Hukum Menjadi Influencer Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani 

Hukum Menjadi Influencer Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani 

Di era digital yang mulai merata ini, semua orang bisa show up atas kelebihan masing-masing. Yang semula tidak dikenal siapa-siapa, media sosial bisa melambungkan namanya. Lantas bagaimana hukum menjadi influencer menurut Ibnu Hajar al-Asqalani? 

Sebagaimana sesuatu yang pasti ada sisi negatif dan positifnya, demikian pula dalam konteks bermedia sosial. Orang yang mengisinya, atau yang jamak disebut dengan nomenklatur influencer. Bisa saja memberikan pengaruh positif atau negatif, sehingga bisa diketahui bahwasanya media sosial ini menjadi sebuah sarana atau platform untuk seseorang bisa berbagi manfaat. 

Lalu bagaimanakah hukum menjadi seorang influencer? Pada dasarnya menjadi influencer adalah diperbolehkan selama menampilkan konten yang positif. Karena jika media sosial diisi oleh influencer yang tidak berkompeten, maka sama saja dengan menjerumuskan publik. Sehingga bagi mereka yang berkompeten dalam bidangnya, dipersilahkan untuk andil memberikan edukasi kepada masyarakat. 

Dalam kitab Sahih Bukhari, Imam Al-Bukhari menyelipkan perkataan Rabi’ah yang berkaitan dengan tanggung jawab keilmuan seorang akademisi atau kyai. Dalam bab hilangnya ilmu dan tampaknya kebodohan, Imam Al-Bukhari mengutip kalamnya Rabi’ah yang berbunyi;

لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنَ العِلْمِ أَنْ يُضَيِّعَ نَفْسَهُ

“Seyogyanya bagi seorang yang memiliki ilmu untuk tidak menyia-nyiakan dirinya” 

Apa maksud dari menyia-nyiakan diri? Kalam ini dikomentari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dengan menyatakan bahwa seseorang yang memiliki ilmu itu seyogianya menyebarkan ilmu agar supaya tidak lenyap ilmu. Ia mengatakan; 

 وَمُرَادُ رَبِيعَةَ أَنَّ مَنْ كَانَ فِيهِ فَهْمٌ وَقَابِلِيَّةٌ لِلْعِلْمِ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُهْمِلَ نَفْسَهُ فَيَتْرُكَ الِاشْتِغَالَ لِئَلَّا يُؤَدِّيَ ذَلِكَ إِلَى رَفْعِ الْعِلْمِ أَوْ مُرَادُهُ الْحَثُّ عَلَى نَشْرِ الْعِلْمِ فِي أَهْلِهِ لِئَلَّا يَمُوتَ الْعَالِمُ قَبْلَ ذَلِكَ فَيُؤَدِّيَ إِلَى رَفْعِ الْعِلْمِ أَوْ مُرَادُهُ أَنْ يُشْهِرَ الْعَالِمُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّى لِلْأَخْذِ عَنْهُ لِئَلَّا يَضِيعَ عِلْمُهُ وَقِيلَ مُرَادُهُ تَعْظِيمُ الْعِلْمِ وَتَوْقِيرُهُ فَلَا يُهِينُ نَفْسَهُ بِأَنْ يَجْعَلَهُ عَرَضًا لِلدُّنْيَا 

“Maksud pernyataannya Robiah adalah bahwasanya seseorang yang memiliki ilmu itu seyogyanya menyebarkan ilmu agar supaya tidak lenyap ilmu tersebut, atau yang dimaksudkan adalah bahwasanya rabiah menganjurkan seseorang untuk menyebarkan ilmu kepada seseorang agar supaya ketika ia meninggal itu ada penerusnya. Atau bisa juga bermakna 

“Hendaknya seorang alim untuk menampakkan dirinya dan bersedia untuk diambil (ilmunya), agar jangan sampai ilmunya lenyap, namun ada yang menyatakan bahwa maksudnya adalah seseorang yang memiliki ilmu itu dianjurkan untuk menghormati ilmu nya sendiri dan tidak merendahkan dirinya dengan cara menjadikan ilmu tadi sebagai alat untuk mencari duniawi”. (Fath al-Bari Syarh Sahih Al-Bukhari, Juz 1 Halaman 178).

Nasihat Imam Qarafi untuk Influencers 

Saat sudah terkenal dan diketahui masyarakat luas, para influencer jangan sampai star syndrome. Sehingga melupakan jati diri sebagai orang yang bertugas untuk edukasi masyarakat. Hal ini sudah diingatkan oleh Imam Al-Qarafi (684 H), yang mana beliau berpesan;

 يَنْبَغِي لِلْعَابِدِ السَّعْيُ فِي الْخُمُولِ وَالْعُزْلَةِ لِأَنَّهُمَا أَقْرَبُ إِلَى السَّلامَة وَلِلْعَالِمِ السَّعْيُ فِي الشُّهْرَةِ وَالظُّهُورِ تَحْصِيلًا لِلْإِفَادَةِ وَلَكِنَّهُ مَقَامٌ كَثِيرُ الْخَطَرِ فَرُبَّمَا غَلَبَتِ النَّفْسُ وَانْتَقَلَ الْإِنْسَانُ مِنْ هَذَا الْمَعْنَى إِلَى طَلَبِ الرِّئَاسَةِ وَتَحْصِيلِ أَغْرَاضِ الرِّيَاءِ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ وَهُوَ حَسَبُنَا فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ الثَّانِي يَنْبَغِي لِطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ يُحْسِنَ ظَاهره وباطنه وسره وعلانيته وأفعاله وأقواله

“Seyogyanya para ahli ibadah untuk tidak membenarkan dirinya, Karena yang demikian ini lebih selamat (dari gangguan-gangguan keduniaan). Namun bagi ahli ilmu, ia dianjurkan untuk memviralkan dirinya dan memproklamirkan diri. 

Agar supaya ia bisa memberikan faedah kepada banyak orang, hanya saja posisi tersebut sangatlah rawan. Terkadang seseorang dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga ia berpindah haluan dengan mengalihkannya untuk mencari kekuasaan dan tujuan-tujuan duniawi, bahkan ia menjadi Riya’ ketika sudah di atas. 

Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita, sehingga sebagiannya bagi para pencari ilmu untuk senantiasa berupaya memperbaiki jiwa raganya, perbuatan perkataannya, dan ketaqwaannya baik di kondisi sepi maupun ramai. (Al-Dzakhirah, https://shamela.ws/book/1717 Juz 1 Halaman 50).

Tanggung Jawab Influencer menurut Imam Nawawi 

Imam Al-Nawawi mengingatkan kepada para influencer, bahwa mereka memikul tanggung jawab moral. Sehingga mereka harus memiliki kode etik, beliau menyampaikan;

وَأَمَّا مَا فَعَلَهُ جُنْدُبُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ جَمْعِ النَّفَرِ وَوَعْظِهِمْ فَفِيهِ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَالرَّجُلِ الْعَظِيمِ الْمُطَاعِ وَذِي الشُّهْرَةِ أَنْ يُسَكِّنَ النَّاسَ عِنْدَ الْفِتَنِ وَيَعِظَهُمْ وَيُوَضِّحَ لَهُمُ الدَّلَائِلَ

“Perbuatan Jundub bin Abdillah dalam mengumpulkan sekelompok orang dan menasehati mereka, ini merupakan pesan tersirat bahwa seorang ahli ilmu, tokoh, dan influencer, untuk memberikan pencerahan kepada publik ketika ada bola liar yang sedang bergulir di opini mereka, dan juga mereka dituntut untuk memberikan nasehat dan petuah kepada masyarakat. (Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, https://shamela.ws/book/1711 Juz 2 H. 107) 

Dari beberapa pernyataan di atas bisa diketahui bahwasanya diperbolehkan untuk menjadi influencer, lebih tegas lagi Al Habib Abdullah Al Haddad menuliskan;

والمذموم من حب الجاه والمال ومن الحرص عليهما : شدة ذلك وإفراطه ، حتى يطلبهما الإنسان ويتسبب في حصولهما بكل وجه يمكنه من جائز وغير جائز ، ويصير بهما في شغل شاغل عن التفرغ لعبادة الله وذكره ؛ كما يقع ذلك كثيراً لبعض المفتونين الغافلين عن الله تعالى . . فأما من طلب ذلك بنية صالحة للاستعانة به على الآخرة ، وصيانة الدين والنفس عن تعدي الظالمين ، وعن الحاجة إلى الناس ، ولم يشتغل بسبب ذلك عن عبادة الله تعالى وذكره ، ولم تفارقه التقوى والخوف من الله ؛ فذلك مما لا بأس به ولا حرج فيه إن شاء الله تعالى . وعلى كل حال ، فقلة الحرص على الجاه والمال وترك الرغبة فيهما أسلم وأحوط ، وأقرب إلى التقوى ، وأشبه بهدي السلف الصالح.

“Yang dicela dari menyukai pangkat dan harta adalah berlebihan, sehingga seseorang itu berupaya dengan segala cara untuk mendapatkannya, baik cara tersebut diperbolehkan atau tidak. 

Terlebih ketika keduanya itu menyibukkan dia sehingga tidak memiliki waktu untuk beribadah dan berzikir, sebagaimana yang telah dialami oleh orang-orang yang diuji dengan lupa dari Allah SWT.  

Hanya saja barang siapa yang mencari pangkat dan harta dengan niatan yang bagus semisal untuk menunjang ukhrawinya, menjaga agama dan dirinya dari kedzaliman atau ketergantungan dengan orang lain. 

Dan yang demikian tidak menyibukkannya untuk fokus beribadah dan berzikir, Ia juga tetap Taqwa dan takut kepada Allah maka mencari jabatan dan harta ini masuk pada kategori yang diperbolehkan dan insya Allah tidak ada dosa di dalamnya. 

Ala kulli hal, sedikitnya keinginan untuk mencari keduanya atau menyukai keduanya itu lebih selamat dan lebih mendekati kepada takwa bahkan demikianlah yang diajarkan oleh Salafus saleh.” (Nashaih al-Diniyyah, https://archive.org/details/AlimamAlhaddad Halaman 373) 

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya seseorang diperbolehkan untuk menjadi influencer ketika sarana dan tujuannya itu dilegitimasi oleh syariat, misal dia tidak melakukan segala cara untuk menjadi viral dan ketika viral dia ini tidak menjadikannya sebagai alat untuk mencari duniawi, namun diperuntukkan kepada ukhrawinya. 

Demikian hukum menjadi Influencer menurut Ibnu Hajar al-Asqalani. Semoga keterangan hukum menjadi influencer ini mendapatkan pemahaman yang utuh, sehingga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH