Apa hukum membaca kitab suci selain Al-Qur’an? Kitab suci yang diturunkan Allah ada 4, Yaitu Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As, Kitab Zabur kepada Nabi Daud As, Injil kepada Nabi Isa As, dan Al-Qur’an Al-Karim kepada Baginda Rasulullah saw.
Di samping itu, Allah juga menurunkan kitab suci, namun versi lembaran. Model ini sering disebut dengan nomenklatur Suhuf, sebagaimana yang terdokumentasi dalam Firman-Nya pada surat Al-A’la akhir ayat, yaitu Suhuf untuk Nabi Ibrahim As dan Nabi Musa As.
Lalu berpahalakah ketika kita membaca kitab suci lain? Atau apa hukum membaca kitab suci selain Al-Qur’an?
Hukum Membaca Kitab Suci Selain Al-Qur’an
Dalam persoalan ini, ulama terbagi dalam dua pendapat. Pertama, ulama mengatakan bahwa membaca kitab suci agama lain tidak berpahala, karena kitab suci lain sudah banyak perubahan yang justru berlawanan dengan nilai asalnya. Bahkan beberapa Ulama tidak suka jika ada orang yang membacanya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah;
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ النَّظَرُ فِي كُتُبِ أَهْل الْكِتَابِ، نَقَل ابْنُ عَابِدِينَ قَوْل عَبْدِ الْغَنِيِّ النَّابُلْسِيِّ: نُهِينَا عَنِ النَّظَرِ فِي شَيْءٍ مِنَ التَّوْرَاةِ وَالإِْنْجِيل، سَوَاءٌ نَقَلَهَا إِلَيْنَا الْكُفَّارُ أَوْ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ. وَسُئِل أَحْمَدُ عَنْ قِرَاءَةِ التَّوْرَاةِ وَالإِْنْجِيل وَالزَّبُورِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَغَضِبَ، وَظَاهِرُهُ الإِْنْكَارُ وَذَكَرَهُ الْقَاضِي ، وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى فِي يَدِ عُمَرَ قِطْعَةً مِنَ التَّوْرَاةِ غَضِبَ وَقَال: أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً.
“Menurut Madzhab Hanafi dan Syafi’i, mengkaji kitab suci selain Alquran itu tidak diperbolehkan. Ibnu Abidin menukil pernyataannya Abdul ghoni al-nabulisi yang mana belum menyatakan bahwa kita ini dilarang untuk mengkaji kitab Taurat dan Injil, baik kitab tersebut itu dibawakan oleh orang kafir ataupun orang mereka yang telah mualaf.
Imam Ahmad ditanya mengenai hukum membaca Taurat Injil dan Zabur dan kitab suci yang lainnya maka beliau itu marah dan ini jelas bahwa beliau mengingkari untuk melakukan hal demikian.
Yang demikian dituturkan oleh Al qodi, dan beliau ini bertendensi pada hadis yang menyatakan bahwasanya ketika Rasulullah SAW itu melihat selembaran Kitab Taurat di tangannya Sayyidina Umar beliau itu tidak suka seraya berkata “Bukankah aku telah membawa kitab suci yang lebih dari itu?”. (Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 34 halaman 184)
Pendapat serupa [tidak berpahala] juga dikatakan oleh Madzhab Syafi’i. Simak penjelasan lanjutan tersebut;
قِرَاءَةُ الْكُتُبِ السَّمَاوِيَّةِ: نَصَّ الْحَنَابِلَةُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ النَّظَرُ فِي كُتُبِ أَهْل الْكِتَابِ؛ لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضِبَ حِينَ رَأَى مَعَ عُمَرَ صَحِيفَةً مِنَ التَّوْرَاةِ. وَمِثْل الْحَنَابِلَةِ الشَّافِعِيَّةُ حَيْثُ نَصُّوا عَلَى عَدَمِ جَوَازِ الاِسْتِئْجَارِ لِتَعْلِيمِ التَّوْرَاةِ وَالإِْنْجِيل وَعَدُّوهُ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ.
Menurut mazhab Hambali membaca kitab suci selain Alquran itu tidak boleh, karena Rasulullah SAW itu marah ketika Sayyidina Umar itu memegang selembaran dari kitab Taurat.
Mazhab Syafi’i juga berpandangan serupa dengan mazhab Hambali Di mana mereka itu tidak memperbolehkan untuk menyewakan kitab Taurat dan Injil untuk dipelajari.” (Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 33 halaman 65)
Yang demikian adalah dalam konteks kitab suci lain, karena membaca pahala tanpa tahu maknanya atau dengan tanpa tujuan belajar itu hanyalah Al-Qur’an saja. Bahkan dalam membaca hadis sendiri itu diperselisihkan oleh para Ulama, Imam Al-Suyuthi dalam Alfiyyah hadis-nya menyenandungkan;
٦٠٦ – وَهَلْ يُثَابُ قَارِئُ الآثَارِ … كَقَارِئِ الْقُرْآنِ: خُلْفٌ جَارِي
“Apakah membaca hadis itu berpahala seperti halnya membaca al-quran? Ulama’ berbeda pandangan dengannya“. (Nadzm al-Durar fi Ilm al-Atsar, halaman 95)
Lebih jelas lagi, Syaikhu Masyayikhina Hasan Masyat menyatakan bahwa hal ini memang menjadi titik perbedaan Al-Qur’an dan hadis. Dalam anotasinya pada nadzam tal’at -anwar yang berbunyi;
ومنهه تلاوة للجنب # في كل حرف منه عشرا أوجب
“(Di antara perbedaan Al-Qur’an dan hadis adalah) bahwa al-qur’an dilarang untuk dibaca oleh orang yang berjunub, dan juga membacanya itu mendapatkan pahala, di setiap hurufnya ada 10.”
Adapun dalil yang menjadi landasan tidak berpahala membaca kita suci agama lain ialah hadis Rasulullah Saw sendiri, yang juga melarang untuk membaca kitab suci lain. Beliau Saw bersabda;
أن عمر بن الخطاب جاء إلى الرسول صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إني مررت بأخ لي من بني قريظة، فكتب لي جوامع من التوراة ألا أعرضها عليك؟ قال: فتغير وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال عمر: رضينا بالله رباً، وبالإسلام ديناً، وبمحمد صلى الله عليه وسلم رسولاً. قال: فسري عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: والذي نفس محمد بيده. لو أصبح فيكم موسى ثم اتبعتموه وتركتموني لضللتم، أنتم حظي من الأمم، وأنا حظكم من النبيين
“Umar bin Khatab pernah datang pada Nabi ia berkata: “Wahai Rasulullah aku bertemu dengan saudaraku dari kabilah Bani Quraizhah lalu ia menulis beberapa ayat dari kitab Taurat, apakah aku tunjukkan padamu?” Abdullah bin Tsabit berkata,
“Maka berubahlah wajah Nabi.” Umar berkata, “Aku ridha Allah sebagai Tuhan, dan Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai Rasulku.” Abdullah bin Tsabit berkata, “Nabi gembira mendengar itu.”
Nabi berkata, “Demi Allah, kalau kalian bertemu Musa lalu kalian mengikutinya niscaya kalian tersesat. Kalian adalah bagian umatku. Dan aku adalah Nabi kalian.” (Hadits riwayat Ahmad,)
Lalu bagaimana hukumnya ketika kita mengkaji kitab mereka dengan tujuan kontra narasi atas pandangan mereka? Ini adalah pendapat yang kedua, yang mengatakan bahwa hukumnya ialah diperbolehkan. terlebih atau terkhusus bagi mereka yang imannya sudah kuat. Dijelaskan;
وَبَعْدَ أَنْ ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ رِوَايَاتٍ مُتَعَدِّدَةً لِلْحَدِيثِ بِطُرُقٍ مُخْتَلِفَةٍ قَال: وَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ كَرَاهِيَةَ ذَلِكَ لِلتَّنْزِيهِ لاَ لِلتَّحْرِيمِ، ثُمَّ قَال: وَالأَْوْلَى فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ التَّفْرِقَةُ بَيْنَ مَنْ لَمْ يَتَمَكَّنْ وَيَصِيرُ مِنَ الرَّاسِخِينَ فِي الإِْيمَانِ، فَلاَ يَجُوزُ لَهُ النَّظَرُ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ بِخِلاَفِ الرَّاسِخِ فَيَجُوزُ لَهُ، وَلاَ سِيَّمَا عِنْدَ الاِحْتِيَاجِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى الْمُخَالِفِ، وَيَدُل عَلَى ذَلِكَ نَقْل الأَْئِمَّةِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا مِنَ التَّوْرَاةِ، وَإِلْزَامُهُمُ الْيَهُودَ بِالتَّصْدِيقِ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا يَسْتَخْرِجُونَهُ مِنْ كِتَابِهِمْ، وَلَوْلاَ اعْتِقَادُهُمْ جَوَازَ النَّظَرِ فِيهِ لَمَا فَعَلُوهُ وَتَوَارَدُوا عَلَيْهِ، وَغَضَبُ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَدُل عَلَى التَّحْرِيمِ، فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ يَغْضَبُ مِنْ فِعْل الْمَكْرُوهِ، وَمِنْ فِعْل مَا هُوَ خِلاَفُ الأَْوْلَى إِذَا صَدَرَ مِمَّنْ لاَ يَلِيقُ مِنْهُ ذَلِكَ، كَغَضَبِهِ مِنْ تَطْوِيل مُعَاذٍ صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْقِرَاءَةِ، وَقَدْ يَغْضَبُ مِمَّنْ يَقَعُ مِنْهُ تَقْصِيرٌ فِي فَهْمِ الأَْمْرِ الْوَاضِحِ مِثْل الَّذِي سَأَل عَنْ لُقَطَةِ الإِْبِل.
“Setelah Ibnu Hajar meriwayatkan beberapa hadis terkait kitab suci lain dengan berbagai sanad, beliau menyatakan bahwasanya yang sesuai itu adalah makruh tanzih bukan makruh Tahrim bagi mereka yang mempelajari kitab suci lain.
Kemudian Ibnu Hajar Al-Asqalani itu membedakan antara orang yang kuat imannya dan yang tidak, maka bagi mereka yang kurang begitu kuat imannya itu tidak diperbolehkan untuk mengkaji kitab suci lain.
Lain halnya dengan orang yang sudah kuat imannya, apalagi jika tujuannya itu adalah untuk memberikan kontra narasi kepada mereka, Maka tujuan ini di legitimasi oleh para ulama.
Hal ini dibuktikan dengan sikap para ulama Salaf atau mutaakhirin yang mengutip dari Taurat, seperti halnya pasal tentang kebenarannya Rasulullah SAW yang tertera dalam kitab mereka, Andaikata paradigma mereka itu tidak memperbolehkan tentunya mereka tidak akan mengikutinya.
Adapun terkait marahnya Rasulullah SAW itu tidaklah menunjukkan hukum haram, karena sesungguhnya Rasulullah SAW itu terkadang marah juga karena ada pekerjaan makruh itu dilakukan atau juga perkara yang hukumnya khilaful Aula ketika dilakukan oleh seseorang yang tidak pantas untuk melakukannya.
Contohnya adalah seperti marahnya Rasulullah SAW atas salat subuhnya sahabat Muad yang membaca surat panjang dan kadang pula Rasulullah SAW marah itu karena terjadi kecerobohan dalam memahami suatu perkara yang sudah jelas seperti halnya konteks pertanyaan terkait penemuan unta. (Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah, Juz 34 halaman 185).
Kesimpulan
Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya membaca kitab suci selain Alquran itu tidak diperbolehkan karena isinya itu sudah mengalami perubahan dari nilai aslinya, maka karena membacanya itu tidak diperbolehkan tentunya ini tidak akan mendapatkan pahala ketika membacanya.
Akan tetapi ada pengecualiaan, bahwa orang yang telah kuat imannya, jika mereka mempelajari kitab suci lain dengan tujuan untuk memberikan kontra narasi maka kepada mereka itu diperbolehkan.
Demikian penjelasan terkait apa hukum membaca kitab suci selain Al-Qur’an? Wallahu a’lam bi al-shawab.