Menjadi perbincangan hangat di antara para ilmuan dan filsuf tentang korelasi sains dan Alquran. Banyak yang beranggapan bahwa agama yang disimbolkan dengan Alquran dan sains merupakan dua kajian yang bertolak belakang. Alquran sifatnya tertutup, terbukti kebenaranya tanpa melalui pengujian, sedangkan sains bersifat objektif, terbuka, teruji dan terbukti.
Meski sudah banyak ilmuan dan peneliti yang tidak mempermasalahkan adanya integrasi sains dan Alquran, namun tidak menutup fakta masih ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan integrasi sains dengan Alquran dalam berbagai bentuknya.
Di tulisan ini dibahas tentang cara mencari titik temu antara sains dan Alquran, khususnya untuk merespon pandangan ilmuan yang masih mendikotomi dua kajian tersebut.
Terdapat empat tipologi yang dikemukakan oleh Ian G.Barbour dalam bukunya, When Science Meets Religion tentang teori hubungan sains dan kitab suci (Alquran). Keempat tipologi tersebut hemat kata dapat ditarik kepada hubungan sains dengan teks Alquran.
Pertama Ian G.Barbour menamakan tipologi konflik. Tipe ini beranggapan bahwa ada kotradiksi antara sains dengan agama. Tipologi ini dipegang oleh kelompok materialis ilmiah dan kelompok literasi kitab suci.
Menurut materialis ilmiah bahwa sains bersifat objektif, terbuka, umum, kumulasi dan progres. Sedangkan agama bersifat subyektif, tertutup, tidak kritis dan sangat sulit berubah.
Menurut literalisme kitab suci, penafsiran harfiah kitab suci mengatakan bahwa teori ilmiah seperti teori evolusi yang melambungkan filsafat materialis dan merendahkan perintah moral Tuhan. Argumentasi kelompok ini mempertentangkan antara sains dan agama.
Kedua tipologi Independensi. Tipologi ini mengatakan bahwa seharusnya antara sains dan agama tidak perlu ada konflik, sebab secara domain berbeda. Artinya memang tidak ada keterkaitan antara sains dengan agama sebab sains kajianya melingkupi alam semesta sedangkan agama dimensinya ketuhanan yang memperdalam keruhanian.
Argumentasinya adalah sains mengajukan pertanyaan “bagaimana” yang objektif, sedangkan agama mengajukan pertanyaan “mengapa” untuk mengetahui tujuan hidup. Sains diuji secara eksperimental dan melakukan prediksi kuantitatif, sedangkan agama menggunakan bahasa simbolis dan analogis karena tuhan bersifat transenden. Tipologi ini seakan-akan menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara sains dengan agama sehingga bagaimanapun juga tidak akan bisa disamakan dan dikaitkan.
Ketiga tipologi dialog yaitu membandingkan kedua dimensi sains dengan agama. Tipologi ini dapat menunjukkan adanya hubungan antara teologis dan pencarian ilmiah, kemiripan, dan perbedaanya.
Misalnya terdapat pertanyaan “mengapa alam semesta serba teratur dan dapat dipahami?” Pertanyaan tersebut melewati batas kajian sains dan mulai merambah pada teologi. Juga dialog dapat terjadi ketika konsep sains digunakan sebagai analogi untuk membahas hubungan Tuhan dengan dunia. Yakni adanya kesejajaran konseptual antara teori ilmiah dan keyakinan teologi.
Titik Temu Antara Sains dengan Alquran
Titik temu antara sains dengan Alquran dapat ditemukan di tipologi yang keempat, yaitu tipologi integritas. Pendekatan tersebut dapat terjadi pada kalangan yang mencari titik temu di antara keduanya. Tipologi ini didukung oleh tipologi sebelumnya yaitu dialog yang berusaha mengintegrasikan sanis dengan agama.
Untuk mengetaui hubungan antara sains dengan agama, dalam tipologi ini memiliki tiga versi. Pertama Natural Theology, yaitu klaim bahwa eksistensi Tuhan dapat didukung dan dibuktikan tentang desain alam yang dari alam tersebut dapat disadari tentang adanya Tuhan. Thomas Aquinas mengatakan bahwa beberapa sifat Tuhan dapat diketahui dari kitab suci, akan tetapi eksistensi Tuhan dapat diketahui hanya dari nalar sehingga perlu adanya sains untuk memperkaya naluri agar bisa merasakan eksistensi Tuhan secara mendalam.
Kedua Theology Of Nature, yakni pengalaman keagamaan wahyu historis dan doktrin tradisional dirumuskan ulang dalam sains terkini. Versi ini melakukan pengujian teologi keagamaan dengan sains sehinga dapat memunculkan adanya bukti teks-teks kitab suci dengan sinaran sains. Hal tersebut dapat terkait dan diidentikkan dengan fungsi i’jaz al-ilmi atas tafsir Alquran.
Ketiga Sintesis Sistematis, yaitu merupakan sintesa integritas yang lebih sistematis antara sains dan agama yang memberikan kontribusi ke arah pandangan dunia yang lebih koheren dengan mengelaborasianya dalam rangka metafisika yang komprehensif. Versi ini berpijak pada filsuf proses yaitu setiap peristiwa atau teori baru merupakan produk masa lalu dari tindakan dan aksi Tuhan. (Andi Rosadisastra, Metode Ayat-Ayat Sains & Sosial, hal. 15-23).
Fungsi Tafsir Alquran Terhadap Sains
Selain memberi pedoman dan petunjuk hidup beserta hukum-hukum untuk keberlangsungan kehidupan manusia, Alquran juga memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu.
Para ulama mengistilahkan ayat-ayat sains dan sosial dengan istilah At-Tafsir Al-ilmi yang berusaha mengungkap kandungan sains dalam Alquran tentu dengan menggunakan kacamata sains.
Misalnya peristiwa Big Bang yang dikemukakan oleh Hubble tahun 1927. Sebuah teori yang menjelaskan dahulu jagad raya adalah satu yang kemudian meledak menjadi terpisah-pisah dan banyak. Salah satu pecahannya adalah bumi. Teori tersebut dikatakan oleh para ilmuan identic dengan surah Al-Anbiya ayat 30 yang memaparkan bahwa langit dan bumi adalah suatu yang padu setelah itu dengan izin Allah terpisah.
Menurut para mufasir, At-Tafsir Al-ilmi ada yang berfungsi sebagai tabyin, yaitu menjelaskan teks Alquran dengan latar belakang penguasaan sains yang dimiliki oleh mufasirnya. Selain itu juga berfungsi sebagai i’jaz al-ilmi yang dimiliki oleh Alquran. Adz-dzahabi menetapkan fungsi tabyin sebagai istikhraj al-ilm dari tafsir ayat sains dan Al-i’jaz merupakan proses antara tabyin menuju istikhraj al-ilm. (Ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 474).
Walllahu a’lam