Meninggalkan usaha bukanlah merupakan syarat Tawakal , bahkan Abubakar menjaga Gua Tsur dari bahaya binatang bisa, dengan menyumbatkan lobang dengan tangannya
SEORANG Arab badui datang menghadap Nabi dan membiarkan untanya tanpa diikat. Sewaktu ditanya mengapa engkau biarkan untamu, dia menjawab: Aku bertawakal kepada Allah, maka nabi berkata, yang aritnya, ”Ikatkanlah untamu itu barulah kamu bertawakal “.
Dari kisah di atas dapat dilihat bahwa tawakal bukanlah meninggalkan perbuatan untuk menjaga sesuatu. Mengikat unta merupakan upaya agar unta itu tidak dicuri dan hilang, setelah unta diikat, barulah tawakal kepada Tuhan, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah atas segala keputusan yang akan berlaku terhadap unta tersebut.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menyatakan: “Ada orang yang menyangka bahwa tawakal ialah meninggalkan usaha dengan badan, maka itu adalah sangkaan orang yang bodoh, dan sikap itu adalah haram. Sesungguhnya tawakal harus nampak dalam kesan berupa gerak dan usaha dengan ilmu melalui ikhtiar.”(Ihya’, hal.333).
“Maka tidaklah termasuk tawakal sedikitpun, jika seseorang itu menunggu bahwa Allah Taala akan menciptakan kekenyangan pada engkau, tanpa roti atau Dia akan menciptakan roti bergerak kepadanya, atau menciptakan malaikat untuk mengunyahkan makanan baginya dan menyampaikan ke dalam perutnya. Sikap ini menunjukkan kebodohan seseorang tersebut dengan hukum-hukum dan peraturan Allah (sunatullah) yang telah ditetapkan dalam kehidupan.” (Ihya’, hal.334).
Oleh sebab itu, meninggalkan usaha bukanlah merupakan syarat tawakal, sebab Abubakar telah menjaga dalam Gua Tsur dari bahaya binatang bisa, dengan menyumbatkan lobang dalam gua tersebut dengan tangannya. Tidak juga tawakal jika seseorang itu keluar memasuki padang belantara dan meninggalkan keluarga dengan bertawakkal tentang hak mereka atau duduk tidak mementingkan urusan mereka, maka ini adalah haram, sebab hal itu akan membawa kepada kebinasaan mereka, dan menyiksa keadaan keluarganya.
Malah seseorang yang bertawakal harus memiliki adab-adab dalam Tawakal . Di antara adab seseorang yang akan meninggalkan rumah, maka dia harus mempunyai adab dalam berTawakal . Menurut Imam Ghazali di antara adab bertawakal sewaktu meningalkan rumah ialah:
(1). Mengunci rumah,
(2). Tidak meninggalkan di rumahnya harta yang dapat menggairahkan pencuri,
(3). Saat keluar niatkan bahwa ridha dengan apa saja keputusan tuhan,
(4). Jika hartanya dicuri orang, maka dia tidak bersedih, dan mengatakan : Jika tidak adakebaikan, niscaya tidak ditarik Allah hartanya,
(5).Tidak berdoa yang tidak baik kepada pencuri,
(6). Berduka cita karena kemaksiatan pencuri tersebut akan mendatangkan azab bagi dirinya. Dan bersyukur dia tidak seperti pencuri tersebut.
Demikian juga jika seseorang itu sedang sakit, maka dia wajib untuk mencari obat terhadap sakit yang dideritanya. Berobat tidak berlawanan dengan tawakal , sebab Rasulullah ﷺ selalu menyuruh umatnya untuk berobat dikala sakit sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah bersabda;
تَدَاوَوْا عِبَادَ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ مَعَهُ شِفَاءً إِلَّا الْهَرَمَ
“Wahai hamba Allah, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah Subhaanahu tidak menurunkan penyakit melainkan kecuali Dia juga menurunkan obatnya, kecuali sakit pikun”Berobatlah hai hamba Allah, karena Allah menjadikan penyakit dan juga obat. “ (HR: Ibnu Majah).
Saat Ali bin Abi Thalib sakit mata, maka Rasulullah ﷺ berkata yang artinya, ”Jangan engkau makan kurma yang belum kering (rutab).” Dan saat Suhaib sakit mata dan dia akan makan kurma maka nabi berkata, ”Engkau makan kurma sedangkan engkau sakit mata..?”.
Dalam kisah para nabi dikisahkan bahwa Nabi Musa menderita sakit. Bani Israel datang dan menyuruh nanbi musa untuk mengambil obat, yang biasa mereka pakai untuk penyakit tersebut.
Nabi Musa tidak mau menjawab: “Aku tidak akan mengambil obat sampai aku disembuhkan oleh Tuhan“. Lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa: ”Demi kemuliaanKu, Aku tidak akan menyembuhkan engkau sebelum engkau berobat dengan obat yang mereka sebutkan kepadamu.“
”Engkau menghendaki bahwa Aku membatalkan hikmahKu dengan Tawakal mu kepadaKu, tetapi siapakah yang menyimpan obat dari tumbuh-tumbuhan sebagai manfaat dan obat dari segala sesuatu selain Aku..? (Ihya’ : hal. 385).
Tawakal itu adalah sikap hati, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad tawakal itu adalah amalan hati.sedangkan mencari obat untuk penyakit itu adalah kerja angota badan. Hati tetap tawakal terhadap keputusan Allah tetapi anggota madan, tetap harus mencari bagaimana cara dan obat apa yang dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit tersebut.
Ibnu Qayim menyatakan bahwa syarat tawakal ada 6: Pertama, mengenal Allah , sifatnya, kudratNya, sunnah-sunnahNya.
Kedua, menetapkan diri pada sunatullah dalam hukum sebab dan akibat. Ketiga, meletakkan hati pada kedudukan tawakal dan tauhid.
Empat, bersandarnya hati kepada Allah, dan tenang dengan segala keputusanNya. Kelima, baik sangka dengan Allah, dan keenam, menyerahkan hati sepenuhnya kepada Tuhan setelah melakukan segala ikhtiar.
Ibrahim Khawwash adalah seorang ahli tasawuf. Ketika dia musafir, dalam perjalanan dia membawa bekal makanan, minuman, juga membawa jarum, gunting (untuk menjahit jika ada pakaian yang koyak dalam perjalanan), juga membawa tali dan timba (untuk mengambil air di tengah jalan). Dia berkata; “Apa yang aku bawa ini semua tidaklah merusak tawakal kepada Allah“.
Oleh sebab itu jika seeorang itu berjalan dan berada di kawasan yang tandus, dan dia diam saja tanpa berusaha mencari tempat yang dapat memberikannya kehidupan, itu bukan tawakal sebab tawakal harus berusaha mencari segala sesuatu yang dapat meneruskan kehidupan.
Malahan, jika dia duduk saja tanpa berusaha berarti dia telah berdosa, sebab meninggalkan perintah Allah untuk berusaha dan sikap tawakal yang salah itu dapat membinasakan dirinya sendiri. Sedangkan membinasakan diri adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah.
Abu Jakfar Haddad, guru dari sufi terkenal Al Juneid berkata: “Aku menyembunyikan tawakal selama dua puluh tahun, dan aku tidak pernah berpisah dari pasar, dimana aku berusaha setiap hari sehingga mendapatkan satu dinar (untuk aku pakai dan sedekahkan), dan aku tidak pernah meninggalkan satu daqing (sen) pun untuk disimpan di dalam rumahku.“
Inilah makna tawakal dengan bekerja, dan tawakal setelah bekerja. Tawakal dengan bekerja, tetap bekerja sebab itu merupakan perintah Tuhan dan sebab untuk mendapatkan uang; kemudian uang dipakai seperlunya, dan selebihnya disedekahkan sebab Allah juga memerintahkan demikian dalam menggunakan harta, dan setelah disedekahkan, berTawakal kembali untuk bekerja besok harinya dengan keimanan dan keyakinan bahwa Allah akan tetap memberikan rezekiNya kepada setiap makhlukNya.
Demikianlah sewaktu sahabat bertanya kepada Rasulullah, bagaimanakah maksud tawakal tersebut? Rasulullah ﷺ menjawab : “Kalau kamu bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakal, maka Allah akan memberikan rezki kepadamu, sebagaimana Allah memberikan rezki kepada burung, dimana burung tersebut keluar dari sarangnya di pagi hari dengan perut yang kosong terbang mencari makanan hari tersebut, dan kembali ke sarangnya di sore hari dengan perut yang kenyang “(riwayat Tirmidzi dan hakim ).
Jika tawakkal burung saja yang tidak memiliki akal tersebut dengan terbang mencari makanan, bukan diam di dalam sarang, bagaimana dengan tawakal manusia yang memiliki akal pikiran untuk berpikir dan angota badan untuk bergerak, apakah cukup dengan berdiam diri menunggu nasib..?
وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Maka kepada Allah bertawakal orang yang beriman.“ (QS: Al-Maidah: 23). Fa’tabiru ya ulil albab.*/Fathy Rashad (Buletin istaid)