MENGAPA orang bijak sering digambarkan sebagai seorang yang lebih sedikit bicara dan kalaupun berbicara, dia tidak nampak terlalu mengumbar kata sehingga terkesan bertele-tele dan berputar-putar disitu. Ya mungkin karena sejak kecil kita sudah terbiasa dikesankan bahwa pembual atau pembohong itu identik dengan yang banyak omong, atau malah disamakan dengan penjual obat.
Memang demikianlah nyatanya, orang bijak atau yang terasah kecerdasan serta emosinya, lebih memilih untuk banyak mendengar daripada bicara. Bukan tidak suka atau tidak mau bicara, tetapi bicara jika memang harus dan perlu dan tidak bicara jika tidak benar-benar memahami masalahnya.
Seakan memang begitulah alasan mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan dua telinga dan satu mulut, agar lebih banyak kata yang kita serap daripada yang disuarakan.
Keselamatan seseorang terletak pada kemampuannya dalam menjaga lidahnya, akalnya diletakkan di depan lidahnya, bukan di belakang, maknanya dia selalu berpikir sebelum menyatakan sesuatu. Apalagi dijaman teknologi digital sekarang ini, semua semakin tidak berjarak lagi.
Apa yang kita sampaikan saat ini dalam hitungan menit sudah merebak dimana-mana. Fatalnya karena merasa ingin menjadi yang pertama, orang sering tak merasa harus mendengar tuntas dan memahami sepenuhnya isi lalu membagikan kesahalan pada khalayak luas.
Dahulu, kita sering terperangah ketika mendengar seseorang bicara. Dia yang selama ini banyak diam dan kita anggap biasa-biasa saja, tetiba kita baru menyadari ternyata dia seorang yang bijak dan dalam ilmunya.
Mengapa sekarang yang terjadi malah sebaliknya, seseorang justru karena ingin dianggap ada atau diakui sebagai berilmu atau faham tentang sesuatu, maka dia berani bicara di depan forum tentang sesuatu yang bukan saja diluar kompetensinya? Bahkan dia tidak faham sama sekali apa yang disampaikannya.
Ya.. Orang jadi gandrung ingin dianggap tahu dengan bicara, bukan bicara karena tahu. Ini tingkat kebodohan yang paling tinggi, karena justru dengan banyak bicara, orang justru makin tau kadar keilmuannya, atau dengan kata lain, dia tengah membuka auratnya sendiri.
Bahkan yang paling menjijikkan seorang ‘akademisi’ yang notabene terbiasa berpikir berdasar ilmu, berani menyatakan atau menafsirkan sesuatu tanpa dasar pengetahuan, bahkan menyangkut agama yang diyakininya.
Lebih baik dia membaca dan menelaah hadits Rasulullah ﷺ di bawah ini:
أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ
Diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dalam sebuah hadits yang panjang, di akhir hadits disebutkan, beliau ﷺ bersabda, “Maukah Engkau aku kabarkan dengan sesuatu yang menjadi kunci itu semua?” Aku menjawab, “Ya, wahai Nabi Allah.” Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda, “Tahanlah (lidah)-mu ini.” Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, (apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?” Beliau menjawab, “(Celakalah kamu), ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz! [1] Tidaklah manusia itu disungkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka, melainkan karena hasil ucapan lisan mereka.” (HR: Tirmidzi no. 2616)
Dalam hadits lain Rasulullah ﷺ bersabda
لمسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ
“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.” (HR: Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40).
Ulama pewaris Nabi?
Ulama adalah pewaris Nabi tidak semata karena ilmunya, yang terpenting adalah kehati-hatiannya, justru inilah yang membedakannya dengan orang jahil atau bodoh. Dien adalah wilayah Allah dan Rasul-Nya, seseorang tidak bebas membuat tafsiran yang disandarkan pada akalnya, sedalam apapun ilmunya.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa Dien ini belum sempurna? Lalu apakah ‘kesempurnaan’ itu menjadi kewenangan tiap orang?
Kesesatan di atas kesesatan!
Banyak bicara adalah satu di antara tiga sifat yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala, selain dari menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya, demikian hadits Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Malik.
Rasulullah bersabda diriwayatkan dari Abdullah bin Umar;
من كثر كلامه كثر سقطه ومن كثر سقطه كثرت ذنوبه ومن كثرت ذنوبه كانت النار أولى به
“Barangsiapa yang banyak bicaranya niscaya akan banyak salahnya, dan barangsiapa yang banyak salahnya maka akan banyak dosanya, dan barangsiapa yang banyak dosanya maka lebih pantas masuk Neraka.” (Diriwayatkan Al-Uqaili dalam Adh Dhu’afa (336), Ath Thabrani dalam Al Ausath (502))
Jika yang ingin dicapai adalah penguatan akidah umat, maka ada banyak hal yang bisa diungkapkan. Akidah ini yang lebih akan menyelamatkan umat, yaitu menjauhkan umat dari menyekutukan Allah dengan apapun, juga membentengi umat dari serbuan pemurtadan yang makin masif dilakukan non-muslim.
Tetapi memang ada orang-orang dari internal Muslimin sendiri yang ada penyakit di hatinya, mereka lebih suka membuat kebingungan, kebimbangan dikalangan umat Islam sendiri. Mereka tak berani tegas menyatakan membenci Islam, tetapi mengarahkan umat untuk membenci Arab.
Mereka menolak apapun yang berbau Arab dengan alasan itu budaya asing, tetapi keseharian mereka bergelut dengan budaya Barat. Setiap hari mereka terus bicara dan menulis, dan semakin jelas buat kita, betapa mereka penuh dengan kebencian dan tipu muslihat.
Mereka tidak mengutip ayat Al-Quran, kecuali untuk lalu diputarbalikkan arti dan tafsirnya. Mereka lebih suka pada ayat-ayat yang tersamar, bukan ayat yang jelas dan tegas.
*هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ*
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (QS: Ali Imran, ayat 7).
Kita semua berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas Negeri ini dari rencana jahat para pembuat kerusakan, yaitu merusak akhlak dan akidah umat. Jika mereka tidak segera sadar dan bertobat, semoga Allah mengadzab mereka di dunia dan akherat.. aamiin.*/Hamid Abud Attamimi