Salah satu sifat terpuji yang dimiliki seorang hamba Allah adalah bersikap pertengahan dalam masalah membelanjakan harta. Mereka tidak berlebihan dan juga tidak pelit. Karena mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala akan memintai pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang nikmat yang Allah berikan padanya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَاما
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon: 67)
Begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلمِهِ فيم فعل، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جَسْمِهِ فِيْمَ أَبْلاَهُ
“Tidak bergerak dua telapak kaki seseorang pada hari kiamat hingga dia ditanya tentang empat perkara, yaitu (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, (3) dan tetang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan dalam hal apa dia belanjakan, (4) tentang badannya untuk apa dia rusakkan.” (HR. Tirmidzi dalam “Al Jaami’” no. 2316, dan di shahih-kan oleh Al-Albani dalam “Shahihul Jaami’” no. 7300)
Ayat dan hadits di atas mengisyaratkan kepada kita bahwasannya sifat pertengahan dalam menggunakan harta merupakan sifat yang mulia. Mereka tidak pelit dan juga tidak tabdzir (berlebihan), baik kebutuhan yang wajib maupun kebutuhan tambahan. Mereka meyakini bahwasannya harta yang dimilikinya akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di akhirat kelak.
Karakter seperti ini merupakan karakter ‘ibadurrahman. Mereka antusias dalam menggunakan hartanya dalam hal-hal yang wajib, karena itu menjadi kebutuhan bagi mereka. Itulah hal-hal yang menegakkan kehidupan mereka dan itulah hal-hal yang menjadi bekal dan penolong serta membantu mereka untuk baiknya kehidupan di akhirat.
Maka inilah kewajiban setiap muslim. Hendaknya mereka pertengahan dalam setiap perkara, tidak berlebihan dan tidak seenaknya. Baik dalam masalah ini atau permasaahan yang lain. Baik itu masalah agama atau masalah dunia.
Dari Ka’ab bin Farruh, dari Qotadah, dari Mutarrif bin Abdullah, dia mengatakan
خير هذه الأمور أوساطها، وألحسنه بين السيئتين
“(Umumnya) perkara yang terbaik adalah yang pertengahan, dan kebaikan itu di antara dua kejelekan.”
Ka’ab bin Farruh bertanya kepada Qotadah:
ما الحَسَنَةُ بينَ السيِّئَتَين؟
“Apa yang dimaksud kebaikan itu di antara dua kejelekan?”
Qotadah menjawab dengan membacakan dalil,
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ
“Mereka yang membelanjakan harta dengan tidak berlebihan dan tidak kikir.” (Riwayat At-Thabari dalam tafsirnya juz 17 no. 500)
Penulis: Azka Haris Sartono, S.T.
Artikel: Muslim.or.id