Baca pembahasan sebelumnya Serial Fikih Muamalah (Bag. 8): Cara-Cara Memperoleh Harta yang Dilarang Syariat
Akad memiliki peranan penting dalam berbagai persoalan muamalah, baik itu yang bersifat interaksi maupun transaksi. Bahkan, akad dapat menjadi salah satu penentu sah atau tidaknya suatu transaksi.
Dengan sahnya sebuah akad, kepemilikan berpindah dari satu pihak ke pihak yang lain. Dengan akad pula, wewenang, tanggung jawab, dan kegunaan dapat berubah. Atas dasar inilah kajian tentang akad menjadi sangat penting untuk dibahas dan dipelajari sebelum lebih jauh berbicara tentang berbagai persoalan muamalah dalam Islam.
Pengertian akad
Akad secara bahasa artinya menggabungkan, mengikat, dan mengencangkan ujung sesuatu. Lawan katanya adalah melepaskan. Akad juga sering dimaknai dengan mengencangkan dan menguatkan sesuatu.
Kata akad digunakan secara makna hakikinya dalam hal mengikat sesuatu yang nampak (konkrit dan bisa disentuh), contohnya (عقد الحبل) Aqdu Al-Habl, artinya ikatan tali. Sedangkan makna metaforanya, maka digunakan untuk mengikat sesuatu yang bersifat tidak nampak (abstrak/maknawi), contohnya (عقد البيع) Aqdu Al-Bay’i, artinya kontrak/ikatan jual beli.
Dalam Fikih Islam, akad memiliki dua makna:
Yang pertama: sebuah ikatan yang timbul dari dua perkataan atau sesuatu yang menggantikan keduanya, seperti isyarat ataupun tulisan, berdasarkan ketentuan syariat yang berdampak pada objeknya.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mengatakan,
‘Aku menjual pena ini dengan harga lima ribu rupiah.’,
lalu calon pembeli mengatakan, ‘Deal/setuju!’,
maka terbentuklah sebuah akad dan terbentuk juga konsekuensi hukum syariat atau pengaruh akad tersebut, baik itu perpindahan kepemilikan pena kepada pembelinya, perpindahan kepemilikan uang pada penjualnya, atau wajibnya kedua belah pihak untuk menyerahkan apa yang sudah ia akadkan kepada masing-masing pihak.
Melihat makna akad yang pertama ini, maka akad (ikatan) yang timbul hanya dari keinginan satu pihak saja tidak termasuk di dalamnya, seperti talak, pengakuan bebas hutang, ataupun pembebasan budak oleh tuannya.
Adapun makna ‘akad’ yang kedua: maka lebih umum dan lebih menyeluruh dari makna pertama, karena tidak menyaratkan adanya dua pihak pada semua keadaan. Akad bisa terjadi hanya dengan keinginan satu pihak saja (seperti akad talak) dan bisa juga terjadi karena adanya keinginan dari dua pihak (seperti akad jual beli, sewa menyewa, dan akad nikah).
Untuk lebih ringkasnya, makna kedua ini memiliki definisi, “Setiap ucapan lisan yang menimbulkan suatu hukum syariat, baik itu dari satu pihak ataupun dari dua pihak.”
Akad dengan makna kedua inilah yang digunakan oleh mayoritas mazhab, baik itu Malikiyyah, Syafi’iyyah, ataupun Hanabilah. Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Ma’idah: 1)
Akad itu sifatnya umum, mencakup seluruh jenis komitmen dalam ucapan, baik itu berupa janji, pemberian sukarela, akad nikah, akad jual beli, dan akad-akad lain yang harus berjalan sesuai ketentuan syariat.
Allah Ta’ala juga berfirman,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS. Al-Ma’idah: 89)
(عَقَّدْتُّمُ) pada ayat di atas maknanya adalah akad sumpah seperti akad janji.
Perspektif Islam terhadap akad
Islam memandang akad dengan perspektif subyektif dan independen. Hal ini menguatkan bahwa syariat Islam berlaku dan bisa beradaptasi sepanjang zaman dan dapat dipraktikkan di semua tempat serta memberikan ‘akad’ prioritas dalam hal pengaplikasian.
Islam membentuk dan mengesahkan akad-akad untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan darurat masyarakat, membangunnya di atas asas keridaan dan kerelaan hati, juga di atas asas kebebasan dalam bertransaksi dan beberapa hal lainnya yang akan kita jelaskan setelah ini.
Pertama: Islam menetapkan akad-akad guna memenuhi kebutuhan manusia
Saat agama Islam pertama kali datang, manusia sudah terlebih dahulu berinteraksi dan bertransaksi dengan berbagai macam bentuk akad yang sudah ada. Lalu, Islam datang dan menetapkan akad-akad mana saja yang diperbolehkan dan akad mana saja yang tidak diperbolehkan. Islam juga memperbaiki dan membenahi akad yang sudah ada jika memang butuh diperbaiki, sehingga ia tetap berlaku dan dapat diaplikasikan tanpa adanya pelanggaran terhadap kaidah-kaidah yang ada.
Oleh karenanya, Islam menghalalkan akad jual beli. Allah Ta’ala berfirman,
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Kebutuhan manusia mendorong penghalalan akad jual beli.
Mengapa? Karena kebutuhan seseorang terkadang berkaitan dan bersinggungan dengan apa yang berada di tangan orang lain, di mana orang tersebut tidak akan mungkin memberikan apa yang ada di tangannya, kecuali dengan adanya imbalan. Dengan dihalalkannya akad jual beli, maka itu memungkinkan kedua pihak (penjual dan pembeli) untuk sama-sama meraih tujuan dan keinginannya.
Islam juga memperbolehkan syirkah (kongsi/mitra usaha) melihat kebutuhan manusia yang sangat besar terhadapnya. Entah itu untuk memperoleh penghasilan dasar karena belum memilikinya ataupun untuk mengembangkan dan menginvestasikan penghasilan yang telah ia peroleh tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاۤءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ
“Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu (berkongsi) itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan.” (QS. Shad: 24)
Sulaiman bin Abi Muslim berkata,
سَأَلْتُ أَبَا الْمِنْهَالِ عَنْ الصَّرْفِ يَدًا بِيَدٍ فَقَالَ اشْتَرَيْتُ أَنَا وَشَرِيكٌ لِي شَيْئًا يَدًا بِيَدٍ وَنَسِيئَةً فَجَاءَنَا الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ فَسَأَلْنَاهُ فَقَالَ فَعَلْتُ أَنَا وَشَرِيكِي زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ وَسَأَلْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ مَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ فَخُذُوهُ وَمَا كَانَ نَسِيئَةً فَذَرُوهُ
Aku bertanya kepada Al-Minhal tentang tentang pertukaran uang secara langsung. Maka, dia berkata, “Dahulu aku dan mitra usahaku membeli sesuatu secara langsung dan dengan tempo, lalu datang kepada kami Al-Bara’ bin ‘Azib, lalu kami tanyakan kepadanya tentang masalah itu, maka dia berkata, ‘Dulu aku dan mitra usahaku Zaid bin Arqam pernah menanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, ‘Jika transaksi langsung di atas tangan (pembayaran secara cash, kontan) ambillah, namun bila tunda (tempo), maka tinggalkanlah.’” (HR. Bukhari no. 2497)
Kedua: Islam menjadikan keridaan dan kerelaan hati sebagai asas terbentuknya sebuah akad.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar saling rida (suka sama suka).” (HR. Ibnu Majah no. 1792)
Ketiga: Islam membangun akad atas asas kebebasan bertransaksi
Islam memberikan kebebasan kepada kedua belah pihak dalam merealisasikan keinginan mereka saat bertransaksi. Mereka juga diperbolehkan untuk saling memberikan syarat dalam bertransaksi. Hanya saja, semua hal tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah umum yang berlaku dalam syariat Islam, serta tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan akad.
Karenanya, seorang muslim tidak boleh dipaksa untuk meneken kontrak dan menyetujui sebuah akad, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إنَّ اللهَ تعالى وضع عن أُمَّتي الخطأَ ، و النسيانَ ، و ما اسْتُكرِهوا عليه
“Sesungguhnya Allah membiarkan (mengampuni) kesalahan dari umatku akibat kekeliruan dan lupa serta keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah no. 2045 dan Al-Baihaqi no. 11787 serta disahihkan oleh Syekh Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 1836)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
المُسلِمونَ على شُروطِهِم
“Kaum muslim wajib berpegang pada syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3594 dan Ibnu Hibban no. 5091)
Keempat: Islam membangun akad berdasarkan maksud dan niat
Dalam menerapkan hukum-hukum akad, Islam membangunnya berdasarkan maksud kedua belah pihak dan niat mereka, bukan berdasarkan apa yang nampak dari ucapan mereka saat akad berlangsung. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Di antara kaidah syariat yang tidak boleh dihilangkan dan dihancurkan, bahwa maksud dan niat yang ada di hati merupakan hal yang dipertimbangkan dalam tindakan (transaksi) dan kebiasaan, sebagaimana hal tersebut juga dipertimbangkan dalam ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala.” (I’lam Muwaqqi’in, 3: 95-96)
Hanya saja, kita tidak boleh mengabaikan secara keseluruhan apa yang nampak dari ucapan ketika bermuamalah, karena lafaz (kata-kata dan ucapan) sejatinya mencerminkan apa yang ada di hati.
Oleh karenanya, lafaz harus terlebih dahulu diperhatikan saat bermuamalah, karena ia menunjukkan keinginan hati. Hanya saja, ketika didapati bahwa apa yang ada di hati berbeda dengan apa yang dilafazkan dan diucapkan oleh lisan serta tidak mungkin menggabungkan antara keduanya, maka maksud dan niat hati lebih didahulukan daripada ucapan lisan.
Kelima: Islam mengajak kita untuk menghargai akad dan menepatinya
Karena menepati akad (janji/ikatan) termasuk salah satu prinsip dasar dalam transaksi-transaksi keuangan (harta), baik itu jual beli, sewa menyewa, mitra usaha, akad wakaf, dan yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Ma’idah: 1)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan menjadikan setiap transaksi yang kita lakukan selalu dalam koridor syariat. Pada pembahasan selanjutnya, insyaAllah akan kita bahas perihal macam-macam akad dan bagaimana akad tersebut terbentuk.
Wallahu A’lam Bisshowaab.
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79706-serial-fikih-muamalah-bag-9-mengenal-istilah-akad-dan-perspektif-islam-terhadapnya.html