Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.
Prinsip keempat: hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan
Allah Ta’ala berfirman,
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah: 5).
Dalam ayat tersebut terdapat dua hal penting, yakni:
Pertama, tujuan yang paling mulia, yaitu ibadah kepada Allah semata. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)” (QS.Adz-Dzaariyaat: 56).
Kedua, sarana yang paling mulia, yaitu isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah Ta’ala semata.
Faedah penghayatan ayat kelima: keutamaan tawakal kepada Allah semata
Hakikat hidup kita adalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata dan tidak bisa tercapai hal itu kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya. Memohon pertolongan kepada Allah semata itu termasuk tanda bagusnya tawakal kepada Allah Ta’ala semata.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُه
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath-Thalaq: 3).
Siapa saja yang bertawakal kepada Allah semata dalam urusan agama dan dunianya, maka akan mencukupi seluruh keperluan dan urusannya, baik agamanya maupun dunianya. Dengan demikian, dia tidak membutuhkan kepada selain-Nya. Dia bersandar kepada Allah dalam mendatangkan apa yang bermanfaat baginya dan menolak apa yang membahayakannya. Dia percaya kepada-Nya bahwa Allah Ta’ala Maha Mampu memudahkan hal itu.
Tawakal kepada Allah itu terbangun atas dua perkara, yakni:
Pertama, seorang hamba meyakini bahwa pada hakekatnya, dia tidak memiliki apapun; dan
Kedua, bahwa semua makhluk dan seluruh urusannya berada di tangan Allah semata. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Baik, dan Maha Sempurna seluruh sifat-sifat-Nya.
Seorang hamba yang didalam hatinya terdapat dua keyakinan ini akan merasa tidak lepas dari membutuhkan kepada Allah Ta’ala. Mereka memiliki harapan besar kepada-Nya dan husnuzan kepada Allah Ta’ala dalam setiap aturan dan takdir dari-Nya. Sehingga dirinya merasa pasrah kepada aturan dan takdir-Nya dengan diiringi usaha yang bermanfaat secara sungguh-sungguh.
Tidak ada iman, ibadah, dan Islam seorang hamba kecuali dengan hatinya tergantung dan bersandar kepada Allah semata. Pusat Agama Islam ini terbangun atas ketergantungan dan bersandarnya hati kepada Rabbul ‘alamin, baik dari sisi tauhid rububiyyah maupun uluhiyyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Majmu’ul Fatawa (1: 39) [1] menyatakan bahwa setiap kali seorang hamba lebih merendahkan diri, lebih tunduk, dan lebih merasa butuh kepada Allah Ta’ala, maka ia lebih dekat kepada-Nya, lebih mengagungkan-Nya, dan lebih bahagia. Manusia yang paling bahagia adalah orang yang paling besar penghambaannya kepada Allah Ta’ala.
Sebaliknya, orang yang paling mulia dan paling terhormat di sisi manusia adalah orang yang tidak membutuhkan kepada makhluk dan tidak merendahkan diri kepadanya diiringi dengan ia berbuat baik kepada mereka. Namun, tatkala seseorang butuh kepada manusia meski hanya seteguk air, maka akan berkurang kadarnya di mata manusia. Ini adalah kebijaksanaan Allah, agar seluruh ketaatan dan penghambaan itu hanya untuk Allah Allah Ta’ala semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan,
الْفَرَجُ يَأتِي عند انقطاع الرجاء عن الخلق
“Solusi akan datang saat terputusnya harapan kepada makhluk” (Majmu’ul Fatawa, 10: 331).
Alasannya, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah [2],
سبب هذا تحقيق التوحيد: توحيد الربوبية وتوحيد الإلهية
“Penyebabnya adalah karena merealisasikan tauhid, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.”
Baca Juga: Berpuasa Ramadhan Selama 28 Atau 31 Hari, Apa Yang Harus Dilakukan?
Prinsip kelima: memahami tarbiyah Allah yang khusus untuk para hamba-Nya yang beriman dalam berbagai peristiwa yang dialaminya
Tarbiyah (pemeliharaan) Allah Ta’ala kepada hamba-Nya itu ada dua, yaitu:
Tarbiyah umum, yaitu pemeliharaan Allah terhadap seluruh makhluk dalam bentuk menciptakan, memberi rezeki, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa hidup di dunia ini. Sehingga tarbiyyah Allah Ta’ala jenis umum ini terkait dengan kenikmatan duniawi.
Tarbiyah khusus, yaitu pendidikan dan pemeliharaan-Nya terhadap seorang mukmin [3], dalam bentuk memberi taufik kepada setiap kebaikan, dan menolak berbagai keburukan serta hal yang merusak keimanan mereka.
Barangkali inilah rahasia mayoritas doa para Nabi ‘Alaihis shalatu was salamu yang diungkapkan dengan lafaz “Ar-Rabb” karena semua permintaan mereka terkait rububiyyah dan tarbiyyah-Nya yang khusus. Inti tarbiyyah khusus ini adalah Allah Ta’ala mendidik seorang mukmin agar terjaga dan sempurna imannya.
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia” (QS. Asy-Syura: 11).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Allah itu tuhan yang Maha Sempurna. Sedangkan makhluk itu penuh kekurangan dan kelemahan.
Pengaturan Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya jauh lebih bagus dari pengaturan hamba atas dirinya sendiri. Kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya jauh lebih besar dari kasih sayang hamba-Nya kepada dirinya sendiri.
Allah Ta’ala paling tahu apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya. Allah Ta’ala paling mampu mewujudkan kemaslahatan untuk hamba-Nya. Allah Ta’ala paling baik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan paling bijak serta adil dalam memberikan takdir kepada hamba-Nya. Setiap takdir-Nya tidak keluar dari kasih sayang, kebaikan, karunia, hikmah, atau keadilan-Nya.
Oleh karena itu, ketika Allah Allah Ta’ala mentakdirkan seorang mukmin dan mengaturnya dengan berbagai kejadian yang tidak ia inginkannya saat melakukan berbagai macam amal ibadah, maka yakinilah bahwa Allah Ta’ala tidak sama dengan makhluk-Nya. Dan hal itu bagian dari tarbiyyah Allah Ta’ala atas keimanannya.
Simak beberapa renungan tarbiyyah Allah yang khusus berikut ini.
Baca Juga:
Apakah di hati kita ada kecintaan kepada selain Allah yang mengotori tauhid kita dan menjauhkan kita dari beribadah kepada Allah dengan baik di bulan Ramadan?
Berlebihan dalam menyukai kuliner saat Ramadan, berburu baju baru sehingga lupa waktu ibadah, sibuk dengan bisnis sampai mengorbankan ibadah wajib, atau berlebihan sampai terluput berbagai pahala besar amalan-amalan bulan Ramadan, menyebabkan bukan mustahil Allah Ta’ala akan menegur hamba-Nya yang terjatuh ke dalamnya dengan berbagai kejadian sebagai bentuk tarbiyyah-Nya kepadanya.
Allah men-tarbiyah Nabi Adam dan Rasulullah Ibrahim ‘Alaihimas salam [4]
Ibnul Qoyyim Rahimahullah menjelaskan bahwa di antara bentuk cemburu Allah adalah Dia cemburu kepada hamba-Nya yang dicintai-Nya, yaitu Adam ‘Alaihis salam, saat kelezatan surga mengisi relung hatinya dengan kuat dan ia begitu semangatnya tinggal kekal di dalamnya, maka Allah-pun mengeluarkannya dari surga. Tarbiyyah Allah untuk Nabi Adam ‘Alaihis salam dalam bentuk Allah biarkan Adam ‘Alaihis salam berbuat dosa, sehingga Allah keluarkan beliau dari surga. Sehingga nantinya ibadah berupa cintanya kepada Allah tetap terjaga dan steril dari semua kotoran.
Demikian pula, tatkala masuk ke dalam hati salah satu dari hamba yang paling dicintai-Nya, Khalilullah Ibrahim ‘Alahis salam, kecintaan yang besar kepada Isma’il, maka Allah-pun memerintahkan beliau untuk menyembelihnya sehingga keluar rasa cinta kepada selain Allah tersebut dari hatinya. Apabila tidak demikian, maka cinta tersebut berpotensi mendominasi dan mengotori kecintaannya kepada Allah Allah Ta’ala.
Semua itu karena Allah tidak ridho hati hamba yang dicintai-Nya berpaling kepada selain-Nya, karena Allah mencintai tauhid dan tidak ridho terhadap syirik. Serta agar ibadah cinta, takut, dan harap tetap dan terus untuk Allah semata, tidak mendua dalam hati hamba-Nya!
Tarbiyyah Allah ini pun juga melahirkan sikap bersegera kepada keridhoan Allah dengan lebih baik sampai mencapai derajat tauhid dan iman yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Sebagaimana hal ini terbukti pada diri Nabi Adam ‘alaihis salam saat terjatuh dalam maksiat. Allah Ta’ala berfirman dalam ayat ke-121 dari surah Tha-Ha:
فَاَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۚ وَعَصٰىٓ اٰدَمُ رَبَّهٗ فَغَوٰى
“Kemudian keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga. Dan Adam telah bermaksiat kepada Tuhannya, maka tersesatlah dia (dari jalan kebenaran).”
Namun, justru itu menjadi pelajaran besar bagi beliau untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Allah-pun dalam ayat setelahnya (ayat ke-122) berfirman:
ثُمَّ اجْتَبٰىهُ رَبُّهٗ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدٰى
“Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.”
Jadilah Adam ‘alaihis salam sebagai hamba yang Allah pilih sebagai nabi-Nya, Allah terima taubatnya dan Allah sempurnakan hidayah-Nya untuknya dan sempurnakan pula keimanannya, setelah sebelumnya disebut bermaksiat dan tersesat dari jalan kebenaran. [5]
Apakah kita suka mengingat-ingat amal ibadah kita saat bulan Ramadan dengan pandangan kekaguman dan membangga-bangakannya?
Di bulan Ramadan, banyak terdapat janji pahala Allah, seperti pahala puasa Ramadan, pahala salat lima wajib lima waktu, pahala salat tarawih, pahala melakukan ibadah pada malam lailatul qadr, pahala memberi ifthar orang yang berpuasa, pahala menjadi panitia Ramadan, dan lain-lain. Semua ini akan berpotensi terbukanya pintu ujub bahkan sombong, khususnya bagi orang yang tidak berhati-hati memonitor hatinya.
Di antara bentuk tarbiyyah Allah untuk hamba-Nya yang beriman adalah Allah jadikan seseorang memandang remeh dan sedikit amal-amal yang telah diperbuatnya serta menghadirkan dalam hatinya bahwa amal saleh tersebut tidaklah bisa memenuhi hak Rabb-nya yang demikian agung atas dirinya.
Demikian pula Allah terkadang jadikan hamba tersebut lupa akan amal-amal saleh yang telah ia lakukan dalam bentuk pikirannya sibuk dengan kebaikan-kebaikan yang sedang dilakukan maupun yang akan dilakukan serta memikirkan dosa-dosa dirinya. Sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk memuji, mengagumi, dan membanggakan amal salehnya. Jadilah hamba itu suka bertaubat dan beristighfar serta terus semangat beramal saleh, karena ia lupa terhadap amal salehnya dan merasa amal salehnya masih sangat sedikit.
Ibnul Qoyyim Rahimahullah menyebutkan,
وعلامة قبول عملك : احتقاره واستقلاله وصغره في قلبك
“Dan tanda diterimanya amal salehmu adalah Engkau memandang remeh, sedikit, dan kecil amalan saleh tersebut di dalam hatimu!” (Madarijus Salikin, 2: 62) [6]
Apakah kita pernah di bulan Ramadan saat bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah, lalu masih saja terjatuh ke dalam dosa?
Di zaman medsos ini, pintu-pintu kemaksiatan terbuka luas, Allahul Musta’aan. Dengan mudah kemaksiatan hati maupun zhahir bisa terjadi via medsos. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita semua.
Salah satu bentuk tarbiyah Rabbani yang sangat bermanfaat untuk membebaskan seorang hamba dari penyakit mengagumi diri sendiri dan membanggakannya adalah membiarkan hamba melakukan dosa, membiarkan ia bersama kelemahannya, dan menyerahkannya kepada nafsunya yang banyak menyuruh kepada keburukan, sehingga rasa percaya dirinya pun goyah, dan ketika itulah ia kembali menyadari hakekat dirinya.
Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya seorang hamba melakukan kebaikan, lalu ia mengungkit-ungkit amalan kebaikannya tersebut di hadapan Rabb-nya, ia menyombongkan diri, memandang dirinya besar, membangga-banggakannya, dan meninggikan dirinya serta berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu”, sehingga melahirkan sikap ujub, sombong dan memuji diri, tinggi hati yang menghantarkan kepada kebinasaan.” (Al-Wabilush Shoyyib, hal. 8)
Beliau Rahimahullah juga menjelaskan,
“Apabila Allah ‘Azza wa Jalla menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, maka Ia akan mencampakkan hamba itu ke dalam dosa, yang meremukkan hati nuraninya, mengenalkan kadar dirinya pada dirinya, menjadikan hal itu pelajaran baginya untuk tidak berbuat kejahatan kepada sesamanya, dan memaksanya untuk menundukkan kepala serta menarik keluar dari dirinya penyakit ujub, sombong, dan menyebut-nyebut amal kebaikannya, baik di hadapan Allah maupun di hadapan sesamanya. Dengan demikian, dosa teresebut lebih ampuh untuk mengobati penyakit ini daripada berbagai ketaatan yang banyak. Jadi, dosa tersebut tidak ubahnya seperti obat pahit yang dapat mengeluarkan penyakit yang kronis.” (Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 170)
Sebuah kemaksiatan yang melahirkan rasa rendah diri dan keluluhan hati lebih mending daripada ketaatan yang melahirkan ujub dan kesombongan. Sa’id bin Jubair pernah ditanya, “Siapakah hamba yang paling taat?” Beliau pun menjawab “Seorang yang hatinya terluka lantaran dosa-dosa yang diperbuatnya. Setiap kali ia mengingat dosanya, iapun akan memandang hina dirinya.”
Dari keterangan tersebut jelaslah bagi kita, salah satu bentuk tarbiyah Allah terhadap hamba-Nya yaitu dengan membiarkan dan tidak menjaganya dari terjatuh dalam dosa sehingga dengan demikian ia terpaksa menundukkan kepala dan goyahlah ke-aku-an dirinya. Dan ini lebih dicintai oleh Allah daripada berbuat banyak ketaatan tapi ujub. Sebab, senantiasa berada dalam ketaatan dan tidak pernah terjatuh ke dalam lumpur dosa, bisa jadi menimbulkan sikap ujub.
Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata,
لو أنَّ ابن آدم كلَّما قالَ أصاب، وكلَّما عملَ أحسَن، أوشكَ أن يجنَّ من العُجب
“Kalau seandainya manusia setiap kali bicara selalu benar, dan setiap kali beramal selalu bagus, maka dikhawatirkan ia akan gila karena ujub.” (Lathaif Ma’arif, hal. 18)
Hikmah kesalahan seorang mukmin adalah penyesalan. Hikmah dari dosanya adalah permohonan maafnya. Hikmah kebengkokannya adalah kelurusan setelahnya. Serta hikmah keterlambatan adalah kesegeraannya setelahnya.
Perhatian!
Tarbiyah Allah atas seorang mukmin yang terjatuh ke dalam dosa, bukan dimaksudkan agar seorang hamba menyengaja berbuat dosa, bahkan suka terjatuh ke dalam dosa. Hal ini karena setiap dosa itu wajib dihindari, dan jika dilakukan akan berdampak keburukan dan pelakunya terancam adzab. Obat pahit ini tidak patut sengaja dicari oleh seorang hamba, meski dengan alasan ingin mendapatkan khasiatnya. Hal ini karena Allah Maha Mengetahui siapa yang cocok mendapatkan obat pahit ini!
Pernahkah kita gagal mencapai target-target ibadah kepada Allah semata di bulan Ramadan?
Mungkin gagal meraih target membaca Al-Qur’an, dzikrullah, birrul walidain, atau target salat di shaf pertama?
Ketahuilah di antara bentuk tarbiyyah Rabbani yang sangat bermanfaat bagi seorang mukmin adalah menutup pintu ketaatan untuk melindungi dan memeliharanya dari sikap sombong, ujub, mengagumi dan menyanjung dirinya sendiri, atau “silau” terhadap prestasi ibadahnya kepada Allah Ta’ala. Ini pada hakekatnya adalah bentuk rahmat dan penjagaan dari Allah Ta’ala. Dan Allah Maha Tahu siapa di antara hamba-Nya yang jika dibukakan pintu ketaatan menjadi ujub dan sombong.
Seorang pria bertanya kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Mengapa ketika aku meminta sesuatu kepada Allah Ta’ala, Dia mencegahku dari memperolehnya?”
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah menjawab, “Allah mencegahmu untuk memperolehnya itu hakikatnya merupakan anugerah.
Sebab, Allah bukan mencegahmu karena kikir atau tidak punya apa yang kamu minta, dan bukan pula karena Dia sendiri memerlukannya atau membutuhkannya, tapi Dia mencegahmu tidak lain karena kasih sayang-Nya kepadamu.”
Jika demikian halnya, maka pertanyaan yang muncul adalah mana yang lebih baik bagi seorang hamba, apakah lebih baik, misalnya, ia mendirikan salat malam lalu dipagi hari ia kagum dan membanggakan dirinya, ataukah lebih baik ia tidur dan di pagi hari menyesali kelalaiannya?
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
“Anda tidur di malam hari (sehingga tidak salat malam) dan menyesal di pagi harinya adalah lebih baik daripada Anda salat malam dan di paginya Anda ‘ujub. Sebab seorang yang ujub tidak naik amalnya. Anda tertawa tetapi Anda mengakui dosa itu lebih baik daripada Anda menangis untuk memamerkannya. Rintihan orang-orang yang berdosa sesungguhnya lebih dicintai Allah daripada lantunan dzikir dari orang-orang yang bertasbih namun memamerkannya.” (Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 120)
Di sisi yang lain, Allah bisa jadi juga mentarbiyah seseorang dengan ditutupnya pintu ketaatan baginya, akibat dosa yang dia lakukan sehingga Allah beri kesempatan kepadanya untuk bertaubat darinya. Karena ketaatan kepada Allah Ta’ala itu tidaklah terealisasi kecuali dengan taufik dari Allah Ta’ala. Sedangkan kemaksiatan itu adalah sebab penghalang mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, sebagian penukilan dari salaf saleh mengaitkan dosa dengan ketidakberhasilan melakukan ketaatan.
Pernahkah di antara kita terkena musibah di bulan Ramadan berhari-hari, bahkan sebulan penuh, dan tidak segera mendapatkan pertolongan Allah?
Di antara bentuk tarbiyah Allah atas seorang mukmin adalah Allah tidak segera menolongnya dan tidak segera mengangkat musibah yang menimpanya. Tarbiyyah Ilahi ini memiliki banyak faedah, di antaranya si hamba akan menemukan hakikat kelemahan dirinya dan ketergantungan yang amat sangat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan menyadari sesungguhnya dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk dirinya.
Faedah lainnya, ia akan segera meruntuhkan arogansi dan rasa ke-aku-an dalam kepemilikan seolah-olah semua kemampuan, ilmu, harta, dan fisik yang dimilikinya itu selalu bisa dia kerahkan sekehendak hatinya. Hal ini mengakibatkan kadar merendahkan diri, merasa butuh, serta rasa harapnya kepada Allah Ta’ala menjadi melemah, karena ke-aku-annya dan silau dengan kehebatannya selama ini serta arogansinya.
Tarbiyah Allah ini menuntun diri hamba tersebut agar tetap selalu merasa tidak bisa terlepas dari membutuhkan pertolongan Allah, meski sekejap pandangan mata. Sehingga ibadah harapnya, takutnya, dan cintanya hanya untuk Allah Ta’ala semata serta hatinya bergantung kepada Allah semata. Barangsiapa yang ada hal ini semua dalam dirinya, maka akan meyakini bahwa saat Allah tidak segera mengangkat musibah dari dirinya dan tidak segera menolongnya, pada hakekatnya Allah menyayangi dirinya!
Nasehat besar bagi diri dan seluruh pendakwah dan aktifis dakwah sunnah
Di antara bentuk tarbiyah Allah jenis ini adalah Allah menunjukkan keberlangsungan dakwah sunah ini sama sekali tidaklah tergantung kepada orang atau person tertentu, termasuk kita. Apabila kita tidak berada dalam barisan pembela dan pemakmur dakwah sunah, maka Allah Maha Mampu memilih orang lain yang akan menunaikan dakwah sunah dalam bentuk yang lebih sempurna dan jauh lebih baik daripada apa yang telah kita lakukan.
Bukan dakwah sunah yang membutuhkan kita, namun kitalah yang membutuhkan dakwah sunah!
Itulah lima prinsip yang penting kita terapkan, dan semua prinsip tersebut adalah masalah keyakinan dan penghayatan hati. Mengapa? Karena memperhatikan hati adalah dasar kebaikan, obyek penilaian Allah, dan sebab terbesar untuk mendapatkan pertolongan Allah. Di sisi yang lain, target akhir seorang hamba di akherat adalah seorang hamba membawa hati yang salim (selamat) ketika menghadap Sang Penciptanya!
Kesimpulan
Pertama, kita tertuntut untuk bersungguh-sungguh dalam meraih ketakwaan kepada Allah, melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, apalagi di bulan Ramadan yang merupakan bulan ibadah kepada Allah Ta’ala semata.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al-‘Ankabut: 69)
Maksudnya adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsu buruknya dalam bertaubat kepada Allah dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, dengan mengharap pahala-Nya dan takut siksa-Nya, niscaya Allah akan memberikan taufik kepada mereka untuk melaksanakan agama Islam, diberi petunjuk perkara yang tidak mereka ketahuinya, serta Allah jadikan mereka ikhlas niatnya dalam sedekah, salat, puasa, dan ibadah-ibadah mereka serta sesuai sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, di antara bentuk bersungguh-sungguh meraih ketakwaan kepada Allah di bulan Ramadan dan bulan selainnya adalah bertawakal kepada Allah Ta’ala semata dengan banyak berdoa dan memohon pertolongan kepada-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أعجز الناس من عجَز عن الدعاء
“Orang yang paling lemah adalah orang yang lemah berdoa kepada Allah.” (HR. Ath-Thabarani rahimahullah, dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah)
Ketiga, jika masih gagal setelah berusaha maksimal, maka jangan putus asa dari rahmat Allah, husnuzh zhonlah kepada Allah, karena pada hakekatnya itu adalah bentuk tarbiyah-Nya.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Bersemangatlah untuk mendapatkan perkara yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah Engkau lemah!” (HR. Muslim) .
Dalam Shahih Bukhari, dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي، وأنا معهُ إذا ذَكَرَنِي
“Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersama-Nya jika ia mengingat-Ku.”
Wallahu a’lam.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
[Selesai]
***
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah