Ketika kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Quran, ada frasa “mastatha’tum” yang bermakna “menurut kesanggupanmu”. Hal ini sebagaimana terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghabun: 16).
Demikian pula pada hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه، وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم.
“Apa yang aku larang untukmu, maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan untukmu, maka kerjakanlah menurut kesanggupanmu” (Muttafaqun ‘Alaih).
Pada hadis di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyebutkan frasa mastatha’tum (menurut kesanggupanmu) ketika memerintahkan kita untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh syariat. Hal ini berbeda dengan ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk melakukan hal-hal yang diharamkan. Beliau tidak menyebutkan frasa mastatha’tum di sana. Ini karena menjauhi hal-hal yang diharamkan itu adalah dengan cukup diam dan tidak melakukan hal-hal tersebut. Berbeda dengan mengerjakan hal-hal yang diwajibkan, di mana pasti butuh usaha dan kemampuan untuk mengerjakannya.
Dari frasa mastatha’tum ini para ulama menjelaskan terdapat beberapa faedah yang bisa kita ambil.
Allah tidak akan memberikan beban di atas kemampuan
Pertama, bahwa Allah tidak akan membebani kita dengan sesuatu di atas kemampuan kita.
Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّـهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
Dan ini pada hakikatnya adalah rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan, maka ini adalah perbuatan kezaliman, dan tidak mungkin Allah berbuat zalim kepada para hamba-Nya. Itu mengapa misalnya dalam berdakwah kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan ilmu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَإِن تُكَذِّبُوا فَقَدْ كَذَّبَ أُمَمٌ مِّن قَبْلِكُمْ ۖ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya” (QS. Al-Ankabut: 18).
Adapun apakah orang lain mau menerima dakwah kita atau tidak, maka itu sudah berada di luar kemampuan kita, karena yang bisa memberikan hidayah itu hanyalah Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qashas: 56).
Berusaha maksimal untuk mengerjakan apa yang diwajibkan Allah
Kedua, bahwa kita harus berusaha maksimal untuk mengerjakan apa yang Allah wajibkan kepada kita.
Dengan demikian, ketika Allah memerintahkan kita untuk menaati perintah-Nya semampu kita, bukan berarti kita menjadi menganggap enteng apa-apa yang Allah perintahkan tersebut. Justru sebaliknya, kita harus mengerjakannya semaksimal mungkin sesuai kemampuan terbaik kita. Karena Allah mengetahui apakah kita sudah berusaha maksimal dalam mengerjakan perintah-Nya atau masih setengah-setengah.
Dan itu mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, memotivasi kita untuk bersemangat dalam melakukan kebaikan dan apa yang diwajibkan kepada kita,
احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز.
“Bersemangatlah untuk hal-hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan Allah, dan jangan lemah!” (HR. Muslim no. 2664).
Mengakui bahwa diri lemah
Ketiga, kita harus mengakui bahwa diri kita itu lemah.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يُرِيدُ اللَّـهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” (QS. An-Nisa’: 28).
Kita bukanlah seperti malaikat yang ketika diperintahkan oleh Allah untuk beribadah kepada Allah, maka mereka akan terus melakukannya tanpa pernah merasa bosan. Adapun manusia, maka ia adalah makhluk yang lemah, yang sering merasa bosan dalam beribadah kepada Allah walaupun kita tahu itu adalah maslahat untuk kita, dan sering merasa tergoda untuk melakukan kemaksiatan walaupun kita tahu itu adalah mudarat untuk kita.
Itu mengapa kita harus senantiasa meminta pertolongan kepada Allah dan ampunan dari-Nya, agar kita bisa menapaki jalan keselamatan dan bisa meraih kebahagiaan di dunia ataupun di akhirat.
Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.
Artikel: www.muslim.or.id
@almaaduuriy / andylatief.com
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/59912-bertakwalah-kepada-allah-menurut-kesanggupanmu.html