Dalam syariat, ada seseorang yang yang secara lahir menggunakan pakaian namun sesungguhnya sebaliknya yaitu bertelanjang. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “berpakaian yang telanjang” kasiyatin ‘ariyatin sebagaimana tersebut dalam salah satu hadits Nabi Muhammad Swt.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda;
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا»
“ada dua kelompok penghuni neraka yang tidak aku lihat. Pertama, kelompok yang membawa cemeti mirip buntut sapi, dengan cemeti itu mereka mencambuk manusia. Kedua, perempuan-perempuan yang berpekaian tapi telanjang, genit dan tidak patuh.
Kepala mereka mirip dengan punuk unta buhkti yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak menemukan aromanya padahal aroma surga terjangkau dari jarak sekian dan sekian.” [HR. Muslim]
Hadits di atas ini penting untuk diperhatikan terutama bagi kaum perempuan yang menjadi sasaran langsung. Namun, tidak menutup kemungkinan laki-laki juga menjadi sasaran dari hadits tersebut.
Tak bisa dipungkiri, dalam syariat yang dikenal dengan kamil dan syamil (purna dan lengkap), salah satunya mengatur persoalan pakaian baik untuk laki-laki maupun perempuan. Di dalam syariat Islam setiap muslim dan muslimah wajib mengenakan pakaian yang menutupi aurat, sopan dan adaptif dengan lingkungan.
Lebih lanjut, dalam kajian hadits ini akan memfokuskan pada kata nisa’un kasiyatun ‘ariyatun (perempuan berpakaian namun telanjang). Menurut K.H Afifuddin Muhajir, dalam Kriteria Pakaian Islami: 7-9, bahwa kata di atas memiliki dua makna yang inheren satu sama lain.
Pertama, bermakna orang yang lahirnya berpakaian, namun batinnya telanjang. Dengan demikian, setiap orang yang fasik yang suka berbuat dosa juga menjadi sasaran dari hadits ini meskipun mereka menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian. Karena yang dimaksud dengan telanjang adalah telanjang dari taqwa sebagai pakaian batin.
Kedua, bermakna orang-orang yang mengenakan pakaian dan menutupi sebagian auratnya. Sementara bagian yang lain dibiarkan terbuka. Atau karena terlalu tipis, ketat dan transparan.
Kenapa kedua makna di atas bersifat inheren? Karena pada umumnya, orang yang menggunakan pakaian seperti di atas merupakan orang yang fasik dan pendosa. Sebaliknya, orang yang pendosa dan fasik biasanya tidak peduli terhadap pakaian yang digunakan.
Sudah barang tentu, tidak semua orang berlaku sama dengan di atas, sebagaimana ditegaskan bahwa hal itu bersifat ghalib. Karena pada tataran faktanya, terkadang ada orang yang sangat peduli terhadap pakaian yang digunakan namun justru melakukan perbuatan yang curang dan fasik.
Sedangkan Muhammad Fawaid Abdul Baqi dalam Syarah Shahih Muslim [2192/4] menjelaskan bahwa “berpakaian yang telanjang” memiliki empat kemungkinan pengertian, dimana pengertian-pengertian tersebut pada dasarnya sudah terakomodir dalam penjelasan K.H. Afifuddin.
Pertama, berpakaian dengan geliamangan nikmat Tuhan yang telah diberikan namun telanjang untuk bersyukur. Kedua, berpakaian dengan sempurna namun telanjang (tidak) melakukan perbuatan yang terpuji, tidak mementingkan amalan akhiratnya dan tidak perhatian kepada ketaatan.
Ketiga, berpakaian sebagian tubuhnya sementara bagian yang lain sengaja dibuka untuk menampilkan kecantikan dan kemulusan badannya. Keempat, menggunakan pakaian yang transparan sehingga auratnya masih terlihat.
Demikian penjelasan terkait sosok manusia yang termasuk “berpakaian yang telanjang”. Semoga bermanfaat.