Silaturrahim memiliki tujuan mulia, tidak perlu menunggu hari raya, bahkan penting mengishlahkan kembali hubungan antar sesama, khususnya di tahun politik
RASULULLAH menyebutkan amalan silaturrahim adalah amalan yang sangat dicintai Allah. Walau terdengar ringan, silaturrahim memiliki manfaat besar bagi yang merajutnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Membuka pintu rezeki yang luas, menyehatkan dan memanjangkan umur. Silaturrahim adalah ibadah muamallah demi sesama, tanpa sekat agama dan status sosial.
Istilah silaturrahim santer disebut ketika umat Islam selesai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, yaitu ketika Idul Fitri hadir sebagai kemenangan atas umat Islam yang menjalankan ibadah puasa selama Ramadhan. Kegiatan silaturrahim dan saling memaafkan telah menjadi tradisi bangsa Indonesia saat lebaran. Ketika itulah saling bermaafan dan kegiatan halal bi halal banyak ditemukan di sekeliling kita.
Kegiatan silaturrahim memiliki tujuan mulia, yaitu untuk mengishlahkan kembali hubungan antara sesama yang mungkin renggang sebelumnya, karena berbagai persoalan yang terjadi. Diharapkan hubungan kemanusiaan (hablum-minannas) akan menguat kembali, setelah hubungan dengan Allah SWT (hablum-minallah).
Silaturrahim berarti menghubungkan kekerabatan dan persaudaraan atas dasar cinta dan kasih sayang, sekaligus menghilangkan segala kedengkian, kebencian, dan permusuhan di antara sesama. Karena itu, esensi silaturrahim, di samping bertemu secara fisik sambil bersalam-salaman, juga berusaha menebarkan kedamaian, ketenangan dan keselamatan pada sesama, atas dasar keikhlasan.
Silaturrahim tidak akan mempunyai makna apapun kalau hanya ditekankan pada aspek lahiriah saja, tidak disertai dengan kejernihan hati dan pikiran. Dalam al-Qur’an, silaturrahim yang mempertautkan hati inilah yang disandingkan dengan takwa kepada Allah SWT (QS An-Nisa’ [4]:1).
Salah satu indikator utamanya adalah kesediaan bersilaturrahim menebarkan kasih sayang, menghilangkan kedengkian dan permusuhan serta membangun rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang abadi.
Silaturrahim, tidak saja dilakukan dengan orang yang memiliki hubungan baik dengan kita. Tapi juga dianjurkan untuk dijalin dengan orang yang mempunyai masalah atau kurang baik dengan kita.
Siapa yang mendahului melakukannya, itulah orang yang mulia di sisi Allah SWT. Rasulullah ﷺ menyebut perbuatan ini dengan afdhalul-fadha’il (perbuatan yang paling utama di antara yang utama) sebagaimana dikemukakan dalam sabdanya;
“Yang paling utama di antara perbuatan yang utama adalah engkau melakukan silaturrahim dengan orang yang memutuskannya, engkau memberi kepada orang yang tidak pernah memberi (kikir), dan engkau memaafkan orang yang berlaku zalim kepadamu.“ (HR: Thabrani dari Muaz bin Jabal).
Di tengah-tengah berbagai persoalan yang sering menimbulkan konflik, saling mencurigai, saling menuduh dan saling memfitnah seperti yang banyak terjadi sekarang ini, maka silaturrahim yang berkualitas dan fungsional, dengan langkah-langkah yang konkret, merupakan keniscayaan yang harus kita lakukan. Tidak terbatas hanya pada saat berhalal bi halal dalam suasana Idul Fitri, akan tetapi sepanjang hayat dan sepanjang masa.
Syeikh Yusuf al-Qaradhawi saat datang ke Indonesia pernah mengatakan perbedaan kelompok, partai, orgAniesasi, tidaklah masalah. Yang penting semua harus menyadari bahwa sesama Muslim adalah bersaudara, karena Muslim itu satu.
Karena itulah ia meminta umat Islam untuk berpegang teguh pada kesatuan Islam yang telah mengikatnya. Ia mengatakan, umat Islam pernah mengalami fase penjajahan ratusan tahun oleh berbagai kekuatan di dunia.
Jutaan umat Islam di seluruh dunia menjadi korban. Termasuk sembilan kali Perang Salib yang kemudian dimenangkan oleh Imaduddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi, yang kemudian memaafkan kesalahan-kesalahan musuh dengan tetap membiarkan mereka hidup.
Syeikh Qaradhawi menandaskan pentingnya Muslim di Indonesia untuk bersatu dan saling membahu untuk mengangkat harkat dan martabat kaum Muslimin. “Bersatulah wahai Muslimin di Indonesia, karena hanya Islamlah yang bisa menyatukan kita. Hanya Islam saja yang memiliki garis persatuan yang bisa mengikat kita. Hanya Islam yang membimbing kita pada shiratal mustaqim, jalan yang lurus, yang menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan.”
Dalam sejarah Islam banyak disebut tentang keteladanan Rasulullah ﷺ dalam menyikapi musuh. Dengan penuh arif dan bijaksana beliau memperlakukan musuh-musuhnya dengan manusiawi.
Misalnya saja ketika pembukaan Kota Makkah, Nabi Muhammad memberikan pengampunan kepada seluruh musuhnya tanpa pandang bulu dengan budi yang luhur. Beliau telah membuang ingatan-ingatan tentang masa lampau yang penuh dengan ejekan, penganiayaan, bahkan beliau memperlakukan lawan-lawan yang paling terkemuka dengan pertimbangan yang luhur, sangat adil dan penuh rasa persahabatan.
Begitu juga sikap Rasulullah ﷺ kepada wanita Yahudi yang berusaha meracuni Nabi Muhammad. Wanita itu berusaha meracuni Nabi karena dendam sebab keluarganya ada yang meninggal dunia dalam pertempuran melawan pasukan Islam.
Mendengar kejujuran wanita itu, Rasulullah kemudian memaafkan wanita itu. Sejarah mencatat, wanita Yahudi itu kemudian masuk Islam. Dan masih banyak lagi teladan dari Rasulullah dalam menyikapi lawan-lawannya.
Teladan Hamka
Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat sosok perjalanan politik Prof KH Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) yang dikisahkan oleh putra kelima Hamka, yakni KH Irfan Hamka dalam sebuah bukunya berjudul Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka. Dalam buku itu dikisahkan, Buya Hamka memiliki jiwa besar dan sifat pemaaf kepada lawan-lawan politiknya secara ideologis: antara Islam, nasionalis dan komunis yang diwakili para tokoh seperti pencetus, penggali, Pancasila Mr Mohammad Yamin dan Soekarno.
Buya Hamka tak jarang mendapatkan fitnah dari lawan-lawan politiknya karena ia mempertahankan keyakinan ideologi dalam berpolitik. Bahkan ia juga pernah masuk penjara, disingkirkan, dan dimiskinkan. Namun Hamka tetap bersabar. Dan kesabarannya dalam menghadapi ujian itu berbuah mAnies.
Misalnya pengalaman dengan Mohammad Yamin. Tahun 1955 sampai 1957, sebagai anggota Konstituante dari Fraksi Partai Masyumi, Hamka cukup aktif dalam sidang merumuskan Dasar Negara Rl. Saat itu ada dua pilihan: pertama, UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. Kedua, UUD 1945 dengan dasar negara Pancasila.
Untuk kedua pilihan dasar negara itu, terbuka dua kubu yang sama kuat. Kubu pertama tentu saja kelompok Islam. Masyumi sebagai pimpinannya, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam.
Kubu kedua, dipimpin Partai Nasional Indonesia (PNI), ingin negara berdasarkan Pancasila.Dalam suatu persidangan Hamka menyampaikan pidato politik yang cukup berani: “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka …”
Moh. Yamin sebagai anggota Konstituante dari Fraksi PNI terkejut atas pernyataan Hamka itu. Tokoh PNI itu marah dan benci kepada Hamka meskipun keduanya sama-sama dari Sumatera Barat.
Bertahun-tahun setelah Dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan Konstituante, parlemen, dan menetapkan UUD ’45 dan Pancasila sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang luar biasa. Tahun 1962, Moh. Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Hamka menerima telepon dari Chairul Saleh, salah seorang menteri pada waktu itu, menyampaikan perihal sakit Moh. Yamin.
Chairul Saleh menyampaikan pesan Moh. Yamin untuk menjemput Hamka ke rumah sakit. “Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya,” kisah Chairul. Apa jawab Hamka? “Kalau begitu mari bawa saya ke RSPAD menemui beliau,” tutur Hamka.
Sore itu juga Hamka dan Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Melihat kedatangan Hamka, Moh. Yamin menggapai Hamka untuk mendekat. Hamka menjabat tangan Moh. Yamin dan mencium kening tokoh yang bertahun-tahun membencinya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar dia berkata, “Terima kasih Buya sudi datang.” Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.
Hamka pun mendampingi Moh. Yamin hingga ajal datang menjemputnya. Hamka menuntun lawan politiknya itu dengan kalimat La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah. Dengan lemah Moh. Yamin mengikuti bacaan Hamka. Setelah tak ada respon dan merasakan genggaman Moh. Yamin mengendur, dingin dan terlepas dari genggaman Hamka. Moh. Yamin pun meninggal dunia dalam genggaman tangan Hamka.
Pengalaman dengan Soekarno juga memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia atas sikap legowo Hamka terhadap lawan politiknya. Tahun 1964-1966 Hamka pernah dipenjara atas perintah Presiden Soekarno dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.
Ketika dipenjara, buku-buku karangan Hamka dilarang beredar. Hamka juga tidak bisa memenuhi undangan untuk berdakwah. Hamka baru bebas setelah rezim Soekarno tumbang, digantikan oleh Soeharto.
Hamka kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Soekarno.
Tanggal 16 Juni 1970, Hamka dihubungi oleh Sekjen Departemen Agama Kafrawi Ridwan. Kafrawi membawa pesan dari keluarga mantan Presiden Soekarno untuk Hamka. Pesan itu pesan terakhir dari Soekarno, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Bahkan ada satu versi lagi menyatakan bahwa dalam keadaan sekarat, mantan Presiden RI pertama ini menyampaikan pesannya kepada keluarganya, bahwa bila datang ajalnya, ia ingin yang menjadi imam shalat jenazahnya adalah Hamka.
Pesan itu disampaikan oleh keluarganya kepada Presiden Soeharto yang telah menggantikannya sebagai Presiden RI ke-2. Hamka pun menjadi imam shalat jenazah Soekarno.
Irfan Hamka dalam tulisannya menjelaskan, walaupun dua orang ini berbeda paham politik yang tajam, namun mereka tetap menjaga tali silaturrahim. “Soekarno tidak membenci ayah. Begitu pula ayah pun tidak dendam kepada Soekarno,” tulisnya.
Akibat Hamka mengimami jenazah Soekarno, teman-teman Hamka banyak yang menyesalkan tindakan Hamka itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Soekarno itu munafik. Ada pula yang bertanya: “Apa Buya tidak dendam kepada orang yang telah membenamkan Buya dalam penjara?” kisahnya.
Namun Hamka menjawab semua kritik itu. “Hanva Allah yang lebih tahu orang-orang yang munafik dan saya harus berterima kasih, karena dalam penjara saya dapat kesempatan menulis tafsir al-Qur’an 30 juz. Satu hal lagi jangan dilupakan bahwa almarhum memprakarsai pembangunan dua buah masjid yang monumental, satu Masjid Baiturrahim di Istana Merdeka. Satu lagi masjid terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal. Semoga ini menjadi amal yang tak terhingga untuk Soekarno.”
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS: al-Fath: 29). */Fathurroji, Muhammad Khaerul Muttaqien, Majalah Gontor