BENTUK dakwah terang-terangan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dimulai dari dakwah kepada keluarga. Namun dakwah ini tetap mengalami tantangan.
Pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam diperintahkan, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syuara: 214)
Ketika turun ayat tersebut, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai orang-orang Quraisyatau kalimat semisal itu, tebuslah diri kalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya). Aku tidak bisa berbuat apa-apa sedikit pun di hadapan Allah untuk kalian. Wahai Abbas bin Abdul Muththalib, aku tidak bisa berbuat apa-apa sedikit pun di hadapan Allah untukmu. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah, aku tidak bisa berbuat apa-apa sedikit pun di hadapan Allah untukmu. Wahai Fatimah puteri Rasulullah, mintalah kepadaku harta apa saja yang engkau suka, aku tidak bisa berbuat apa-apa sedikit pun di hadapan Allah untukmu.” (HR. Bukhari, no. 2753, 4771 dan Muslim, no. 206)
Yang dimaksud aqrabin (kerabat) dalam ayat adalah orang yang paling dekat dengan kita dari sisi kekeluargaan. Kata Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab (penulis kitab Taysir Al-Aziz Al-Hamid Syarh Kitab At-Tauhid), “aqrabin” inilah yang lebih berhak bagi kita berbuat birr (berbuat baik) dan berbuat ihsan dalam urusan agama maupun urusan dunia. Sebagaimana Allah Taala perintahkan,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dari Bakr bin Al-Harits Al-Anmari, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, siapa yang lebih pantas bagiku untuk berbuat baik?” Jawab Rasul shallallahu alaihi wa sallam, “Ibumu, lalu bapakmu, lalu saudara perempuanmu, lalu saudara laki-lakimu, lalu bekas budakmu yang menjadi tanggungjawabmu. Diwajibkan untuk menjalin hubungan kerabat dengan mereka-mereka tadi.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 47; Abu Daud, no. 5140. Hadits ini dihukumi hasan oleh Usamah bin Athaya bin Utsman Al-Utaibi karena hadits ini punya banyak penguat atau syawahid. Lihat Taysir Al-Aziz Al-Hamid, 1:544-545)