Akhir-akhir ini banyak ujaran bahwa kita umat Islam kurang tawakal jika tidak ke masjid hanya karena Corona. Katanya, mana sisi tasawuf dan takawal jika meninggalkan masjid dengan alasan demikian? Lalu benarkah kalau sepinya tanah suci akibat wabah corona juga tanda-tanda kiamat seperti yang dikatakan sebagian orang? Katanya di mana sisi syariatnya, sebab ini seolah-olah takut pada sesuatu yang diciptakan Allah.
Baik, mari kira uraikan satu persatu agar jelas. Jika corana bukan thaun yang dimaksud dalam hadis, maka keputusan pemerintah Saudi yang menutup Masjid Nabawi Syarif sudah benar secara fiqih. Karena khusus pada Madinah ada keistimewaan tentang thaun. Paling tidak secara zahir hadis, jika saya membaca secara khusus bab ini, kalau ada ulama yang mu’tamad (selain muashirin) menafsirkan lain maka saya akan ikut ulama itu, karena keluar dari khilaf lebih utama. Dan itu khusus untuk Madinah.
Adapun daerah lain, sudah tepat melakukan pelarangan shalat jamaah di masjid, itu bukan anjuran, tapi larangan, memaksa melakukannya itu haram hukumnya. Lah shalat jamaah di masjid kok haram? Siapa bilang shalat jamaah di masjid haram? Jangan memotong fatwa ulama, “shalat jamaah di masjid ketika masa wabah” yang diharamkan, karena bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain, bukan shalat jamaah di masjid yang haram tapi ada tambahan “ketika wabah”. Itulah bayan hukum syariat. Tentu jika fatwa ulama sudah keluar.
Jadi walau memaksa diri shalat jamaah di masjid saat keadaan wabah, di situlah manusia dicoba, apa dia shalat jamaah di masjid karena keinginannya atau karena perintah Allah? Apa karena sayang kepada tempat atau karena Tuhan yang memerintahkannya untuk memuliakan dan mencintai tempat tersebut, jika cinta masjid karena Allah swt bukan karena kepuasan pribadi, maka saat Tuhan memerintahkan untuk meninggalkan masjid kita harus meninggalkannya, karena kita tidak menyembah masjid yang sangat kita cintai, tapi kita menyembah Allah yang memerintahkan kita untuk mencintai masjid.
Ibarat orang wudhu, kadang kita harus meninggalkan wudhu karena perintah Allah, saat ada luka yang membuat kita celaka jika bersikeras wudhu misalnya. Maka ibadah kita adalah meninggalkan wudhu sambil menangis menginginkannya. Tak apa tetap mencintai wudhu, tapi kita harus lebih mencintai Dzat yang memerintahkan wudhu sampai kita mencintainya. Begitu juga dengan shalat jamaah.
Lalu dimanakah tawakalnya? Itulah bentuk tawakal yang sebenarnya, tawakal bukan menuruti keinginan hati, tapi menuruti keinginan Tuhan dan perintahnya, saat Tuhan memerintahkan a kita ikut, diperintahkan untuk meninggalkan juga ikut, diperintahkan untuk melakukan b ikut juga, seperti itulah kita bertawakal dan berserah diri pada Tuhan, kita hanya ikut pada perintahnya, walau itu berat. Tidak hanya fisik tapi juga berat hati. Perintah dan larangan Tuhan itulah yang dinamakan syariat.
Tasawuf kita itu adalah tasawuf yang diarahkan oleh syariat, tidak ada tasawuf tanpa syariat. Dalam ahlussunnah yang melihat konsep tasawuf yang terpisah dari syariat itu hanya dilakukan zindiq dan orang yang hilang akal atau minimal jahil.
Lalu masalah pengkhususan wabah thaun di Madinah, mungkin konsep tawakal bisa dipakai karena ada nash yang mengistimewakan Madinah, tapi tentu saja itu bagi orang yang punya keyakinan tinggi, adapun di luar itu kita tetap mengambil rukhsah, karena tidak semua orang tingkat keimanannya tinggi. Tapi lagi-lagi itu karena ada nash syariat. Yang tidak ada nash? Ya tidak boleh, sebab konsep tawakal harus sejalan dengan syariat.
Jadi ketika berbicara tentang salah satu konsep tasawuf yaitu tawakal, maka itu juga harus dengan syariat, karena bagaimana kita tawakal kalau kita tidak ikut perintah Dzat yang menjadi tempat kita bertawakal.
Kita bukan jabariyah. Mati memang takdir Allah, tapi menghindarinya pada waktu tertentu adalah perintah Allah, seperti kata Umar radhiyallahu anhu ketika wabah penyakit menyerang “kita hindari takdir Allah, menuju takdir Allah yang lain”. Itulah tawakal yang dipraktekan Sahabat Nabi saw.
Lalu kenapa mall dan cafe tidak ditutup? Ya di tempat itu tidak semua orang peduli dengan syariat Tuhan, masa yang di masjid harus ikut melanggar syariat tuhan sih? Jika ada orang lain melakukan yang haram, masa anda yang sering jamaah juga melakukan hal yang sama.
Jadi jika anda ingin ibadah saat ini, maka beribadahlah dengan cara yang lain, yaitu tetap di rumah. Karena itu perintah Tuhan untuk waktu ini, bukan shalat jamaah di masjid, ini yang dinamakan dalam fiqih dengan “ibadatul waqt” yaitu ibadah yang sesuai waktu. Sehingga pahala berdiam rumah saat ini lebih besar daripada shalat jamaah di masjid. Sebagaimana shalat sunat habis subuh dilarang, bahkan jika kita pengen banget shalat sunnah tetap tidak boleh. Karena pahala terbesar saat itu bukan shalat sunat tapi yang diperintahkan saat itu adalah zikir sampai syuruq (terbit mentari) lalu shalat dhuha 2 rakaat.
Syariat yang mirip dengan itulah yang kita praktekkan sekarang. Menyepelekan asbab itu sama dengan menyepelekan syariat, karena syariatlah yang mengatur sebab. Jadi jangan pisahkan antara tawakal dengan syariat. Karena dengan ikut syariatlah kira benar-benar bertawakal. Wallahu’alam.