Suatu ketika, sufi Abu Yazid al- Busthami (804-874 M) berkata, dirinya telah bermujahadah selama 30 tahun, tetapi tidak pernah merasakan perjuangan yang lebih berat dari mencari ilmu dan mencegah bahaya yang mengikutinya.
Sufi tersebut berpesan, jangan sampai teperdaya oleh setan yang berkata, Jika sudah jelas akan ada bahaya besar dalam menuntut ilmu maka meninggalkan hal itu adalah lebih baik. Al-Busthami berpesan, sebagaimana tertulis dalam Minhaajul `Aabidiin Imam al-Ghazali, Jangan sekali- kali engkau membenarkan bisikan setan tadi.
Ada beberapa hal mendasar dalam ungkapan tersebut. Pertama adalah mujahadah. Ini ada lah upaya tiada henti mengekang hawa nafsu, mencegah diri dari perbuatan yang memuaskan nafsu. Kemudian menggantinya dengan perbuatan baik yang menjadi jalan mendekati Allah. Ini dilakukan dengan sembunyi, tanpa disertai sombong dan bangga diri di hadapan orang lain.
Hal yang memuaskan nafsu terdiri atas hal yang boleh dilaksanakan, tapi bisa jadi membuat diri menjadi hina. Misalkan makan, itu ada lah hal yang mubah. Namun, ketika dilakukan berlebihan maka akan menyebabkan kehinaan. Harta boleh untuk dimiliki, tapi ketika berlebihan, apalagi disertai syahwat bermewah-mewahan dan mengabaikan orang susah, maka ini menjadi kehinaan.
Hal yang termasuk pemuas nafsu adalah dosa, apa pun bentuknya. Dorongan dalam diri untuk berbuat dosa pasti ada. Melihat orang lain memiliki barang mahal, nafsu kemudian men dorong diri ini untuk mencuri barang tersebut. Sekali dikerjakan, akan merasakan kepuasan, tapi ingat, juga akan disertai kehancuran.
Mujahadah adalah upaya yang berkesinambungan mengekang nafsu, membatasi diri dari hal-hal tadi. Caranya dengan mengingat Allah sehingga menumbuhkan motivasi mengamalkan kebajikan, kemudian mewujudkan hal itu dalam keseharian.
Kedua adalah mencari ilmu. Kata yang sederhana, tapi pengerjaannya berproses panjang. Sering kita menyaksikan pencari ilmu, seperti siswa sekolah di banyak tempat. Juga santri pesantren yang terlihat semangat menghafalkan pelajaran. Mereka terlihat sudah sung guh-sungguh mencari cahaya Allah. Tapi, apakah hanya itu? Masih banyak yang harus mereka kerjakan.
Semakin banyak ilmu dimiliki, semakin besar dorongan diri untuk bersombong. Merasa di ri yang paling berilmu, sedangkan lainnya tidak. Itu adalah sifat yang berbahaya. Untuk mencegah bahaya satu itu, pencari ilmu harus menggiatkan ibadah, memperbanyak ingat kepada Allah, duduk dalam kerendahan sambil mengagungkan asma Allah. Ilmu dibarengi dengan ibadah, akan menjadi energi yang menghasilkan kemuliaan diri. Orang berilmu yang disertai dengan ibadah yang tinggi akan menjadikan derajatnya agung dan mulia di sisi Allah.
Hal lain yang harus diingat dalam menuntut ilmu adalah masa yang panjang. Tak cukup dan terlalu dini jika belajar hanya dilakukan puluhan hari. Belajar harus dilakukan dengan sungguh-sungguh selama bertahun-tahun. Target mencari ilmu bukan sekadar mendapatkan pengetahuan, tapi juga memperbaiki diri, menghormati dan mencintai guru (shuhbatul ustadz), dan menginspirasi orang sekitar. Ini adalah proses berjenjang dan memakan waktu, bahkan hingga sepanjang hayat. Karena itu, Abu Yazid al-Busthami mengatakan, mencari ilmu adalah amaliyah yang tidak mudah.
Karena tidak mudah, setan pun berbisik, khususnya kepada pencari cahaya Allah, untuk mengerjakan hal yang sederhana dan mudah.Khususnya yang menyenangkan diri dan penuh keasyikan. Daripada mencari ilmu, sesuatu yang berat dan sudah pasti mengandung risiko.
Ketika suara semacam itu terdengar, kita harus mengingat pesan al-Busthami, untuk tidak tergoda, apalagi sampai membenarkan bisikan setan seperti itu. Bisikan yang bisa jadi berbentuk sekadar suara dalam hati sendiri atau omongan orang.Â