Diperbolehkan untuk makan dan minum di dalam masjid, kecuali jika makanan tersebut berbau tidak enak, misalnya bawang merah atau bawang putih. Hal ini karena siapa saja yang memakan makanan tersebut, dia dilarang memasuki masjid.
Orang yang makan di dalam masjid itu bisa jadi sedang i’tikaf atau tidak i’tikaf.
Jika sedang i’tikaf
Jika sedang i’tikaf, maka dia makan dan minum di dalam masjid, dan tidak boleh keluar masjid untuk makan. Hal ini karena jika keluar masjid tanpa ada kebutuhan mendesak dapat membatalkan i’tikafnya.
Imam Malik rahimahullah berkata,
أكره للمعتكف أن يخرج من المسجد ،فيأكل بين يدي الباب ، ولكن ليأكل في المسجد، فإن ذلك له واسع
“Aku membenci orang yang sedang i’tikaf itu keluar masjid. Sehingga dia makan di depan pintu, akan tetapi di dalam masjid. Sesungguhnya perkara ini longgar.”
Beliau rahimahullah juga berkata,
لا يأكل المعتكف ولايشرب إلا في المسجد، ولا يخرج من السجد إلا لحاجة الإنسان، لغائط أو بول
“Orang yang sedang i’tikaf tidak boleh makan dan minum kecuali di dalam masjid. Dia tidak boleh keluar kecuali jika ada kebutuhan mendesak, seperti buang air besar dan buang air kecil.” (Al-Mudawwanah Al-Kubra, 1: 300)
Akan tetapi, jika tidak ada yang membawakan makanan dan minuman untuknya ke dalam masjid, dia boleh keluar mencari makan. Karena dalam kondisi tersebut, keluar dari masjid untuk mencari makanan itu termasuk kebutuhan mendesak baginya. [1]
Jika tidak sedang i’tikaf
Adapun untuk orang-orang yang tidak sedang i’tikaf di dalam masjid, dia juga boleh makan di dalam masjid. Tidak ada batasan bahwa hal itu hanya boleh untuk musafir, misalnya, karena dalil-dalil yang ada bersifat umum.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ جَزْءٍ الزُّبَيْدِيِّ، قَالَ: ” أَكَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شِوَاءً فِي الْمَسْجِدِ، فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَأَدْخَلْنَا أَيْدِيَنَا فِي الْحَصَى، ثُمَّ قُمْنَا نُصَلِّي، وَلَمْ نَتَوَضَّأْ
“Dari ‘Abdullah bin Al-Kharits bin Jaz’i Az-Zubaidi, beliau mengatakan, “Kami makan daging panggang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Kemudian iqamah dikumandangkan, dan kami masukkan tangan kami ke dalam kerikil. Kami pun berdiri untuk shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Ahmad no. 17702, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Arnauth)
Demikian juga ‘Abdullah bin Al-Kharits bin Jaz’i Az-Zubaidi radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ
“Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami makan roti dan daging di dalam masjid.” (HR. Ibnu Majah no. 3300, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Dikuatkan pula dengan ahlu shuffah yang tinggal di masjid. Juga berkaitan dengan kisah diikatnya Tsumamah bin Utsal di masjid. Ketika itu, Tsumamah (yang masih dalam agama kaum musyrikin), berupaya untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun digagalkan oleh Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu. Kemudian ia pun diikat di masjid.
Pada hari ketiga, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya dan bertanya,
مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ
“Apa yang engkau miliki wahai Tsumamah?” (HR. Bukhari no. 2422, 4372 dan Muslim no. 1764).
Maksudnya, beliau bertanya kepada Tsumamah apakah dia sudah makan atau belum?
Demikian pula kisah sahabat Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu yang terluka pada saat perang Khandaq. Kemudian beliau dibuatkan kemah di masjid oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dekat dengan beliau selama masa perawatan.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bolehnya makan di masjid. Hal ini karena jika perbuatan tersebut dilarang, tentu sudah akan tersebar dan dikenal di kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Selain itu, hukum asal dalam masalah ini adalah mubah. Lalu, bagaimana lagi jika dikuatkan dengan dalil-dalil di atas yang menunjukkan kebolehannya?
Namun hendaknya orang yang makan di dalam masjid meletakkan wadah atau sejenisnya sebagai tempat sisa-sisa makanan, agar tidak mengotori masjid. Juga jangan sampai menyisakan makanan di dalam masjid sehingga akan mengundang binatang-binatang yang bisa mengganggu. [2]
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim