5 Buah Iman kepada Takdir

5 Buah Iman kepada Takdir

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسوله، نبينا محمد وآله وصحبه

Hati yang tenang

Ketika seorang mukmin menerima dan rida dengan ketetapan Allah, maka akan mengantarkannya kepada ketenangan hati dan jiwa. Jiwanya akan selamat dari kecemasan dan kegoncangan. Akan terwujud dalam dirinya kondisi yang Allah telah jelaskan (dalam QS. Al-Hadid: 22) bahwa segala sesuatu yang menimpa manusia semuanya telah tertulis di kitab (lauhulmahfuz),

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ

Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-Hadid: 23)

Seseorang tidak perlu cemas dan bersedih dengan segala ketetapan yang tidak disenanginya, dan jangan tertipu dengan keuntungan dunia yang ia dapatkan. Hendaknya dia sabar ketika ditimpa kesulitan (dan hal tersebut baik untuknya). Bersyukur ketika mendapat kesenangan (dan hal tersebut baik untuknya). Tidak akan didapatkan sifat demikian, kecuali pada seorang mukmin seperti yang dijelaskan dalam hadis (HR. Muslim no. 2999).

Tidak berputus asa

Menerima takdir tidak mungkin terwujud, kecuali setelah seseorang melakukan usaha maksimal meniti jalan yang mengantarkannya kepada kebaikan. Jika dia belum meraih apa yang diinginkannya, maka hendaknya dia mengucapkan,

“قدر الله وما شاء فعل“

(Takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi)

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

“المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير، احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل قدر الله وما شاء فعل، فإن “لو” تفتح عمل الشيطان”

Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, janganlah mengatakan, ‘Seandainya aku berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain.’ Akan tetapi, katakanlah, ‘Takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’ Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan.” (HR. Muslim no. 2664)

Baca juga: Penyimpangan terhadap Iman dan Takdir

Keteguhan di dalam hati

Seorang mukmin tidak akan meraih kenikmatan iman hingga dia mengetahui bahwa apa saja yang telah ditetapkan untuknya, maka tidak akan meleset. Dan apa saja yang tidak ditetapkan untuknya, maka tidak akan menimpanya. Sebagaimana perkataan sahabat ‘Ubadah bin Ash-Shamat radhiyallahu ‘anhu kepada anaknya, setelah meyakini apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu,

“… واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف”

Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andai pun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu, kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Ahmad no. 2669, Tirmidzi no. 2516, berkata Tirmidzi: hadis sahih)

Berusaha mengambil sebab

Bukanlah maksud dari iman kepada takdir adalah pasrah duduk bermalas-malasan, merasa tidak ada gunanya berletih-letih berusaha dan bekerja. Toh, semuanya sudah ditetapkan (dalam kitab) jauh sebelumnya. Makna yang benar adalah bahwa Allah sebagaimana Dia mengetahui sebab-sebabnya, hasil akhirnya, dan keterkaitan sebab dengan sebab lainnya, di mana semua itu adalah bagian dari takdir, maka ketika Allah juga menetapkan satu perkara, Dia akan mudahkan sebab-sebab terwujudnya dengan pengetahuan-Nya, hingga terwujud dengan cara yang Dia ketahui pula.

Maka, sikap tawakal kepada Allah tidak bertentangan sama sekali dengan berusaha mengambil sebab. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang suatu amal, beliau menjawab, “Sesungguhnya penduduk surga dimudahkan beramal dengan amal penduduk surga. Dan penduduk neraka dimudahkan beramal dengan amalan penduduk neraka.” (As-sunnah oleh Abdullah bin Imam Ahmad no. 873).

Hal ini merupakan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau melakukan usaha sebagai bentuk mengambil sebab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenakan baju perisai dalam perang, menggali parit, memiliki pasukan mata-mata dan penjaga, mempelajari mana sekutunya, membantu para sahabat, berobat dan memerintahkan untuk berobat, bekerja, dan memerintahkan untuk bekerja.

Belajarlah dari Umar Al-Faruuq radhiyallahu ‘anhu. Ketika Umar diminta pendapat tentang wabah Tha’un, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Beliau menjawab, “Kita berpindah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lainnya.” (HR. Bukhari no. 5397 dan Muslim no. 2219)

Seandainya Umar memahami takdir sebagaimana para dungu (yang tidak mengerti takdir), maka Umar akan masuk ke dalam kampung dan berkata, “Tidak akan menimpa kita, kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk kita.”

Meluapkan semangat di dalam diri

Pada saat kaum muslimin terdahulu memahami takdir dengan pemahaman yang benar, Allah berikan kepemimpinan bagi mereka di muka bumi. Mereka berjalan membawa agama ke seluruh bumi. Mereka menundukkan separuh dunia dalam setengah abad atau sebagaimana yang telah dikatakan oleh salah satu orang orientalis, “Mereka (kaum muslimin) menaklukkan dalam 80 tahun apa yang ditaklukkan Romawi dalam 800 tahun. Takdir yang menimpa mereka tidak melemahkan mereka sedikit pun. Tidak pula mereka menjadi lemah dan tertunduk. Mereka berperang dengan cita-cita yang mulia dengan keberanian dan peperangan yang baik dan penuh berkah. Mereka tegakkan keadilan, sebarkan Islam. Mereka membuktikan bahwa iman kepada takdir mengantarkan kepada kekuatan dan kemampuan maksimal seorang manusia. Agar mengenal sunah kauniyah yang telah Allah tetapkan, menggali harta kekayaan bumi, dan memanfaatkan karunia tersebut.

Demikian. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85420-buah-iman-kepada-takdir.html