Khawarij adalah salah satu sekte keagamaan dalam komunitas Muslim. Ia lahir pascaarbitrase (tahkim), atau perundingan damai, antara dua kelompok yang berperang: kelompok yang dipimpin Ali bin Abi Thalib versus kelompok pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Sebelum perundingan, orang-orang Khawarij ini adalah pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Tetapi keputusan Ali yang menyetujui arbitrase sangat mengecewakan mereka. Menurut mereka, keputusan Ali menerima perundingan itu bertentangan dengan keputusan Tuhan. Berunding dengan orang-orang yang menentang kekuasaan yang sah adalah sebuah kesalahan. Ali adalah penguasa yang sah. Karena kekecewaan itu, mereka keluar dan melakukan perlawanan bukan hanya terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan, tetapi juga terhadap Ali bin Abi Thalib yang menyetujui perundingan tersebut.
Salah satu ajaran Khawarij yang sangat terkenal adalah bahwa orang-orang yang terlibat dalam perundingan (arbitrase) adalah kafir, karena mereka tidak mengikuti hukum Allah. Menurut mereka, kepemimpinan Ali bin Abi Thalib adalah sah. Maka penentangan terhadapnya adalah penentangan terhadap kekuasaan yang sah. Itulah hukum Allah. Jadi barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka dia kafir, zalim dan fasik. Dewasa ini Khawarij diidentikkan sebagai kelompok Islam radikal. Kelompok ini dikenal menolak dan menentang setiap pandangan di luar pandangan dirinya. Mereka tak mau berunding dan bertoleransi kepada pandangan yang berbeda.
Nah, ini ada salah satu kisah yang menarik hati. Suatu hari Dhahhak bin Qais, salah seorang pengikut Khawarij, menemui Imam Abu Hanifah yang sedang berada di masjid Kufah, Irak. Dia sengaja menemuinya karena mengetahui Abu Hanifah, tokoh dan ulama besar yang sangat berpengaruh, menyetujui arbitrase. Dengan wajah yang tampak garang, dia bilang:
Dhahhak (D): “Hai, Abu Hanifah, bertobatlah segera!” katanya tegas.
Abu Hanifah (AH): “Untuk apa saya harus tobat?”
D: “Karena kamu membenarkan dua pihak yang berunding itu.”
AH: “Jadi, kamu mau membunuh saya atau berdebat?”
D: “Berdebat!”
AH: “Baik. Jika kita berbeda pendapat, siapa yang akan menengahi kita berdua?”
D: “Sila tunjuk orang lain yang kamu suka.”
Abu Hanifah kemudian mencari orang yang ada di dalam masjid dan teman Dhahhak, lalu menghadirkannya untuk menjadi moderator mereka.
AH: “Sila duduk. Kami memintamu menjadi moderator dalam perdebatan kami,” ujar Abu Hanifah kepada si teman tadi.
AH: “Dhahhak, kamu setuju orang ini menengahi perdebatan kita?”
Melihat si moderator adalah anggota jamaahnya, Dhahhak segera mengangguk dengan wajah cerah. “Baik, aku setuju!”
AH: “Nah, jelas sekarang kamu menyetujui arbitrase, bukan?”
Dhahhak diam, membisu, tak berkutik dan benar-benar terpukul. Abu Hanifah lalu meninggalkannya dengan melenggang-tenang.
[Tulisan ini disadur dari buku Lawaamii’ al-Hikmah ‘Pendar-pendar Kebijaksanaan’]