Para ulama membagi pelaksanaan shalat malam dalam tujuh bagian.
Menghidupkan malam sesungguhnya memiliki tujuh tingkatan waktu yang dapat diterapkan dalam aktivitas malam sehari-hari. Hal ini agar shalat malam tak luput dari prioritas penunjang para kaum Muslim.
Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam kitabnya yang dialihbahasakan menjadi Saripati Ihya Ulumiddin menjelaskan, menghidupkan malam adalah keadaan orang-orang kuat yang meluangkan diri semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT.
Menghidupkan ibadah dalam waktu malam menurut beliau dibaratkan seperti makanan dan kehidupan bagi hati mereka hamba-hamba Allah SWT yang saleh.
Pertama, adalah bangun malam untuk menghidupkan seluruh malam. Sebanyak 40 orang tabiin terkenal melakukan bangun malam sedemikian rupa untuk menghidupkan ibadah malamnya. Kedua, bangun setengah waktu malam.
Ketiga, bangun sepertiga waktu malam pada paruh terakhir malam. Keempat, bangun seperenam waktu malam pada paruh terakhir malam atau seperlimanya. Kelima, tidak mengikuti cara-cara di atas, tetapi dia tidur dan bangun malam di bagian malam yang tidak ditentukan.
Keenam, bangun malam seukuran empat rakaat atau dua rakaat. Ketujuh, ketika dia tidak bangun di tengah malam, seyogianyalah dia tidak melalaikan bangun sebelum shubuh pada waktu sahur dan jangan juga ia masuk di waktu shubuh dalam keadaan masih tidur.
Adapun bangun malamnya Rasulullah SAW dalam hal kadar, tidaklah berdasar pada satu tertib tertentu. Adakalanya Rasulullah SAW bangun separuh malam, atau sepertiganya, atau dua pertiganya, seperenamnya dengan berbeda-beda pada malam yang beliau lalui.
Hal ini juga ditegaskan Allah SWT dalam Alquran surah al-Muzammil ayat 20, yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri (bangun malam) kurang dari dua pertiga malam, seperduanya, atau sepertiganya,”.