SETIAP manusia pasti akan menghadapi kematian. Namun, tempat dan waktu kita akan mati, itu tak pernah kita ketahui. Sehingga, kita harus senantiasa mempersiapkan diri untuk mengahadapi sesuatu yang sudah pasti akan terjadi itu.
Ada yang mengatakan bahwa kematian itu merupakan suatu perpisahan. Namun, ada pula yang mengatakan hal itu sebagai musibah. Manakah yang benar?
Kematian pada lahirnya adalah kehilangan jiwa. Tidak ada kematian kecuali sesudah adanya kehidupan. Adakalanya kematian datang mendadak tanpa didahului gangguan fisik. Misalnya, seorang yang sedang duduk-duduk bersama kawan-kawannya, tiba-tiba dia mati tanpa dipukul atau diganggu tubuhnya oleh orang lain. Inilah yang disebut kematian.
Sedangkan bila kematian itu disebabkan karena tubuhnya diganggu (disakiti), itu yang dinamakan pembunuhan. Di dalam al-Quran, keduanya dipisahkan.
Allah SWT berfirman, “Muhammad itu hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jiwa dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad),” (QS. Ali Imran: 144).
Bagi orang yang beriman, kehidupan di dunia ini bukanlah tujuan akhir atau kekal. Karena sebelum manusia menjalani kehidupan, mereka telah diberi pengertian dan kesadaran tentang kematian.
Seperti halnya dalam firman Allah SWT, “Mahasuci Allah yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” (QS. Al-Mulk: 1-2).
Jadi, Allah telah menerangkan soal kematian sebelum kehidupan. Selama kita menyadari bahwa kematian itu merupakan tujuan hidup, sulit dikatakan perpisahan.
Selama yang mati itu orang yang kita sayangi, kitalah yang berpisah darinya, jadi perpisahan bukanlah suatu musibah. Kalau orang yang berpisah itu dapat berlaku sabar, dia akan memperoleh pahala. Bila tidak, lalu ia mengerjakan hal-hal yang dilarang agama, perbuatan itulah yang dinamakan musibah karena telah merugikan dirinya. [Sumber: Anda Bertanya Islam Menjawab/Karya: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi/Penerbit: Gema Insani Jakarta (2007)]