Bagaimana cara mandi junub yang sesuai tuntunan, lengkap dengan dalil, wajib, dan sunnahnya? Yuk belajar lagi dari matan taqrib dan penjelasannya.
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menyebutkan,
وَفَرَائِضُ الغُسْلِ ثَلاَثَةُ أَشْيَاءَ النِّيَّةُ وَإِزَالَةُ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ عَلَى بَدَنِهِ وَإِيْصَالُ الماَءِ إِلَى جَمِيْعِ الشَّعَرِ وَالبَشَرَةِ.
Rukun/ fardhu mandi itu ada tiga, yaitu:
- Niat.
- Menghilangkan najis jika ada di badannya.
- Meratakan air ke seluruh rambut dan kulit.
Faedah dari Fath Al-Qarib dan kitab lainnya:
Rukun Mandi
Pertama: Niat
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)
Catatan dalam Fath Al-Qarib:
- Niat di sini adalah orang yang junub berniat mengangkat hadats atau menghilangkan hadats besar atau semacamnya. Bagi wanita yang suci dari haidh dan nifas, maka niatannya adalah menghilangkan hadats haidh atau nifas.
- Niat itu bersamaan dengan dimulainya mandi, yaitu mulai saat membasuh bagian badan paling atas (kepala) atau bawah (kaki).
- Niat boleh dari bagian mana saja, karena badan orang yang junub dianggap satu badan.
- Jika niatnya ketika telah membasuh satu bagian, maka wajib mengulangi niatnya.
Bagaimana menggabungkan niat mandi wajib dan mandi sunnah?
Menggabungkannya harus dengan niat. Jika diniatkan mandi Jumat dan berniat mengangkat hadats besar, maka ia akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Namun, jika diniatkan mandi sunnah saja tidaklah mendapatkan mandi wajibnya. Niat ini mesti ada sebelum memulai membasuh anggota badan. Lihat Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 43.
Kedua: Menghilangkan najis pada badan
Imam Ar-Rafi’i rahimahullah berpendapat bahwa sebelum mandi hendaklah menghilangkan najis pada badan terlebih dahulu, sehingga tidak bisa dengan niatan sekaligus menghilangkan hadats dan najis.
Pendapat yang mu’tamad atau pendapat resmi madzhab Syafii dan juga menjadi pendapat Imam Nawawi rahimahullah bahwa menghilangkan najis itu cukup dengan satu kali basuhan sekaligus niatan menghilangkan hadats. Menghilangkan kotoran sebelum mengguyurkan air untuk mandi dihukumi sunnah. Lihat At-Tadzhiib fii Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hlm. 27 dan juga Fath Al-Qarib, hlm. 7.
Najis yang dihilangkan di sini adalah najis yang ghairu ma’fu (tidak dimaafkan) atau pun najis yang ma’fu (yang dimaafkan, seperti darah yang sedikit).
Namun, ada rincian dalam Fath Al-Qarib (hlm. 7):
- Jika najis yang ada pada badan adalah najis hukmiyyah (najis yang tidak ada rasa, warna, bau, juga tidak tampak), maka cukup satu kali basuhan untuk niatan menghilangkan hadats dan najis sekaligus.
- Jika najis yang ada adalah najis ‘ainiyyah (najis yang memiliki warna, bau, rasa, dan tampak), maka wajib mencuci dua kali.
Dalil perintah menghilangkan najis pada badan sebelum mandi adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ, ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ, فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ, ثُمَّ يَتَوَضَّأُ, ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ, فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ, ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ, ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian menuangkan air pada kedua telapak tangan. Lalu beliau mencuci kemaluannya. Selanjutnya, beliau berwudhu. Lantas beliau mengambil air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut dengan jari-jarinya. Kemudian beliau menyiramkan air di kepala dengan mencedok tiga kali (dengan kedua telapak tangan penuh, pen.). Lalu beliau menuangkan air pada anggota badan yang lain. Kemudian, beliau mencuci kedua telapak kakinya.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 248 dan Muslim, no. 316)
Juga dalam hadits Maimunah disebutkan,
ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى فَرْجِهِ, فَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ, ثُمَّ ضَرَبَ بِهَا اَلْأَرْضَ
“Kemudian beliau mencuci (menuangkan sambil air mengalir, pen.) kemaluannya dengan tangan kirinya, lalu beliau menggosok tangannya ke tanah.” (HR. Bukhari, no. 249 dan Muslim, no. 317)
Ketiga: Meratakan air ke seluruh rambut dan kulit.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i, no. 247. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan,
هَذَا التَّأْكِيد يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ عَمَّمَ جَمِيع جَسَدِهِ بِالْغُسْلِ
“Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.” (Fath Al-Bari, 1:361)
Catatan dari Fath Al-Qarib (hlm. 7):
- Yang dibasuh saat mandi adalah semua rambut, rambut kepala dan rambut lainnya, baik rambutnya tipis ataukah tebal.
- Jika ada rambut yang diikat dan air tidak bisa sampai ke dalam rambut, maka wajib dilepaskan.
- Kulit yang harus terkena air saat mandi adalah kulit luar, bagian luar dari dua lubang telinga, hidung yang terpotong, pecah-pecah badan.
- Air wajib sampai pada dalam qulfah (kulit kemaluan yang menutupi kepala dzakar) atau yang tampak dari farji (kemaluan perempuan) ketika ia duduk untuk buang hajat, begitu pula dengan masrubah (anus) karena ia tampak ketika buang hajat, maka anus itu menjadi bagian luar dari badan.
Catatan penting:
- Jika ada cat pada kuku wanita, maka wajib menghilangkannya ketika berwudhu atau mandi karena cat itu menghalangi sampainya air pada permukaan kuku.
- Jika wanita memakai ikatan rambut dan air masih bisa sampai pada rambut, tempat tumbuhnya, dan kulit kepala, maka melepas ikatan rambut adalah sunnah. Namun, jika ikatan rambut menghalangi masuknya air, maka ikatan rambut tersebut harus dilepas.
Lihat Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii, hlm. 43.
Referensi:
- Al-Imtaa’ bi Syarh Matan Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Dar Al-Manar.
- At-Tadzhiib fii Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib. Cetakan ke-11, Tahun 1428 H. Prof. Dr. Musthafa Diib Al-Bugha. Penerbit Daar Al-Musthafa.
- Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
- Hasyiyah Al-Baijuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
—
Kamis sore, 6 Syakban 1443 H, 10 Maret 2022
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Muhammad Abduh Tuasikal