Di dalam berurusan dengan hal-hal duniawi, manusia terbagi menjadi empat keadaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya secara ringkas dalam salah satu hadisnya yang sarat akan faedah dan pelajaran tinggi, meskipun dengan kata-kata yang ringkas.
أحدثكم حديثا فاحفظوه: إنما الدنيا لأربعة نفر: عبد رزقه الله مالاً وعلمًا فهو يتقي فيه ربه ويصِلُ فيه رحمه ويعلم لله فيه حقًّا، فهذا بأفضل المنازل، وعبد رزقه الله علمًا ولم يرزقه مالاً فهو صادق النية يقول لو أن لي مالاً لعملت بعمل فلان، فهو بنيته، فأجرهما سواء، وعبد رزقه الله مالاً ولم يرزقه علمًا فهو يخبِط في ماله بغير علم لا يتقي فيه ربه ولا يصل فيه رحمه ولا يعلم لله فيه حقا، فهذا بأخبث المنازل، وعبد لم يرزقه الله مالاً ولا علمًا فهو يقول لو أن لي مالاً لعملت فيه بعمل فلان، فهو بنيته، فوزرهما سواء
“Aku akan sampaikan kepada kalian sebuah hadis, maka ingatlah! Sesungguhnya dunia diisi oleh empat golongan orang: (1) Seorang hamba yang dikaruniai oleh Allah harta dan ilmu. Dengan ilmu itu ia bertakwa kepada Allah, ia dapat menggunakannya untuk menyambung silaturahmi, dan ia mengetahui bahwa Allah memiliki hak padanya. Ini adalah tingkatan yang paling baik. (2) Seorang hamba yang diberi Allah ilmu, tetapi tidak diberi harta. Namun, ia memiliki niat yang benar sambil berkata, ‘Andai saja aku memiliki harta, niscaya aku akan melakukan amalan seperti si Fulan.’ Maka, ia (mendapatkan pahala) berdasarkan apa yang dia niatkan. Sehingga keduanya mendapatkan pahala yang sama. (3) Seorang hamba yang diberikan harta, tetapi Allah tidak memberikannya ilmu. Ia menggunakan hartanya tanpa ilmu. Ia tidak menggunakan hartanya dalam takwa kepada Allah, ia tidak menggunakan untuk menyambung silaturahmi, dan ia juga tidak tahu bahwa Allah memiliki hak atas hartanya. Dan inilah tingkatan terburuk. (4) Seorang hamba yang tidak diberikan Allah harta maupun ilmu, namun ia berkata, ‘Andai aku memiliki harta, tentu aku akan melakukan apa yang dilakukan Fulan.’ Maka, ia berdasarkan niatnya. Sehingga bagi keduanya, mendapatkan dosa yang sama.” (HR. Tirmidzi no. 2325 dan Ahmad no. 18031)
Sungguh hadis ini adalah hadis mulia. Hadis yang ringkas, namun menyebutkan beberapa macam sikap manusia terhadap nikmat Allah Ta’ala yang diberikan di dunia. Lihatlah, bagaimana Nabi memulainya dengan ucapan yang membuat seseorang menjadi perhatian terhadap apa yang akan disampaikan, “Aku akan menyampaikan sebuah hadis, maka ingatlah!” Oleh karenanya, bagi seorang penggiat dakwah dianjurkan dan disarankan untuk mengucapkan hal semacam itu saat akan menyampaikan perkara yang mengharuskan hadirnya rasa perhatian dari para pendengar.
Di dalam hadis ini, Nabi menjelaskan bahwa seorang muslim butuh untuk menuntut ilmu. Karena dengan ilmulah, ia akan meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Siapa yang berusaha dan bergelut dalam urusan dunia dengan ilmu, maka ia akan mendapatkan dan meraih keinginannya.
Para ulama adalah pemimpin dan panutan yang tidak ada bandingannya. Orang awam pasti akan lebih menuruti seorang ulama, lebih dari rasa hormat dan tunduknya kepada pemimpin-pemimpin lainnya. Karena seorang ulama memegang tali kekang yang akan menentramkan hati orang-orang awam. Sedangkan pemimpin-pemimpin lainnya mengandalkan otoritas kekuatan tangan untuk mengatur manusia, yang mana tentu saja rawan akan ketidaksetujuan dan penolakan dari mereka.
Keadaan pertama: Orang berilmu yang Allah berikan keluasan harta
Jika ada seorang hamba yang Allah takdirkan mendapatkan kedua hal ini, maka sungguh ia telah mendapatkan kedudukan yang tinggi. Karena ia akan dimungkinkan untuk mempraktekkan ilmu yang telah diperolehnya dan akan mengolah hartanya sesuai dengan ilmu yang telah ia pelajari. Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk mengamalkan apa yang ia pelajari, serta murka terhadap orang-orang yang tidak mengamalkannya.
يا أيها الذين آمنوا لم تقولون ما لا تفعلون كبر مقتًا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saf: 3-4)
Sufyan Ats-Sauri rahimahullah pernah ditanya, “Mana yang lebih Engkau sukai, menuntut ilmu atau beramal?” Beliau menjawab,
إنما يراد العلم للعمل، فلا تدع طلب العلم للعمل، ولا تدع العمل لطلب العلم
“Sesungguhnya ilmu itu dituntut dan dipelajari agar diamalkan. Maka, janganlah meninggalkan menuntut ilmu karena beramal dan jangan pula tinggalkan amal karena menuntut ilmu.” (Hilyatul Auliyaa’, 7: 12)
Di beberapa hadis, Nabi juga mengisyaratkan bahwa keberkahan harta tidak akan terwujud, kecuali jika ia dikeluarkan dengan memenuhi dua syarat. Yang pertama, mengetahui dan mengerti bagaimana caranya mengeluarkan harta dalam perkara kebaikan. Yang kedua, mengeluarkannya dengan ikhlas.
Di hadis yang lain, Nabi juga mengajarkan, membantu dalam bentuk harta untuk sanak kerabat merupakan salah satu bentuk sedekah yang paling besar keutamaannya. Sebagaimana juga sedekah untuk penuntut ilmu yang kurang mampu juga merupakan prioritas utama dalam sedekah.
Keadaan kedua: Orang berilmu namun tidak berkecukupan
Orang yang Allah berikan rezeki ilmu, maka manfaatnya tentu lebih besar daripada mereka yang diberikan rezeki berupa harta. Karena ilmu menguatkan dan memberikan gizi bagi hati dan jiwa. Sedangkan harta adalah gizi dan makanan bagi perut. Tentu saja gizi hati lebih diutamakan dari gizi perut.
Jika Allah belum berikan kemampuan harta, namun Allah berikan niat yang tulus, maka insyaAllah ia akan mendapatkan pahala yang sama sebagaimana mereka yang telah Allah berikan kelebihan dalam masalah harta. Lihatlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang-orang yang tidak bisa keluar untuk ikut dalam peperangan Tabuk.
إنَّ بالمَدِينَةِ لَرِجَالًا ما سِرْتُمْ مَسِيرًا، وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا، إلَّا كَانُوا معكُمْ؛ حَبَسَهُمُ المَرَضُ. وفي رواية: إلَّا شَرِكُوكُمْ في الأجْرِ.
“Sesungguhnya di Madinah itu ada sekelompok orang lelaki. Tidaklah kalian menempuh suatu perjalanan, tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi ada besertamu (yakni sama sama memperoleh pahala). Mereka itu terhalang oleh sakit (maksudnya uzur karena sakit, sehingga andaikan tidak sakit pasti ikut berperang).”
Dalam salah satu riwayat dijelaskan, “Melainkan mereka (yang tertinggal dan tidak ikut berperang) berserikat denganmu dalam hal pahala.” (HR Muslim no. 1911)
Sebagaimana sebuah niat bisa menjadikan seseorang yang belum diberikan kemampuan untuk melakukan sebuah amal mendapatkan pahala, dengan niat pula sebuah amalan yang mungkin terlihat ‘remeh’ pahalanya menjadi besar di sisi Allah Ta’ala. Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata,
رُبّ عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
“Berapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat pelakunya. Dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat pelakunya.”
Allah belum memberikan rezeki berupa banyaknya harta? Niatkan dulu, jika suatu saat mendapatkannya, maka akan kita gunakan untuk kebaikan. InsyaAllah Allah tuliskan untuk kita pahala sebagaimana mereka yang sudah berbuat baik dengan harta yang mereka miliki.
Keadaan ketiga: Orang kaya, namun bodoh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jadikan orang ini sebagai manusia yang paling buruk. Karena kedunguannya dan kebodohannya, ia tidak bisa mengelola harta yang dimilikinya. Menyia-nyiakan, lupa bahwa kerabatnya memiliki hak atas amanah harta yang ada padanya, serta boros di dalam menggunakannya. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
وءات ذا القربى حقه والمسكين وابن السبيل ولا تبذر تبذيرا إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا
“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 26-27)
Pemimpin orang-orang semacam ini adalah Karun. Allah limpahkan kepadanya harta, namun Allah tidak berikan kepadanya ilmu. Saat kaumnya menasihatinya, ia justru sombong dan mengatakan,
اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْۗ
“Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qasas: 78)
Lalu, Allah timpakan kepadanya hukuman di dunia karena kesombongan dan kecongkakannya.
فَخَسَفْنَا بِهٖ وَبِدَارِهِ الْاَرْضَ ۗفَمَا كَانَ لَهٗ مِنْ فِئَةٍ يَّنْصُرُوْنَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۖوَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِيْنَ
“Maka Kami benamkan dia (Karun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah. Dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri.” (QS. Al-Qasas: 81)
Keadaan keempat: Miskin lagi bodoh
Lagi-lagi, niat yang salah merupakan sebab ditulisnya dosa bagi seseorang. Orang semacam ini karena kebodohannya ia berniat dengan niatan yang salah dan buruk. Berharap jika suatu saat nanti diberikan keluasan harta sebagaimana orang yang diberikan keluasan harta dan tidak pandai dan tidak bisa mengelolanya. Sehingga tentu saja ia tidak bisa menunaikan hak Allah di dalam harta tersebut.
Oleh karenanya, ia mendapatkan dosa karena niat buruknya tersebut, dan ini bukanlah bentuk kezaliman kepadanya. Sebagian dari kita mungkin bertanya, tidakkah hadis ini bertentangan dengan hadis,
إنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَ لِأُمَّتي عَمَّا حَدَّثَتْ به أَنْفُسَهَا، ما لَمْ تَعْمَلْ، أَوْ تَكَلَّمْ بهِ<l
“Sungguh Allah memaafkan bisikan hati (niatan) dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan.” (HR. Muslim no. 127)
Tentu saja tidak. Karena orang ini telah mengucapkan keinginannya. Adapun yang dimaafkan di dalam hadis adalah bisikan/niatan dalam diri, karena hatinya belum tenang dan tenteram dengan perbuatan dosa tersebut. Adapun jika telah berniat dan niatan tersebut telah menetap pada dirinya, maka itu dihitung sebagai kemaksiatan walaupun ia belum mengerjakannya ataupun mengucapkannya.
Di samping itu, dosa itu ia peroleh karena ia tak mau berusaha untuk belajar dan berilmu serta mengangkat kebodohan dari dirinya. Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Allah menghindarkan kita dari keadaan yang semacam ini. Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan kepada kita rezeki berupa niat yang baik, ilmu yang bermanfaat, dan amal kebaikan. Amiin Ya Rabbal Aalamiin.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76475-sikap-muslim-yang-tepat-terhadap-perkara-duniawi.html