Imam Ghazali menggambarkan nyawa dicabut dalam mahakaryanya.
Siapakah yang ingin mengetahui besarnya penderitaan saat sakaratul maut. Pedihnya tidak dapat diketahui dengan sebenarnya kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Kita pada saatnya nanti akan merasakan kepedihan itu.
Maka, saksikanlah bagaimana penuturan sang Hujjatul Islam Imam Ghazali mengenai kala ajal menjelang dalam Ihya Ulumiddin. Sang Imam menyebut sakaratul maut hanya akan dialami makhluk yang memiliki ruh. Ruhlah yang sejatinya merasakan kepedihan sakaratul maut.
Jika badan seseorang terimpa luka, bekas kepedihan fisik itu akan menjalar sampai ke ruh. Jika ia terbakar, rasa sakit yang dialami badan akan terasa jua oleh ruh.
Saat kepedihan pencabut nyawa menyerang ruh, rasanya akan menenggelamkan semuanya. Ruhlah yang ditarik dari badan. Dicerabut dari tiap urat badan, ditarik perlahan dari urat saraf, dari sendi-sendi, dari pokok setiap rambut dan kulit dari ujung kepala hingga tapak kaki. Tergambar betapa menyakitkannya.
Manusia pada hari itu benar-benar kepayahan. Seorang penyair pernah berkata tentang sakaratul maut. “Sungguh kematian itu lebih sakit daripada pukulan dengan pedang, gergajian dengan gergaji, dan guntingan dengan gunting.”
Sakit fisik hanya akan terasa jika ada ruh di dalamnya. Sebab, rasa sakit pada fisik sejatinya dirasakan oleh ruh. Lalu, apa jadinya jika ruh itu sendiri yang dicabut?
Sang Imam melanjutkan, akal manusia pada saat itu benar-benar kacau balau. Lisan telah dibisukan, tak sanggup berkata apa-apa tanpa pertolongan Allah SWT. Semua anggota badan telah dilemahkan. Tak ada upaya dan usaha kecuali hanya dari Allah SWT. Persis seperti dzikir yang kita sebut setiap saat.
Jika saja ia mampu berteriak, ia akan berteriak karena rasa sakitnya. Namun, ia tidak sanggup. Jika tersisa kekuatan pada seseorang yang dicabut nyawanya, tentu ia akan mengerahkan semua kekuatan untuk menahan rasa sakit.
Kepedihan itu makin dalam menuju dua biji mata naik terus ke pelupuk mata. Kedua bibir sudah mengerut seperti asalnya. Anak jemarinya berubah menjadi kehijau-hijauan. Jika satu urat saja ditarik, sakitnya pun akan luar biasa. Apalagi, ruh diangkat dari setiap inci urat tanpa kecuali.
Lalu, setiap anggota badan dari seluruh anggota badan mati secara bertahap. Dinginlah kedua tapak kakinya, lalu ke betisnya, kemudian menjalar ke pahanya. Dari setiap badan, ada anggota yang sekarat tahap demi tahap hingga mencapai kerongkongannya.
Jika sudah seperti ini, terputuslah pandangannya pada dunia dan ditutup baginya pintu taubat. Rasulullah SAW bersabda, “Diterima taubat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR Tirmidzi).
Maka, lihatlah kesaksian Ummul Mukminin Aisyah RA yang menemani Rasulullah SAW hingga saat-saat terakhirnya. Beliau berkata, “Tidaklah aku iri hari kepada seseorang yang Allah memudahkan atas kematiannya sesudah yang aku lihat dari kesulitan wafatnya Rasulullah SAW.”
Duhai, betapa berat dan pedihnya sakaratul maut itu. Syaddad bin Aus pernah berkata soal kematian. “Kematian adalah huru-hara yang paling buruk di dunia. Ia lebih sakit dibanding digergaji dengan gergaji atau direbus dalam periuk.”
Maka, benarlah jika kematian yang tiba-tiba itu sejatinya sebuah kenikmatan. Rasulullah SAW bersabda, “Kematian secara tiba-tiba adalah kesenangan bagi orang mukmin dan penyesalan atas orang yang berbuat maksiat.” (HR Ahmad).
Tidak ada yang lebih baik dibandingkan menyambut kepedihan sakaratul maut dengan terus tegap di atas iman. Kita tak pernah lagi tahu kapankah sakaratul maut itu akan bertamu. Kepedihan apa yang akan menghadap.
Seorang mukmin sejati hakikatnya adalah mereka yang bahagia dengan perjuampaan dengan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menyukai perjuampaan dengan Allah, niscaya Allah menyukai perjuampaan dengannya, dan siapa saja yang tidak menyukai perjuampaan dengan Allah, niscaya Allah tidak menyukai perjumpaan dengannya.”
Lalu, para sahabat berkata, “Kami semua tidak menyukai kematian.” Beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin jika dilapangkan baginya sesuatu, niscaya ia akan menyukai perjumpaan dengan Allah dan Allah akan menyukai perjumpaan dengannya.” (HR Bukhari Muslim).
Tiap kita pun pantas terus berdoa agar detik-detik sakaratul maut kita akan berakhir dengan husnulkhatimah. Sebuah cara yang paling indah untuk memulai perjuampaan dengan Zat yang menciptakan kita dari tanah, lalu memberikan amanah besar untuk mengurus dunia ini.