Dalam sejarah Islam banyak sekali aliran dan kelompok teologis yang berkembang. Banyak yang bertahan, namun ada pula yang telah sirna ditelan zaman. Di antara yang menarik banyak perhatian para pengkaji teologi Islam adalah khawarij. Dalam konteks sekarang, kelompok yang menamakan dirinya khawarij bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Akan tetapi secara sikap dan pandangan yang ekstrimis barangkali masih ada sampai kapanpun.
Secara etimologis, khawarij adalah bentuk plural dari kharij yang berarti orang yang keluar. Dalam bentuk plural, Khawarij bermakna orang-orang yang keluar. Kelompok ini menganggap dirinya sebagai orang yang mendaku sebagai paling islami. Kelompok khawarij dalam konteks klasik diterjemahkan oleh al-Syahrastani sebagai kelompok yang keluar dari sikap keberagamaan mayoritas (al-Aswad al-A’zham) di masa kekhalifahan al-Rasyidin, atau generasi tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi) atau umat Islam di setiap zaman. Hal ini ditandai oleh sikap keberpalingan dan pemunggungan dari sikap yang menampilkan Islam rahmatan lil ‘alamin.
Khawarij sebagaimana dijelaskan al-Syahrastani dalam karya al-Milal wa al-Nihal lahir dari konteks ‘politis’, yaitu adanya ketidakpuasan atas sikap Ali bin Abi Thalib yang melakukan al-Tahkim (perundingan bersama) dengan kelompok yang awalnya memeranginya. Kejadian al-Tahkim ini terjadi ketika terjadi peperangan antara kelompok Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah bin Abi Sufyan yang dikenal dengan perang shiffin.
Pihak Muawiyyah kemudian minta perundingan bersama dengan pihak Ali dengan mengangkat al-Quran sebagai jaminan. Ali bin Abi Thalib pun menyetujuinya. Akan tetapi di sisi lain, kaum Khawarij yang awalnya merupakan pengikut setia Ali, berubah membelot dan menentang sikap Ali di atas. Dengan menunjukkan sikap arogan dan antagonis, kelompok ini kemudian mengatakan La Hukma Ila Lillah yang berarti tidak ada hukum kecuali hukum Allah.
Pemahaman kaum khawarij ini didasarkan atas pemahaman tekstualisme terhadap ayat Allah
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Dan ayat lain
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang kafir.”
Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin umat Islam saat itu dianggap oleh kaum khawarij sebagai orang kafir.
Pemahaman kaum Khawarij sekaligus pembelotannya dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib ini, ditanggapi langsung oleh sang Amirul Mukminin, ia berkata,” Kalimatu Haqqin Urida biha Bathilun” kalimat (ayat) itu benar akan tetapi dimaksudkan dan dipahami secara bathil, salah. Dalam Bahasa lain, nassun makhtutun baina dafatai al-Mushaf, la yatakallamu wa innama yatakallamu bihi al-Rijal, al-Quran itu adalah teks tertulis yang terletak di antara dua lembaran (papan, karena waktu itu al-Quran ditulis di atasnya).
Ali bin Abi Thalib ingin mengatakan bahwa al-Quran itu perlu dijelaskan karena ia tidak bisa berbicara sendiri. Tidak diragukan bahwa Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Nabi yang paling berilmu. Dalam sebuah hadis nabi dikatakan, Ana Madinatul Ilmi wa ‘Ali Babuha, saya adalah kotanya ilmu dan Ali adalah gerbangnya.
Secara benih-benih pemikiran, khawarij ini sudah pernah ada dalam konteks awal Islam. Ia dikenal dengan nama Dzu al-Khuwaishir. Tokoh ini adalah sahabat nabi yang paling rajin beribadah, dikenal tak pernah meninggalkan solat dan puasa. akan tetapi, ketika ikut berjihad bersama Rasulullah dan Nabi membagikan harta rampasan perang, ia malah menyanggah Nabi. Dengan lantang ia berkata ‘Ya Nabi, bagikanlah secara adil’. Lantas Nabi pun berkata, ‘jika aku tidak berlaku adil, lantas siapa yang paling bisa bersikap adil’.
Al-Syahrastani mengatakan setelah terjadinya konflik al-Tahkim, kelompok ini menetap di daerah yang bernama Harura’, salah satu daerah di Kufah (sekarang Irak). Kelompok Khawarij ini dinahkodai oleh Abdullah bin al-Kawa’ dengan beberapa nama seperti ‘Attab bin al-A’war, Yazid bin ‘Ashim al-Muharibi dan selainnya. Saat itu diperkirakan mereka berjumlah 12000 orang. Mereka mengklaim dirinya orang yang paling taat melaksanakan ibadah salat dan puasa.
Di antara beberapa pemikiran kaum khawarij adalah mereka mencela sahabat Nabi seperti Utsman dan pengikutnya yang ikut andil dalam perang Shiffin. Pemikiran mereka yang paling ekstrim adalah tidak segan-segan untuk menyebut kafir orang-orang yang berbeda pendapat dari mereka. Muhammad Abu Zahrah dalam buku Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah (sejarah berbagai aliran Islam) menyebut kelompok ini bahkan tidak segan-segan membunuh orang Islam. Konon, di kalangan mayoritas masyarakat Islam saat itu dikenal bahwa orang-orang Kufah sebagai orang-orang yang tidak bisa dipercaya.