Sikap berlebih-lebihan dalam semua aspek kehidupan dilarang oleh Allah Ta’ala dan tidak disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika dalam hal ibadah sikap berlebih-lebihan saja dilarang, maka lebih-lebih lagi larangan berlebih-lebihan dalam hal-hal yang dibolehkan seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya.
Disebutkan dalam surat al-A’raf, Allah Ta’ala memerintahkan makan dan minum, serta melarang tindakan berlebih-lebihan dengan redaksi, “Dan janganlah berlebih-lebihan.” Sebab, Allah Ta’ala tidak menyukai sikap tersebut. Dia Menghendaki hamba-hamba-Nya berlaku tawazun, seimbang dalam segala aspek kebaikan dan yang dibolehkan.
Maka ketika ada sekelompok sahabat yang berhasrat melakukan puasa di sepanjang siang dan begadang setiap malam untuk melakukan shalat malam, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya. Beliaulah sebaik-baik teladan dalam ibadah yang tiada dijumpai sedikit pun kekurangan atau kesalahan di dalamnya.
Selanjutnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyariatkan shalat malam sebanyak setengah malam, sepertiga malam, atau sebagian kecil dari malam. Diatur dengan baik, agar sesuai dengan sifat manusiawi umatnya yang membutuhkan istirahat.
Terkait puasa, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mensyariatkan puasa sunnah hari Senin dan Kamis, puasa Tengah Bulan Hijriyah sebanyak tiga hari, puasa Daud dan puasa-puasa sunnah lainnya. Sebab, seorang hamba berkewajiban menafkahi keluarganya dengan bekerja, dan juga memenuhi hak istrinya dalam hubungan biologis.
Karena itu, yang terbaik adalah bersikap tawazun. Pertengahan. Ada waktunya ibadah, istirahat, mencari nafkah, berhibur dengan yang halal dan dibolehkan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, amat penting menjadi catatan tentang definisi berlebih-lebihan dalam hal ini. Ialah kondisi seimbang sehingga tidak ada yang dizalimi. Semuanya dilakukan dengan baik dan sesuai aturan.
Artinya, jika seseorang mampu melakukan shalat sunnah selama setengah malam penuh, dilanjutkan dengan puasa sunnah Daud, membaca al-Qur’an, dan ibadah lainnya dengan tidak menzalimi hak-hak diri berupa makan dan minum secara cukup, memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dalam hal nafkah, dan lain sebagainya, maka ianya tidak disebut berlebih-lebihan.
Pasalnya, larangan berlebih-lebihan ini sering digunakan dalil bagi segelintir oknum untuk bermalas-malasan dalam beribadah.
Wallahu a’lam.