Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh dua orang siswa sekolah menengah atas terhadap seorang bocah berumur sebelas tahun, menjadi indikasi hilangnya kesalehan bermedia sosial kelompok anak-anak dan kalangan remaja. Dia siswa pembunuh melakukan tindakan keji tersebut akibat termakan informasi di media sosial tentang jual beli ginjal yang harganya mencapai satu miliar lebih.
Setelah melakukan kejahatan pembunuhan tersebut, mereka berdua kebingungan hendak dijual kemana organ tubuh korban. Pelaku menjadi korban informasi sekaligus menimbulkan korban nyawa. Nalar dan cara berfikir mereka berdua sedang dipermainkan oleh narasi dalam informasi di media sosial yang menyesatkan.
Pada kondisi seperti itu, tak ada benteng pertahanan yang efektif selain kontrol dari orang tua supaya anak-anaknya memiliki kesalehan dalam bermedia sosial. Karakter kesalehan dalam bermedia sosial hanya akan terbentuk pada diri anak manakala kepada mereka diajarkan aturan Islam (fikih), bagaiman bermedia sosial yang baik.
“Semakin luas rezeki yang diberikan Allah, semakin besar peluang seseorang untuk melakukan penyimpangan”. (QS. al Syura [42]: 27)
Media sosial adalah salah satu rezeki Tuhan yang teramat besar diberikan kepada manusia zaman mutakhir. Namun seperti disinggung oleh ayat di atas media sosial membuka peluang besar seseorang untuk melakukan penyimpangan. Khususnya anak-anak dan kalangan remaja, mereka sangat rentan terpengaruh oleh konten-konten negatif di media sosial.
Sebagai muslim, alternatif pencegahan timbulnya perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anak-anak dan kelompok remaja adalah memberikan pendidikan hukum Islam (fikih) tentang aturan main bermedia sosial. Karena basis pemahaman keagamaan yang kuat dan benar serta tahu terhadap sanksi melanggar hukum Islam menjadi daya kontrol efektif dalam membentuk karakter anak. Sehingga dalam bermedia sosial tetap mengedepankan akhlak, etika dan tidak melanggar norma-norma agama. Berikut ini aturan fikih dalam bermedia sosial.
Pertama, menjaga perkataan maupun tulisan. Abu Musa al Asy’ari pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, siapakah muslim terbaik?”. Beliau menjawab: “Muslim yang mampu menjaga orang lain dari ucapan dan perbuatannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaidah fikih mengatakan: “Tulisan sama dengan perkataan”. Artinya, apa yang dilarang untuk diucapkan, dilarang juga diuraikan dalam bentuk tulisan. Sanksi (dosa) keduanya sama.
Imam Nawawi dalam kitabnya al Adzkar mengutip pendapat Imam Syafi’i, “Manakala seseorang hendak berbicara, pikirkanlah lebih dulu. Apabila ada kemaslahatan dalam perkataan perkataan tersebut, maka bicaralah. Jika ragu, lebih baik diam sampai ditemukan kemaslahatannya”.
Kedua, muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah). Disaat mencari informasi maupun ketika akan menyebarkan informasi, seperti menulis status dan konten, harus merasa diawasi oleh Allah. Dengan demikian, seseorang akan hati-hati ketika berselancar di internet maupun di media sosial.
Dalam al Qur’an dikatakan: “Jika kamu menampakkan sesuatu atau menyembunyikannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. al Ahzab: 54)
Tidak ada yang bisa lepas dari pengawasan Allah. Sekecil apapun perbuatan baik ada balasan berupa pahala, dan sekecil apapun pelaku penyimpangan pasti akan dibalas dengan siksa. Kalau hal ini ditanamkan sejak dini terhadap anak, dalam bermedia sosial akan terarah sesuai dengan dengan tuntutan hukum Islam. Dan, media sosial tidak akan membawa sial.
Ketiga, mentradisikan tabayyun (klarifikasi). Memberikan pemahaman kepada anak pentingnya tabayyun atau klarifikasi tentang informasi yang diperoleh dari media sosial. Klarifikasi kebenaran informasi tersebut. Kalau tidak mungkin untuk tabayyun kepada sumber berita, anak harus dibiasakan mengkonsultasikan kepada orang tua.
Tentang pentingnya tabayyun, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. al Hujurat: 6).
Keempat, tidak berkata dusta (qaul al Zur). Kedustaan atau kebohongan merupakan sifat yang sangat dibenci dan konsekuensinya sangatlah berat. Dalam media sosial, kedustaan bisa mengambil dua bentuk; membuat informasi yang tidak shahih atau meneruskan berita dari orang lain yang belum jelas shahih atau tidak.
Empat hal ini, menunjang kualitas kebaikan atau kesalehan anak dalam bermedia sosial. Anak akan lebih hati-hati sehingga mampu bersikap kritis, menyaring, menilai dan memutuskan apakah informasi yang ia dapat itu shahih atau tidak. Demikian pula, akan mampu menahan diri untuk tidak sembarang membagikan informasi.