Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang pembahasan apa itu sunnah Nabi?
selamat membaca.
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.
Ustadz, terkait materi pertemuan 001, diantara hukum adalah sunnah. Apakah di dalam hukum sunnah ada tingkatannya lagi Ustadz?
Misal sunnah menggunakan celana di atas mata kaki. Jazaakumullah khairan wa barakallahu fiykum Ustadz
(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Keutamaan Menghidupkan dan Mengikuti Sunnah
Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“
[HR Ibnu Majah (no. 209), , syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih Ibnu Majah” (no. 173).
Pengertian As-sunnah
Secara Bahasa artinya :
الطريقة المتَّبعة، والسيرة المستمرَّة، سواء كانت حسنة أم سيئة
“Cara yang dikuti dan jalan yang berkelanjutan, baik ia (cara/jalan) yang baik ataupun buruk”
(Tajul Arus : 9/243, Lisanul Arab : 6:39)
Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam firman Allah,
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
“(Yang demikian itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu.”
(Qs. al-Isra’ :77)
Dan juga sabda Rasulullah sallahu alaihi wasallam,”
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa yang mencontohkan kebiasaan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan kebiasaan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
(HR. Bukhari, 1017 dan Muslim, 2398)
Pengertian As-sunnah Secara Istilah
Ada beberapa makna as-sunnah, sesuai dengan pengertian dan pembagian dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga di harapkan tidak ada salah paham di dalam memahami kalimat sesuai dengan bidannya. Antara lain:
1) Sunnah juga berarti lawan dari bid’ah. Dikatakan : Perbuatan ini tidak dicontohkan dalam sunnah, artinya adalah perbuatan bid’ah. Begitu juga seperti perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
القصد في السنة خير من الاجتهاد في البدعة
“Pertengahan di dalam mengerjakan sunnah lebih baik dari pada sungguh-sungguh di dalam mengamalkan bid’ah “
(al- Lalikai di dalam Ushul al-I’tiqad 1/55 )
2) Menurut ulama ahlu al-hadist, sunnah adalah :
“Apa-apa yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa perkataan, perbuatan dan keputusan, serta sifat-sifatnya secara fisik dan non fisik.”
3) Adapun menurut ahlu ushul fiqh, sunnah adalah :
“Sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, yaitu apa-apa yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan (selain al-Qur’an).”
4) Menurut illmu fiqh, sunnah adalah :
“Suatu perintah syariat, diminta untuk dilakukan tidak sampai kepada hukum wajib, bila dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan, tidaklah berdosa. “
5) Sunnah juga berarti aqidah, sebagaimana para ulama mengarang buku dengan judul : As-Sunnah, yang berarti aqidah, seperti Kitab as-Sunnah, karya Imam Ahmad, As-Sunnah karya al-Barbahari, as-Sunnah karya al-Baghawi, as-Sunnah karya al-Khallal dan lain-lainnya. Buku-buku tersebut berisi tentang pokok-pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bukan buku tentang fiqh dan hadits.
Berkata Ibnu Rajab di dalam Jami’ al-Ulum wa al-Hikam (2/120) : “Mayoritas ulama sekarang ini menyebutkan istilah as-Sunnah dan maksudnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan keyakinan. Karena itu adalah pokok ajaran agama, yang menyimpang darinya berada dalam bahaya yang besar. “
Dari berbagai pengertian diatas, menunjukkan bahwa apapun perngertiaannya maka semuanya mengarah kepada makna petunjuk/hidayah dari Allah dan RasulNya, yang telah dituangkan di dalam alquran dan asunnah, juga dijalankan oleh para sahabatnya (khususnya para khulafaa ar-rosyidin) sebagai petunjuk dan jalan manusia untuk menuju kehidupan yang hakiki. Sebagaimana firman-Nya :
مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. Itulah ketetapan Allah pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.“
(Qs. al-Ahzab : 38)
Juga dalam hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Karena setiap perkara yang baru dalam agama itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
(HR. Abu Dawud, 4607, dan Tirmidzi, 2677)
Tidak Isbal Adalah Sunnah Rasulullah shallahu alaihi wasallam
Terkait dengan misal yang di sebutkan, tentang sunnahnya menggunakan celana di atas mata kaki, maka memang benar perbuatan itu adalah sunnah/perbuatan Rasulullah shallahu alaihi wasallam. Dengan perbuatan Rasulullah, sebenarnya sudah cukup bagi seorang muslim untuk berusaha menirunya, sebagai tanda cinta dan hormat kepada beliau. Tidak hanya itu, bahkan ternyata selain memerintahkan, Rasulullah mengancam bagi para pelaku yang melanggarnya, Sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan :
“Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki. Dan apa yang turun (dari celana) di bawah mata kaki maka bagiannya adalah di neraka. Barangsiapa yang menarik pakaiannya (melakukan isbal) karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya”
[Hadits Riwayat. Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 4331]
Dan dalam riwayat lain di jelaskan, bahwa ‘Ubaid bin Khalid Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata, “Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan.”
Ternyata dia adalah Rasulullah. Aku pun bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah, ini Burdah Malhaa (pakaian yang mahal).
Rasulullah menjawab, “Tidakkah pada diriku terdapat teladan?”
Maka aku melihat sarungnya hingga setengah betis”.
[Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyah, hal. 69]
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مِرَارًا. قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih. Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak tiga kali, Abu Dzar berkata : “Merugilah mereka! Siapakah mereka wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab : “Orang yang musbil (memanjangkan pakaiannya), yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.”
[Hadits Riwayat Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa’i 4455, Darimi 2608. Lihat Irwa’: 900]
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
[Hadits Riwayat Bukhari 5783, Muslim 2085]
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda :
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
“Apa saja yang di bawah kedua mata kaki di dalam neraka.”
[Hadits Riwayat Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96]
Sehingga, selayaknya seorang muslim untuk berusaha menjalankannya semaksimal mungkin apa yang telah di lakukan dan diperintahkan nabi shallahu ‘alaihi wasallam, sebagai tanda cinta dan hormat kepadanya. Serta mencoba menundukkan hawa nafsu dan kesombongannya untuk tidak menolaknya serta mencoba mencari pembenaran yang yang tidak berdasar. Itulah sunnah nabi yang hendaknya kita mencotohnya tanpa ada perasaan berat dan kesombongan.
Semoga Allah memberikan hidayah dan kemantapakan kita untuk selalu mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu ta’ala a’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Selasa, 24 Rabiul Awwal 1442 H/ 10 November 2020 M