Mempelajari ilmu hakikat, atau oleh sebagian ulama disebut ilmu billah, bagi sebagian masyarakat, khususnya di pesantren masih dianggap sesuatu yang tabu karena dianggap ‘membahayakan’ tatanan syariat. Narasi demikian sengaja dibangun oleh sebagian Ulama dan berkembang di tengah-tengah masyarakat demi melindungi mereka agar tidak tersesat karena terlalu dalam masuk ke wilayah ilmu yang sifatnya batin. Dampaknya, banyak masyarakat yang enggan terlalu dalam mempelajari ilmu hakikat dan mencukupkan diri pada ilmu syariat.
Narasi diatas sebenarnya mendapatkan legitimasi dari perkataan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq r.a yang sangat masyhur “Kesadaran akan ketidakmampuan mencapai pengetahuan (tentang Allah) sejatinya adalah pencapaian pengetahuan (tentang Allah) dan membahas tentang Zat Allah adaah bentuk kekufuran dan kesyirikan”. Hanya saja, pengamalan kita terhadap dawuh Sayyidina Abu Bakar tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan maksud yang seharusnya.
Yang sering kita jumpai, justru perkataan tersebut dijadikan dalil untuk tidak mempelajari ilmu hakikat, padahal tidak demikian. Dawuh Sayyidina Abu Bakar diatas semata harus dipahami sebagai larangan untuk mengetahui keadaan zat Allah yang sebenarnya. Karena, setiap usaha untuk mengetahui, melihat dan mendeteksi kesejatian zat Allah akan sia-sia. Justru yang terjadi adalah orang tersebut akan jatuh pada penyerupaan Allah dengan sesuatu, nauzubillah.
Itu sebabnya, Imam Ahmad Bin Hambal r.a memperingatkan “Apapun yang terlintas di hatimu tentang Allah, maka itu bukan Allah”. Dan, lintasan hati dan pikiran tentang Allah terjadi karena kita memikirkan zat Allah. Itulah yang dilarang oleh Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq r.a, bukan larangan mempelajari ilmu hakikat.
Sebagian ulama memang melarang kita mempelajari ilmu hakikat. Namun, larangan tersebut menurut Syaikh Abdul Karim Al-Jili, dalam kitab Marotibul Wujud (hal 38), bukan karena mempelajari ilmu hakikat itu tidak boleh. Tapi, karena menghindarkan orang-orang yang tidak memiliki kecerdasan berpikir dari kesesatan akibat salah memahami perkataan ulama-ulama ahli hakikat.
Beliau berkata, “Adapun larangan yang datang dari sebagian Ahlullah (ulama ahli hakikat) terhadap murid-murid mereka untuk mempelajari kitab-kitab hakikat, karena murid yang tidak memiliki kecerdasan berpikir dikhawatirkan akan memahami perkataan-perkataan ahli hakikat tidak sesuai yang dikehendaki. Akhirnya, mereka akan mengamalkan menurut pemahaman yang salah, lalu mereka jatuh ke dalam kebinasaan. Atau, setidaknya mereka telah menyia-nyiakan umur mereka dengan mempelajari kitab-kitab hakikat tanpa adanya faidah yang mereka dapatkan. Maka melarang murid yang seperti ini dari mempelajari kitab-kitab hakikat adalah kewajiban seorang Syaikh, supaya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih bermanfaat”
Adapun orang yang memiliki akal yang cerdas, pemahaman yang tinggi dan keimanan yang kuat maka, menurut Syaikh Abdul Karim Al-Jili, mempelajari kitab-kitab hakikat dan merengkuh maksud yang terkandung di dalamnya sangat dianjurkan. Beliau lalu berkata “Dan sungguh saya melihat di zaman kita sekarang orang-orang dari Arab, Persia, India, Turki dan negara-negara lain, mereka dapat mencapai ilmu hakikat sebagaimana wali-wali Allah karena sebab mempelajari kitab-kitab hakikat”
Beliau melanjutkan, “Maka, sungguh saya telah melihat saudara-saudara seperjuangan saya yang masih muda-muda, mereka mencapai tingkatan hakikat dalam tempo yang sangat singkat sebab mempelajari kitab-kitab hakikat. Hal mana, capaian tersebut tidak mampu dicapai oleh orang-orang tua yang telah bermujahadah 40-50 tahun. Padahal, merekalah yang memasukkan anak-anak muda tadi ke dalam tarikat. Akan tetapi, ketika mereka, orang-orang tua, hanya berkutat pada suluknya dan anak-anak muda tidak hanya mengamalkan suluk tetapi mempelajari dan memahami kitab-kitab hakikat, maka jadilah anak-anak muda tadi bagaikan orang tua (matang) dan orang-orang tua seperti anak muda (belia) dalam masalah ilmu hakikat”.
Syaikh Abdul Karim Al-Jili r.a, masih dalam kitab Maratibul Wujud, menukil perkataaan Syaikh Ahmad Al-Rifa’i r.a, beliau berkata “Pelajarilah ilmu ini (ilmu hakikat) karena jadzabat al-haq (tarikan-tarikan ketuhanan) di zaman kita sekarang sudah sedikit”. Yang dimaksud dengan jadzabat adalah orang-orang majdzub, yakni orang-orang yang kesadaran kemanusiaannya seringkali ditarik oleh Allah sehingga hanya berfokus pada penyaksian terhadap-Nya.
Terkadang, secara lahir tampak seperti orang gila, namun sebenarnya mereka adalah wali-wali Allah. Akan tetapi, tidak berarti setiap orang gila adalah orang-orang majdzub yang mendapatkan tarikan ketuhanan, begitupula tidak semua orang yang majdzub berpenampilan dan berprilaku seperti orang gila.
Orang-orang majdzub ini menurut Syaikh Ahmad Al-Rifa’i, di zaman beliau dahulu sudah sangat sedikit apalagi zaman kita sekarang ini. Sebabnya adalah minimnya kepedulian orang-orang terhadap nafahat Ar-Rahman (hembusan-hembusan ketuhanan), yakni pengetahuan-pengetahun ketuhanan yang Allah ilhmakan kepada para kekasih-Nya.
Akan tetapi, mungkin saja yang dimaksud sedikitnya orang-orang majdzub menurut Syaikh Ahmad Al-Rifa’i r.a adalah sedikitnya dari mereka yang menampakkan diri pada orang lain, bukan karena orang-orang majzub itu sendiri sedikit. Karena, Allah senantiasa bertajalli (bermanifestasi) dengan ragam tajalli kepada hamba-Nya.
Pun juga, Allah senantiasa memperlihatkan kepada makhluk-Nya bekas-bekas dari pengaruh nama-nama dan sifat-sifatNya. Dan orang-orang majdzub adalah orang-orang yang mendapatkan curahan tajalli Al-Haq tersebut, sehingga jumlah mereka tetap banyak sampai akhir zaman.
Para Muhaqqiqin (orang-orang ahli hakikat), menurut Syaikh Abdul Karim Al-Jili, bahkan mengatakan bahwa mempelajari kitab-kitab ilmu hakikat lebih utama daripada mempelajari kitab-kitab selain ilmu hakikat. Karena, ilmu hakikat menjelaskan tentang keesaan Allah dan tidak ada yang lebih utama daripada mengetahui tentang keesaan Allah Swt. Adapun yang lebih utama dari mempelajari kitab-kitab ilmu hakikat adalah bergaul dengan orang-orang ahli hakikat itu sendiri dengan penuh adab dan tatakrama. Wallahu a’lam bisshowab