Tentu kita bahagia bila mempunyai anak yang berakidah kuat, apalagi bila akidah yang kuat tersebut terpancar dalam empat sikap dan perbuatan
MENURUT para ulama, secara umum Surat Luqman termasuk kelompok Surat Makiyah, setidaknya informasi itu terdapat dalam Fath al-Qadir karya Syeikh As-Syaukani. Disebut surat “Luqman” karena pada ayat keduabelas Allah menyebut nama “Luqman”, sebagai tokoh sentral.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS: Luqman [31]: 13)
Dikatakan, Allah memberikan nikmat dan ilmu pengetahuan kepadanya. Sebagai bukti syukur kepada-Nya, maka Luqman mentransformasikan ilmu-pengetahuan tersebut kepada anak-anaknya. Terutama yang berkaitan dengan akidah, muamalah, dan akhlak.
Menurut Musthafa al-Maraghi, Luqman termasuk orang yang sangat mencintai dan mengasihi anaknya. Memperkuat akidah, hanya menyembah Allah, dan tidak melakukan perbuatan syirik adalah fondasi utama dan pertama bagi Luqman dalam mendidik anaknya.
Bagi Luqman, perbuatan syirik adalah suatu kezaliman yang besar. Dikatakan zalim karena menempatkan sesuatu secara keliru, dan disebut dosa besar karena perbuatan tersebut menyandingkan makhluk dan Khalik secara sejajar.
Selain itu, prinsip memegang teguh akidah dan hanya mempertuhankan Allah akan berdampak pada ketenangan dan keamanan, lahir dan batin. Konsistensi ini (memegang teguh akidah) berkonsekuensi pula pada munculnya sikap teguh hati, kuat prinsip, penuh-selidik dan penuh-sangka baik.
Allah mengatakan;
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS: al-An’am [6]: 82).
Imam Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih, meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari Anas ra. Ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Akan dikeluarkan dari neraka, orang yang menyebut Laa ilaaha Illallaah, apabila di dalam hatinya terdapat kebaikan (iman) seberat sya’irah (sejenis gandum). Akan dikeluarkan dari neraka orang yang menyebut Laa ilaaha Illallaah, apabila di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat burrah (gandum). Dan akan dikeluarkan dari neraka orang yang menyebut Laa ilaaha Illallaah, apabila di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat zarrah (biji sawi atau debu)”.
Kedua nash di atas menjelaskan betapa pentingnya menanamkan prinsip akidah yang benar sejak masa dini. Karena akidah yang kuat akan menjadi tameng hebat manakala sang anak bersentuhan dengan paham yang batil (mengandung keburukan dalam prinsip) dan fasik (mengandung kekeliruan dalam pelaksanaan).
Nabi ﷺ bersabda yang artinya, “Ajarkan kepada anak-anak kalian kalimat Laa ilaaha Illallaah sebagai kalimat pertama.” (HR: al-Hakim bersumber dari Ibn Abbas).
Tentang kasih sayang Luqman kepada anaknya, terdapat formula menarik bagi para orangtua. Luqman memanggil anak-anaknya dengan panggilan cinta dan “nama kecil” (tashgir) yang menggugah hati sang anak.
Persepsi seperti ini dijelaskan oleh al-Lusi dalam Ruh al-Ma’ani, tepatnya tatkala Luqman memanggil anaknya dengan kata-kata: ya bunayya (wahai anak-anak kecilku: maksudnya yang aku sayangi dan cintai). Dalam tradisi di Tanah Air mungkin sama seperti Ujang di Sunda, Nduk di Jawa, atau Entong di Jakarta. Atau secara umum adalah “nama kecil ata nama kesayangan”.
Pertama, anak dengan sepenuh hati berbakti kepada kedua orangtua, termasuk memenuhi hak-hak orangtua. Ia memahami bahwa ibunya mengandung dalam keadaan lemah yang kian bertambah, lalu mengasuhnya mulai dari masa menyusui, menyapih hingga mampu berusaha sendiri.
Anak seperti ini memahami benar inti pesan al-Qur’an;
۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”(QS: al-Isra’ [17]: 23).
Ciri lainnya, apabila orangtua memaksanya serta menekannya untuk menyekutukan Allah dengan yang lain dalam hal ibadah, yakni dengan hal-hal yang dia tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, maka secara sopan santun ia tidak mengikuti kehendak kedua orangtuanya itu.
Al-Qur’an menjelaskan,
وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik…” (QS: Luqman [31]: 15).
Kedua, anak yang memiliki akidah yang kuat yakin benar bahwa dunia bukan segala-galanya, tapi segala hal bisa dilakukan di dunia untuk bekal di akhirat. Ia meyakini bahwa manusia akan dikembalikan kepada Allah dan harus mempertanggung jawabkan semua amalnya.
Semua perbuatan, baik atau buruk, kendati sebesar biji sawi sekalipun, tersembunyi atau kelihatan, atau berada di mana saja pasti Allah mengetahuinya secara rinci dan akan dibalas sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya. (QS Luqman [31]: 16).
Ketiga, sang anak sangat rajin dalam menunaikan shalat (QS: Luqman [31]: 17). Ia meyakini bahwa Allah sejatinya ada, kendati tidak tampak oleh indera. Sebab sejatinya yang ada itu tidak harus tampak oleh mata, karena yang tampak oleh mata itu hakikatnya justru tidak ada.
Sementara Allah adalah Yang Maha Ada. Keber-ada-an Allah tidak tergantung oleh ada atau tidaknya yang lain. Ada atau tidak sesuatu yang lain, Allah tetap Ada. Inilah prinsip ihsan, “sembahlahlah Allah, seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu”.
Keempat, sang anak gemar berbuat baik, senantiasa bersabar, dan tidak berjalan di muka bumi dalam keadaan sombong, dan pandai menjaga lisan ketika berkata-kata (QS Luqman [31]: 18-19).
Tentu kita bahagia bila mempunyai anak yang berakidah kuat, apalagi bila akidah yang kuat tersebut terpancar dalam empat sikap dan perbuatan yang disebutkan di atas. Untuk meraihnya, tak bisa ditawar kita harus memberi pelajaran akidah kepada anak kita. Kini mari jawab, sudahkah anak Anda diberi pelajaran akidah?*/M. Syamsul Yakin