SAUDARAKU. Misalkan ada yang berikhtiar mencari sebuah rumah. Rumah itu ada di tengah hutan pegunungan yang luas. Orang itu hanya tahu ada rumah di sana, tapi ia tidak tahu alamat maupun arahnya. Lalu, karena merasa, kuat, berani, dan keren, dia langsung masuk saja ke dalam hutan. Ia pun mengabaikan papan peringatan.
Akibatnya, setelah menempuh beberapa puluh meter ia mulai bingung dan gugup. Mencapai seratusan meter sudah sering terpeleset, dan memaki-maki hutan yang menanjak dan curam. Maju lagi sekian langkah makin pusing, karena berjalan sambil tak henti berpikir. Hingga ia pun menggigil saat mendengar ada suara mengaum. Saat itu ia tersadar sedang berpegangan pada papan Peringatan.
Lalu, ia melihat lagi apa yang tertulis di sana: “Bagi Yang tidak tahu jalan, silakan melapor dan pasrahkan sepenuhnya kepada kami. Akan kami antarkan sampai tujuan dengan tepat dan selamat.” Ia meneriaki dirinya sendiri, “Mengapa tidak melapor dari tadi? Saya benar – benar bodoh!”
Kemudian ia melapor. Disampaikannya bahwa ia mencari sebuah rumah di dalam hutan. Tanpa berani menceritakan apa yang telah dialami sebelumnya. Tapi sebetulnya penunjuk jalan juga sudah menyaksikan dari menara, serta dari pakaiannya yang kumal dan sobek Hanya pura-pura tidak tahu demi menjaga perasaan orang itu.
“Baiklah, sudah jadi janji kami untuk mengantarkan. Tapi tas yang setinggi badanmu ini isinya apa?” Orang itu menjawab,” ini hanya beras, alat masak, dan gas elpiji 12 kilo.” “Tidak perlu! Tinggalkan semua, di hutan banyak makanan.Termasuk kedua galon air yang diikat di lehermu itu juga tinggalkan, di sana ada mata air.”
Setelah orang itu siap, penunjuk jalan berkata lagi. “Kamu ikuti saja, saya sama sekali tidak akan menyesatkan. Dijamin sampai dan selamat kalau kamu pasrahkan sepenuhnya kepada saya. Karena saya juga yang membangun rumah itu.” Lalu mereka pun berangkat.
Ketika jalan mulai menanjak, orang itu berkata. “Mengapa harus lewat jalan menanjak?” Lalu dijelaskan bahwa di atas pegunungan banyak pohon buah-buahan yang Iezat. “Oh, ya!” katanya langsung semangat mendahului. Tak lama kemudian dia pun berteriak, “Ada babi hutan!” “Tenang,” kata penunjuk jalan, “Babi hutan tak bisa belok, miring saja sedikit.”
Sesudah dirasa cukup, penunjuk jalan menuntunnya meneruskan perjalanan menuruni dinding bukit yang licin. “Sudah naik, mengapa turun lagi? Apalagi ini licin,” kata orang itu. Lalu dijawab bahwa di bawah ada mata air yang jernih dan segar. Maka dia pun jadi semangat meluncur.
Saudaraku, dari ilustrasi kisah ini, ada hikmah yang dapat kita petik. Hikmahnya, kita harus patuh dan pasrah saja kepada Allah. Sebab Allah adalah Pemilik kita. Allah Yang Mahabaik lebih menghendaki kita bahagia dibanding kita sendiri. Karena itu kita diberi beragam peraturan. Tapi kita sendiri yang suka memilih melanggar dengan sok pintar dan sok keren. Sehingga hidup kita sendiri pula yang diliputi kebingungan, resah, gelisah, dan sengsara.
Allah Pemelihara dan Penjamin kita. Dia-Iah yang paling menginginkan kita selamat menjadi ahli surga. Sedang kita sendiri kurang ingin ke surga. Cirinya, kita suka berbuat maksiat yang mencelakakan diri, serta kurang berani mengakui dan menyesa|i kesalahan sendiri. Kita kurang mau menuruti-Nya. Padahal seluruh perintah Allah SWT itu merupakan jalan ketenangan, kebahagiaan dan keselamatan.
Seperti salat kita yang asal, rakus saat ada makanan, dan sering bermaksiat. Kalau Allah gemas pada kita, minimal kita sudah disambar petir.Tetapi Allah Yang Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun masih memberi kita kesempatan untuk segera memperbaiki diri. Agar kita cepat bertobat, patuh, dan memasrahkan hidup dan mati kita hanya kepada-Nya.
Sama dengan ketika langkah hidup kita mulai sedikit mendaki, maka kita mulai berburuk sangka kepada Pencipta setiap takdir. Begitu pula saat jalan hidup agak menurun, kita juga mulai suka protes kepada Penentu setiap ketentuan. Padahal mau bagaimana pun hidup kita, Penggenggam seluruh rencana dan ketentuan adalah Yang Mahasuci lagi Maha Adil. Allah Yang Mahakuasa memilihkan apa yang terbaik untuk kita, dan Dia Maha Mengetahui.
Saudaraku.Tawakal adalah puncak ikhtiar.Tidak hanya akal dan fisik yang berikhtiar penuh, tapi hati pun harus sepenuhnya pasrah kepada Allah. Ahli tawakal itu derajat para kekasih Allah. Kita harus terus mengupayakannya sebagaimana Rasulullah SAW. Kita melihat bagaimana beliau profesional dalam memimpin dan mengelola umat, dan betapa sempurnanya tawakal beliau.
Doa Rasulullah Saw, “Ya Hayyu, ya Qayyum, birahmatika astaghits wa aslih sya’ni kulIahu wa la takilni ila nafsi tharfata’ainin.” (Wahai Yang Mahahidup, dan mengurus segaIa-galanya terus menerus, dengan rahmatMu tolonglah saya, perbaiki urusan saya dan jangan serahkan kepada saya walaupun sekejap mata).
Rasulullah SAW orang yang paling pasrah, dan kepasrahan beliau total. Sekejap saja beliau tidak mau jika tidak ditolong Allah. Justru kepasrahan itulah yang ‘ mendatangkan ketenangan, ide, gagasan atau pun kemampuan.
Jadi, ayo kita sempurnakan ikhtiar dengan bertawakal. Serta apa pun takdir dan ketentuan yang diberikan Allah, maka kita harus ridha. Walaupun musibah datang bertubi-tubi, tetap harus kita sikapi dengan baik dan pasrahkan kepada-Nya.Termasuk terhadap sesuatu yang dianggap sangat mengancam, cukuplah Allah yang menjadi Pelindung kita.
Sebagaimana, “Orang-orang yang menaati Allah dan Rasul, yang ketika ada orang-orang yang mengatakan kepadanya: ‘Sungguh orang-orang musyrik telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, ternyata ucapan itu menambah kuat iman mereka dan mereka menjawab: ‘HasbunalIaah wa ni’mal Wakiil (cukuplah Allah bagi kami, dan Dia sebaik baik Pelindung).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 173)
Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata, “Lafaz ‘HasbunaIlaah wa ni’mal Wakiil’ pernah diucapkan oleh Nabi Ibrahim as ketika dilemparkan ke dalam kobaran api. Juga pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika orang-orang telah berkata menakuti: ‘Sesungguhnya orang telah bersatu untuk memerangimu, maka takutlah kepada mereka,’ tetapi ucapan demikian itu justru menambah keimanan mereka dan berkata: ‘Hasbunallaah wa ni’mal Wakiil!” (H R. Imam Bukhari)
Saudaraku, pencari alamat rumah tadi, boleh jadi adalah ilustrasi masing-masing diri kita. Karena itu, mari kita lepaskan ransel, gas elpiji, dan galon air yang telah membuat hidup kita nelangsa. Maksudnya, jangan kagum atau cinta pada dunia! Baik harta, jabatan, pangkat, gelar. atau popularitas.
Patuh dan pasrahkan hidup kita hanya kepada Pemilik langit dan bumi. Di mana saja kita berada, Allah selalu bersama kita. Mudah-mudahan kita selalu ditunjuki. dilindungi, dan diridai-Nya hingga nanti tiba dengan selamat di Surga. HasbunaIlah wa Ni’mal Wakiil. [*]