Allah SWT memberikan rezeki kepada setiap umat manusia
Alquran melalui Surat Ar Rad ayat 26 dan tafsirnya menjelaskan tentang bagaimana cara Allah SWT membagi-bagi rezeki kepada manusia.
Allah SWT melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu.
Allah SWT membagikan rezeki tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya.
اَللّٰهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗوَفَرِحُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا مَتَاعٌ ࣖ
“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat.” (QS Ar Rad 26)
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama ayat ini menerangkan, Allah SWT melapangkan dan memudahkan rezeki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya. Sehingga mereka memperoleh rezeki yang lebih dari keperluan sehari-hari.
Mereka adalah orang-orang yang rajin dan terampil dalam mencari harta, dan melakukan bermacam-macam usaha. Mereka juga hemat dan cermat serta pandai mengelola dan mempergunakan harta bendanya itu.
Sebaliknya, Allah SWT juga membatasi rezeki bagi sebagian hamba-Nya. Sehingga rezeki yang mereka peroleh tidak lebih dari apa yang diperlukan sehari-hari. Mereka biasanya adalah orang-orang pemalas dan tidak terampil dalam mencari harta, atau tidak pandai mengelola dan mempergunakan harta tersebut.
Allah SWT melapangkan dan menyempitkan rezeki hamba-Nya berdasarkan hikmah serta pengetahuan-Nya tentang masing-masing hamba itu. Kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan kadar keimanan dan kekafiran hamba-Nya.
Oleh karena itu, ada kalanya Allah SWT menganugerahkan rezeki yang banyak kepada hamba-Nya yang kafir. Sebaliknya, kadang-kadang Allah SWT menyempitkan rezeki bagi hamba yang beriman untuk menambah pahala yang kelak akan mereka peroleh di akhirat.
Maka kekayaan dan kemiskinan adalah dua hal yang dapat terjadi pada orang-orang beriman maupun yang kafir, yang sholeh ataupun yang fasik.
Ayat ini selanjutnya menceritakan bahwa kaum musyrik Makah yang suka memungkiri janji Allah, sangat bergembira dengan banyaknya harta benda yang mereka miliki, dan kehidupan duniawi yang berlimpah-ruah, dan mereka mengira bahwa harta benda tersebut merupakan nikmat dan keberuntungan terbesar.
Oleh sebab itu, pada akhir ayat ini Allah menunjukkan kekeliruan mereka, dan menegaskan bahwa kenikmatan hidup duniawi ini hanyalah merupakan kenikmatan yang kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat yang besar nilainya dan sepanjang masa.
Dengan demikian, tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan di dunia yang mereka rasakan itu. Dalam hubungan ini, riwayat yang disampaikan oleh Imam At Tirmidzi dari Ibnu Masud menyebutkan sebagai berikut.
Pernah Rasulullah tidur di atas sehelai tikar kemudian beliau bangun dari tidurnya, dan kelihatan bekas tikar itu pada lambungnya, lalu kami berkata, “Ya Rasulullah seandainya kami ambilkan tempat tidur untukmu?” Rasulullah bersabda:
مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apalah artinya dunia ini bagiku? Apa urusanku dengan dunia? Aku hidup di dunia ini hanya laksana seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian dia berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu.” (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Masud)