Permasalahan fikih, terutama fikih ibadah bagi penyandang disabilitas harus dibahas secara khusus. Nah berikut tata cara shalat penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda atau tongkat.
Jenis disabilitas yang banyak ragamnya menyebabkan pembahasan fikih yang harus mengedepankan kemaslahatan bagi mereka tanpa mengurangi nilai pahala dan meninggalkan kewajibannya. Salah satunya adalah penyandandang disabilitas yang shalat menggunakan kursi roda atau tongkat.
Hal yang akan dipertimbangkan bagi pengguna kursi roda atau tongkat adalah kesucian kursi roda dan tongkat tersebut. Akitivitas sehari-hari yang mereka lakukan di luar ibadah tentu menggunakan alat bantu berupa kursi roda dan tongkat itu. Maka pastilah kedua alat bantu tersebut terkena kotoran atau najis.
Salah satu syarat sah shalat adalah bersih dari najis. Pembahasan ini menjadi salah satu judul yang masuk dalam kajian Batsul Masail Nahdhatul Ulama dan masuk dalam buku “Fikih Penguatan Penyandang Disabilitas”.
Mengenai pengguna kursi roda, ulama sepakat, boleh hukumnya shalat dengan kursi roda yang jelas-jelas terkena najis dan sah shalatnya. Selama ia tidak menggenggam kursi roda tersebut dan dipastikan kursi roda tidak bergerak akibat pergerakan orang yang duduk di atasnya.
Kursi roda tersebut, disamakan dengan sajadah yang menjadi tempat sujud selama najisnya tidak mengenai tubuh orang yang shalat tersebut. Sedangkan tongkat yang najis, ulama sepakat, tidak sah hukumnya shalat sambil menggenggam tongkat yang terkena najis karena dianggap membawa najis sekalipun tongkat tersebut tidak bergerak karena pergerakan orang yang shalat.
Sebagaimana yang diterangkan dalam Hasyiah I’anah Thalibin karya al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyati,
ولا صلاة قابض طرف متصل بنجس وإن لم يتحرك بحركته ….. وخرج بقابض وما بعده ما لو جعله المصلي تحت قدمه فلا يضر وإن تحرك بحركته كما لو صلى على بساط مفروش على نجس أو بعضه الذي لا يماسه نجس Baca Juga: Praktik Sewa Rahim dalam Pandangan Islam
Tidak sah shalatnya orang yang menggenggam ujung barang yang bersambung dengan najis, sekalipun barang tersebut tidak bergerak karena gerakannya.
Berbeda dengan dengan orang yang menjadikan barang tersebut di bawah telapak kakinya, maka tidak berpengaruh (untuk keabsahan shalatnya) meskipun barang tersebut bergerak karena pergerakan orang yang shalat.
Seperti orang yang shalat di atas tikar yang berada di atas najis atau sebagian najis dan orang tersebut tidak menyentuh najisnya. (Baca: Aksesibilitas Ruang Publik bagi Penyandang Disabilitas dalam Islam).
Hal yang membedakan keduanya adalah keterhubungan orang yang shalat dengan barang yang najis atau tidak. Seseorang yang menggenggam tongkat atau barang yang terkena najis dianggap membawa najis karena ia memegang dan menyentuhnya. Sedangkan pengguna kursi roda tidak menjadikan kursinya sebagai pegangan sehingga tidak dianggap bersambung.
Demikian tata cara shalat menggunakan kursi roda atau tongkat. Wallahu a’lam. (Baca juga; Dianggap Membawa Najis, Benarkah Pengguna Kursi Roda Tak Boleh Masuk Masjid?).
Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com