Mulia Nurhasan berjalan cepat dari Masjid Al-Nor menuju rumah tinggalnya di Tromso, utara Norwegia. Hujan pada musim gugur mengiringi langkah kakinya. Suhu begitu dingin, tujuh derajat Celcius. Pada pukul 23.45 dia baru sampai di rumahnya setelah menunaikan Shalat Tarawih.
Mahasiswi Indonesia yang kuliah di University of Tromso, Norwegia, ini sangat larut tiba di rumah. Maklum, waktu Isya pukul 21.30. Setengah jam kemudian, pukul 22.00 Tarawih baru dimulai. Tarawih ditunaikan delapan rakaat, tetapi menghabiskan bacaan Alquran hingga satu juz. Tarawih pun usai pada pukul 23.15. ”Mereka yang tinggal jauh di ujung kota dan jauh dari masjid tak menunggu sampai Witir usai,” tutur Mulia kepada Republika melalui surat elektroniknya.
Menurut Mulia, mereka yang menunggu hingga Witir berakhir bisa ketinggalan bus terakhir. Ia masih bisa menunaikan Witir karena jarak rumah tinggalnya dengan masjid hanya 1,5 km. Ia bisa pulang tanpa khawatir ketinggalan bus. Isya dan Tarawih di Tromso untuk ukuran orang Indonesia terlalu malam. Ini karena matahari terbenam pukul 20.00, sedangkan fajar menampakkan diri pukul 03.00. ”Pada hari pertama Ramadhan kami berpuasa dari pukul 03.15 hingga 19.44,” ungkapnya.
Mulia mengungkapkan sejumlah cendekiawan di masjid tempat ia biasa shalat mulai berinisiatif mendiskusikan kemungkinan yang akan terjadi pada Ramadhan tahun-tahun mendatang. Bila Ramadhan jatuh pada musim panas, matahari tak akan tenggelam selama 2,5 bulan.
Bila sebaliknya, saat Ramadhan jatuh pada musim dingin, masalah juga akan muncul. Matahari tak menampakkan diri selama 2,5 bulan. Apakah kemudian Muslim di wilayah utara itu tak berpuasa sebulan tanpa berbuka atau sebaliknya tak berpuasa sebulan penuh saat musim dingin?
Mulia mengaku beberapa tahun sebelum menempuh studi di Tromso membaca pertanyaan seorang pembaca Republika kepada Ustadz Quraish Shihab. Penanya yang tinggal di wilayah Skandinavia meminta penjelasan kapan harus berbuka saat matahari sama sekali tak terbenam di tempat tinggalnya.
Ustadz Quraish, kata Mulia, saat itu memberikan jawaban agar penanya mengikuti jadwal puasa ke daerah terdekat yang masih memiliki malam. ”Saat itu saya bertanya, adakah daerah seperti itu? Namun, bertahun-tahun kemudian saya mengalaminya sendiri,” ujarnya.
Menurut Mulia, tiga hari sebelum Ramadhan sebenarnya inisiatif pembicaraan masalah itu diawali oleh Umaer Naseer dan umat Islam di Tromso. Naseer warga Norwegia berdarah Pakistan yang selama ini tertarik pada astrologi. Terutama yang terkait dengan jadwal beribadah Islam.
Ketertarikan Naseer muncul sejak mahasiswa PhD Jurusan Mikrobiologi dan Kontrol Infeksi di University Hospital of Northern Norway ini pindah dari Trondheim ke Tromso delapan tahun silam. Dalam pertemuan tersebut, Naseer dan komunitas Muslim Tromso bertemu membahas jadwal puasa Ramadhan di Kutub Utara. ”Saya duduk mendengarkan selama hampir dua jam, terpana. Ternyata begitu kompleksnya masalah ini, lebih dari yang saya bayangkan,” ungkapnya.
Sebenarnya, ungkap Mulia, pihak masjid pernah mendapatkan jawaban yang hampir sama seperti jawaban yang pernah dilontarkan Ustadz Quraish Shihab. Namun, Oslo yang selama ini menjadi patokan bagi masyarakat Muslim di Tromso memiliki tiga jadwal puasa yang berbeda.
Menurut Naseer, jadwal tersebut tak disusun berdasarkan astrologi. Apalagi, diketahui fakta lain bahwa kota terdekat yang mesti menjadi panutan bukanlah Oslo, melainkan Mo i Rana, sebuah wilayah yang arahnya sedikit ke selatan dari lingkaran Kutub Utara.
Berdasarkan kenyataan ini maka masyarakat Muslim di Tromso tak bisa mengikuti lagi jadwal Oslo seperti sebelumnya. Ada pilihan kedua mengemuka dalam pertemuan itu, yaitu membekukan waktu terakhir tempat Muslim di Tromso masih mengalami terbenam dan terbitnya matahari.
Namun, pilihan ini dinilai tidak praktis karena masyarakat Muslim di Tromso akan menjalani Shalat Maghrib, Isya, dan Shubuh dalam kurun waktu 50 menit saja selama 2,5 bulan berturut-turut. Apalagi, pada saat Ramadhan Muslim harus menjalani puasa selama hampir 24 jam.
Mulia menyatakan jadwal shalat yang ada sekarang ini berawal dari usaha Naseer pribadi dalam mencari kebenaran dan mempelajari astronomi penjadwalan shalat pada 2002. Seorang kawan kemudian melihat jadwal itu dan menganjurkannya digunakan sebagai jadwal bersama di Tromso.
Meski awalnya Naseer menolak anjuran tersebut karena ia bukan ulama, pihak masjid menyetujuinya. Ternyata sebelumnya masyarakat Muslim di Tromso belum memiliki jadwal shalat bersama. Sebagian shalat dan berpuasa berdasarkan jadwal di Oslo atau Trondheim.
Ada pula yang mengikuti jadwal di negara masing-masing. Menurut Mulia, Umar Naseer dan pihak masjid akan terus berupaya melalui ijtihad untuk menentukan jadwal shalat dan puasa bagi umat Islam yang hidup di bagian utara dunia, seperti Muslim di Tromso.
Insya Allah, ujar Mulia, bila solusi terbaik dihasilkan akan membawa berkah bagi seluruh Muslim yang hidup mulai ketinggian 66 derajat garis Kutub Utara, yaitu mereka yang mengalami matahari bersinar 24 jam dan bulan tak tenggelam 24 jam setiap tahunnya. ”Dari utara dunia, saya, mahasiswa Indonesia dengan kontribusi terkecil bagi perkembangan isu ini, memohon doa dari Muslim Indonesia di bagian selatan bumi, agar kami selalu dikuatkan dalam menjalani setiap tantangan beribadah bulan Ramadhan,” harap Mulia.
Oleh: Ferry Kisihandi