-A’raf :104-107)
Ular disebut tsu‘ban, hayyan, dan jan. Dalam cerita Nabi Musa dikisahkan bahwa tongkat yang ia lemparkan berubah menjadi seekor ular yang merayap (hayyatun
tas‘a) (Toha: 20). Di tempat lain disebutkan tongkat itu bergerak- gerak laksana seekor ular yang gesit (ka’annaha jan) (al-Qasas: 31).
Disebutkan pula bahwa tongkat itu berubah menjadi ular yang sebenarnya (su‘banun mubin) (al-A’raf: 107, asySyu’ara’: 32). Perbedaan ungkapan itu bisa dipahami dengan menjadikan beberapa peristiwa itu sebagai sebuah proses.
Artinya, pada awalnya tongkat itu berubah menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat, kemudian berubah menjadi seekor ular kecil yang gesit, dan akhirnya menjadi ular besar yang sebenarnya. Ada pula yang menafsirkan bahwa tongkat Nabi Musa telah berubah menjadi seekor ular yang lincah dan gesit seperti ular
kecil, namun sangat menakutkan seperti ular besar.
Sebagian mufasir yang lain mengatakan bahwa perbedaan ungkapan itu disebabkan perbedaan tempat terjadinya mukjizat—mukjizat terjadi berkali-kali di tempat yang berbeda. Menurut yang terakhir ini perubahan bentuk tongkat menjadi ular jantan yang besar terjadi di hadapan Firaun, sedangkan perubahannya menjadi ular kecil terjadi pada malam ketika Nabi Musa diseru Allah untuk pertama kalinya.
Ada juga yang memahami su’ban berarti ular yang panjang dan lincah, hayyah berarti tumpukan badan ular yang menyatu dan menakutkan, sedang jan berarti ular
yang sangat menakutkan. Perbedaan penampakan ular itu disesuaikan dengan tempat, sasaran, dan tujuan penampakannya.
Perbedaan penyebutan bentuk ular dalam kisah Nabi Musa merupakan salah satu bukti kehebatan Alqur’an dalam memilih kata-kata yang harmonis sesuai situasi dan konteks kisah secara keseluruhan. Kalau tongkat itu hanya berubah menjadi seekor ular yang merayap, mengapa Musa melihat ular itu bergerak gesit dan seberapa besar ular itu hingga membuat Firaun begitu takut ketika Musa melemparkan tongkatnya, masih perlu jawaban.
Pertemuan Musa dan Firaun merupakan kisah yang sering diulang dalam al-Qur’an, bahkan bisa dikatakan kisah ini adalah peristiwa yang paling banyak diulang dari sekian banyak pengulangan kisah-kisah dalam AlQur’an. Pemunculan mukjizat ular ini dapat dipahami sebagai upaya Al-Qur’an untuk menunjukan arti penting pertemuan Musa dan Firaun.
Bahwa pada setiap zaman akan ada perseteruan antara yang hak dan batil, yang berkesudahan dengan kemenangan yang hak dan berasal dari Allah. Dalam Surah Toha: 66 dan asy-Syu’ara’: 44, ular-ular yang dilemparkan oleh penyihir-penyihir Firaun diungkapkan dengan lafal hibal.
Hibal (plural) dalam dua ayat ini oleh para mufasir ditafsirkan sebagai tali, yakni tali yang terlihat oleh mata manusia. Tali-tali tersebut dengan pengaruh sihir mereka tampak seperti ular-ular yang bergerak dan menjalar untuk menakuti Nabi Musa. Akhirnya, berkat mukjizat yang diberikan Allah, Nabi Musa melemparkan tongkatnya yang kemudian berubah menjadi ular besar yang memakan ular-ular penyihir Firaun. Ini membuktikan betapa sihir tidak akan dapat mengalahkan mukjizat Allah.
Nabi Musa agak takut dan ragu untuk bernegosiasi dengan Firaun dan para pejabatnya. Sementara ulama mengatakan bahwa Musa bukannya ragu untuk menjalankan misi tersebut. Ia sangat yakin akan perintah dan janji Allah, hanya saja ia belum sepenuhnya mendalami apa yang Allah bebankan kepadanya.
Lebih-lebih, Musa sedang mempunyai masalah yang belum terselesaikan dengan Firaun saat itu. Musa dikejar-kejar tentara Firaun karena salah seorang anak buahnya mati di tangan Musa. Belum lagi masalah itu selesai, Allah justru memintanya menemui Firaun dan mengingatkannya akan eksistensi Allah.
Karena pertimbangan itu ia menyatakan keberatannya dari sudut manusiawinya, suatu hal yang kemudian dijawab oleh Allah dengan mengijinkan Harun, saudara Musa, untuk ikut dengannya dalam misi ini.