KEBANYAKAN orang ingin dirinya dikesankan sebagai orang baik, orang hebat, orang berprestasi. Sebenarya, pada tataran yang normal, keinginan seperti ini adalah normal-normal saja alias wajar.
Namun saat keinginan itu melampaui batas kewajaran, biasanya muncullah upaya manipulasi diri dan pembohongan publik demi untuk menutupi sifat aslinya dengan memunculkan sifat palsu. Bisa saja upaya ini sukses, namun biasanya tak lama akan terbaca dan terbongkar. Hati manusia normal itu sangat peka terhadap kepalsuan.
Dalam tataran keilmuan, ada orang yang copy paste tulisan orang lain tanpa menyebutkan penulis aslinya demi untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa dirinyalah yang cerdas dan pintar. Sekali dua kali bisa jadi berhasil mendapatkan kesan sebagai orang cerdas, namun pada saatnya nanti akan terlihat bahwa kesan itu tak layak disematkan padanya.
Ada juga orang yang menampilkan diri sebagai orang tersabar sedunia, selalu tersenyum (saat dilihat banyak orang) namun sering menghina dan mengumpat jika tak di depan banyak orang. Sekali dua kali mungkin dia sukses menggaet kesan sebagai orang baik nan murah senyum. Namun pada saatnya nanti akan terbaca bahwa semuanya adalah palsu.
Teknik rekayasa diri pun berkembang bukan terbatas pada rekasaya penampilan diri. Ada yang sangat berbahaya, yaitu rekayasa diri dengan menjadikan orang lain sebagai korban, dengan cara menjelek-jelekkan orang lain, demi mengangkat harga dirinya sendiri. Bisa jadi dengan mengubah susunan kata orang lain yang memungkinkan memiliki makna berbeda dengan kata-kata aslinya, bahkan bisa jadi dengan mengubah intonasi atau nada serta bahasa tubuh orang lain yang mengesankan bahwa orang yang ditiru itu adalah orang tak baik. Hati-hatilah mengutip kata orang lain, tanggungjawabnya bukan hanya pada masalah susunan kata, melainkan juga pada intonasi yang memungkinkan punya kesan berbeda.
“Emas 24 karat itu tak usah direkayasa, ia akan tetap mulia dan berharga. Besi adalah besi walau direkasaya diwarnai dan dilapisi emas.” Demikian petuah para sesepuh yang meyakinkan para generasi berikutnya untuk tampil apa adanya, tanpa rekayasa.
Sekali lagi, hati manusia normal itu adalah peka. Pada saatnya ia akan tahu mana yang asli dan mana yang palsu. Salam, AIM. [*]
Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi