Bukan cerita baru, kehadiran Negara Islam Indonesia (NII) di berbagai daerah termasuk di Sumatera Barat (Sumbar) sejak awal memang antitesa NKRI. NII lahir sebagai bentuk ketidaksetujuan dengan republik Indonesia. Berbagai gerakan makar dilakukan oleh NII di berbagai daerah hingga berujung eksekusi pendirinya, Kartosuwiryo. Lalu, apakah NII mati?
Tidak, NII terus berkembang dalam bentuk ideologi lama tetapi dengan metode baru. Cita-cita ingin menegakkan negara Islam dan berlakunya syariat Islam masih sama. Mengganti ideologi negara adalah doktrin tidak pernah mati. Gerakan dilakukan secara rahasia dengan melakukan perekrutan. Jika sudah merasa kuat, bukan tidak mungkin makar, kudeta dan kekerasan pun akan terjadi.
NII Sumbar hanya bagian dari riak yang ada dari gerakan ini yang terungkap lebih awal. Pertanyaannya, kenapa negara Islam harus melakukan makar? Bagaimana hukum makar dalam Islam ?
Makar dalam term Islam disebut dengan bughat sebagai bentuk jamak dari baghyun yang berarti kerusakan atau tindakan yang melampaui batas. Secara umum makar merupakan perbuatan yang membelot dari ketaatan kepada pemimpin yang sah. Pembangkangan dilakukan karena mereka berpendapat bahwa pemimpin atau sistem yang ada tidak sesuai dengan pandangan mereka dan wajib dilawan dan digulingkan.
Gerakan Makar Menurut Islam
Secara umum makar atau bughat adalah pembangkangan, ketidakpercayaan dan berbagai upaya yang ingin melakukan delegitimasi pemerintahan yang sah. Dari kalangan Syafi’iyah, yakni Imam Zakariya al-Anshari mendefinisikan pemberontak sebagai sekelompok orang yang menentang imam dengan pandangan yang batil sebagai bentuk pra sangka dan keraguan. Mereka yang melakukan gerakan, menghasut dan memprovokasi masyarakat menurut hukum Islam wajib diperangi.
Dalam Islam persoalan ketaatan terhadap pemimpin menjadi salah satu hal yang sangat pokok. Urusan keumatan tidak akan terselenggara apabila tidak ada pemimpin, sehingga kedudukan pemimpin sangat dibutuhkan dalam Islam. Bahkan lebih baik mempunyai pemimpin yang zalim daripada masyarakat kacau tanpa pemimpin. Nabi bersabda: barangsiapa yang tidak mau taat (kepada imam/pemimpin) dan memisahkan diri dari jamaah kemudia dia maya, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah. (HR Muslim).
Menaati pada pemimpin mutlak dilakukan walaupun ia zalim. Bukan berarti Islam lebih memilih dan mendiamkan pemimpin zalim, tetapi pada konteks pentingnya ada pemimpin di tengah umat. Pentingnya pemimpin ini sejalan pula dengan ketidakbolehan membangkang dari pemimpin kecuali telah nampak kekufuran yang nyata. Nyata dalam pengertian ini bukan hanya sekedar sangkaan dan multi interpretasi. Zalim yang nyata dirasakan secara obyektif, bukan subyektif penuh kepentingan politik atau kepentingan kelompok.
Meskipun pemerintah telah jelas melakukan kezaliman pembangkangan dan pemberontakan dalam Islam sangat tidak diperbolehkan. Cara-cara damai konstitusional dan demokratis adalah cara yang lebih baik untuk dilakukan. Inilah yang dikatakan Nabi : Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah berkata yang benar di hadapan pemimpin zalim. Tetapi membangkang dan memerangi pemimpin sekalipun zalim itu sangat tegas dilarang oleh Nabi.
Pembangkangan atau makar bukan jihad. Jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan perdamaian dan melindungan keamanan umat, bukan justru menghantarkan keterpecahan umat. Jika NII sejak awal ingin melakukan jihad, berjihadlah untuk memjaga bangsa ini bukan memprovakasi umat untuk tidak taat kepada pemimpin. Sebuah dosa besar bagi para pembangkang dalam Islam yang wajib diperangi. Dan Nabi mengatakan mereka yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.