Ketika telah terjadi akad sewa-menyewa (ijarah) antara dua belah pihak, yaitu antara pihak penyewa (musta’jir) dan pihak yang menyewakan (mu’ajjir), kemudian terjadi sesuatu yang melanda secara umum dan tidak disangka-sangka sebelumnya, sehingga tidak memungkinkan bagi pihak penyewa untuk mengambil manfaat dari barang yang disewakan tersebut (ma’jur), dan jika akad tetap dilanjutkan maka akan memberikan mudarat yang besar, maka pihak penyewa memiliki hak faskh. Hak faskh adalah hak untuk membatalkan akad ijarah tersebut, menurut jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, dia tidak memiliki hak faskh tersebut.
Contohnya, jika seorang mahasiswa baru sudah terlanjur melakukan akad untuk mengontrak rumah atau kamar kos di sekitar kampusnya. Lalu tiba-tiba qadarullah terjadi pandemi Covid-19 dan pemerintah memberlakukan larangan perjalanan yang ketat. Akibatnya, dia tidak bisa safar menuju kota tempat studinya tersebut. Dalam kasus ini, dia memiliki hak untuk tidak jadi meneruskan akad sewa-menyewa ini. Dan pihak pemilik rumah atau kos harus menghormati hak tersebut.
Jika kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk tetap memberlakukan akad ijarah di antara mereka ketika kondisinya sudah mereda, sehingga pihak penyewa sudah bisa mengambil manfaat dari barang yang disewakan tersebut, maka hal ini tidak mengapa.
Adapun jika yang terjadi adalah sesuatu yang hanya khusus terkait dengan pihak penyewa dan tidak melanda secara umum, maka dia tidak memiliki hak faskh menurut jumhur ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Adapun menurut Hanafiyyah, dia tetap memiliki hak faskh tersebut.
Contohnya adalah seorang mahasiswa baru yang sudah melakukan akad ijarah untuk mengontrak rumah atau kamar kos di dekat kampusnya, tetapi kemudian dia memilih untuk pindah ke universitas lain di kota lain yang juga baru saja menerimanya. Menurut ulama Hanafiyyah, boleh baginya untuk membatalkan akad ijarah tersebut. Akan tetapi, kami lebih condong pada pendapat jumhur ulama, yaitu bahwa dia tidak memiliki hak untuk membatalkan akad tersebut.
Namun demikian, dia bisa melakukan pemindahan kontrak kepada pihak penyewa baru. Karena pada kasus ini, halangan yang terjadi tersebut tidak melanda secara umum. Akan tetapi, hanya khusus terkait dengan pihak penyewa. Sehingga masih memungkinkan untuk menemukan pihak penyewa lainnya yang bisa mengambil manfaat dari barang yang disewakan.
Ada dua dalil utama yang dipakai oleh para ulama dalam masalah apakah akad ijarah di atas harus tetap dilanjutkan atau bisa dibatalkan. Dalil pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. al-Ma’idah: 1)
Dan yang kedua adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
“Janganlah sebagian dari kalian memakan harta dari sebagian yang lain dengan cara yang bathil.” (QS. al-Baqarah: 188)
Ayat pertama memerintahkan kita untuk memenuhi akad yang telah kita lakukan, sedangkan ayat kedua memerintahkan kita untuk tidak memakan harta orang lain secara batil. Jika tiba-tiba terjadi sesuatu yang melanda secara umum dan tidak disangka-sangka sebelumnya, sehingga akad telah terlanjur dilakukan tetapi pihak penyewa tidak akan bisa mengambil manfaat dari barang yang dia sewa, maka pada kasus ini, jika akad tidak boleh dibatalkan mengingat ayat pertama di atas, ini akan memberikan mudarat yang besar kepada pihak penyewa dan ini termasuk perbuatan zalim kepadanya. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa pihak penyewa memiliki hak faskh, yaitu hak untuk membatalkan akad tersebut. Tetapi jika kedua belah pihak bersepakat untuk tetap melanjutkan akad ketika sesuatu yang melanda tadi sudah mereda, maka ini tentu tidak mengapa.
Adapun jika yang terjadi adalah bukan sesuatu yang melanda secara umum, tetapi sesuatu yang hanya khusus terkait dengan pihak penyewa, maka tidak ada hak faskh baginya menurut jumhur ulama. Ini sama seperti pada kasus ketika pihak penyewa tiba-tiba sakit atau tiba-tiba harus pindah ke kota lainnya. Dalam kasus tersebut, dia tidak bisa serta-merta membatalkan akad yang sudah terjadi dengan pihak yang menyewakan. Hal ini karena adanya perintah pada ayat pertama untuk memenuhi akad yang telah kita lakukan, dan larangan pada ayat kedua untuk berbuat kezaliman kepada pihak yang menyewakan.
@almaaduuriy / alminhaj.org
Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.
Artikel: Muslim.or.id