Artikel ini tentang sikap Imam Al-Asy’ari atas fenomena takfir. Yang jelas, ada sekian banyak nash al-Qur’an dan Sunnah yang memperingatkan para pelaku dosa besar. Secara harfiah, nas-nas itu memang dapat dipahami oleh orang-orang yang tidak mendalami ilmu sebagai bentuk mengkafirkan. Karenanya, tak heran mereka berani mengkafirkan para pelaku dosa besar, seperti orang yang meninggalkan shalat, pelaku zina, pelaku bunuh diri, dan orang-orang yang menghukumi perkara bukan dengan apa yang diturunkan Allah Swt.
Mereka membawa nas-nas itu kepada makna zahir-nya saja. Sehingga, mereka terjerumus pada bid’ah yang paling berbahaya dan merebak di tengah umat Islam. Bid’ah dimaksud adalah takfir atau mengkafirkan sesama muslim. Yang benar adalah pandangan yang dimiliki oleh mazhab Asy’ariyyah, yaitu memahami nas-nas tersebut sesuai dengan petunjuk nas-nas yang lain.
Kita tidak memilih nas yang mengkafirkan dan membiarkan nas yang menetapkan perkara berjalan di atas kehendak Allah. Jika berkehendak, Dia akan memberi siksaan. Jika berkehendak, Dia akan memberi ampunan.
Dan, tak diragukan bahwa dosa-dosa di atas termasuk dosa besar. Namun, ia bukanlah kekufuran kecuali bagi orang yang dengan sengaja membolehkan atau menghalalkannya. Orang yang melakukannya serta mengakui dirinya bersalah dan berbuat dosa, maka dia hanya terkategori fasik saja, tetapi tidak kufur. Ini sebagai sudah dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Nisa’ [4]: 116).
Rasulullah saw. sendiri telah melarang keras umatnya berbuat bid’ah takfir. Abdullah ibn Umar meriwayatkan bahwa beliau bersabda;
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir, maka perkataan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya meskipun saudaranya itu sebagaimana yang dia katakan. Jika tidak, maka perkataan itu berpulang kepada dirinya sendiri.” Riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya, dan hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah.
Nabi Saw. telah mewaspadai kaum Muslimin dari kelompok orang yang gemar mengkafirkan sesamanya. Beliau menggambarkan mereka sebagai orang yang banyak beribadah dan shalat, tetapi suka mengkafirkan sesama muslim. Akibatnya, semua ibadah itu tak bermanfaat bagi mereka.
Diriwayatkan bahwa Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Akan keluar dari umat ini suatu kaum yang akan meremehkan shalat kalian padahal mereka juga shalat. Mereka membaca al-Qur’an tetapi bacaannya tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama bagaikan keluarnya anak panah dari busurnya.” Hadits riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Tutur kata mereka bagus. Umumnya, mereka adalah orang-orang muda. Jika berbicara, mereka sering menyebutkan hadits Rasulullah Saw. Ali bin Abi Thalib meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Pada akhir zaman, akan lahir suatu kaum yang masih muda-muda, namun cara pandangnya dangkal. Jika berbicara, mereka mengutip hadis makhluk terbaik (Rasulullah Saw.). Mereka gemar membaca al-Qur’an, tetapi bacaannya tidak sampai kepada kerongkongan mereka.
Mereka keluar dari agama mereka seperti keluarnya anak panah dari busurnya. Jika kalian menemui mereka, maka bunuhlah mereka. Sebab, dalam membunuh mereka ada pahala bagi orang yang melakukannya hingga hari kiamat.” Riwayat Imam Muslim.
Berpijak pada sejumlah hadits di atas, Al-Asy’ari dan para pengikutnya membangun keyakinan yang melarang mereka untuk mengkafirkan sesama muslim dan mewaspadai bahaya sikap tersebut terhadap agama.
Al-Asy’ari mengungkapkan, “Menurut kami, kita tidak boleh mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat (muslim) hanya karena suatu dosa yang dilakukannya seperti berzina, mencuri, dan minum arak, sebagaimana kebiasaan kaum Khawarij. Mereka (kaum Khawarij) mengira bahwa para pelaku dosa adalah kafir.
Menurut kami, orang yang berbuat dosa besar dan dosa-dosa sejenisnya disertai dengan menghalalkan dosa-dosa tersebut maka dia adalah kafir jika tidak meyakini keharaman dosa itu.”
Penulis kitab Jauhar al-Tauhid menjelaskan aqidah Ahli Sunnah Asy’ariyyah dalam hal ini: “Siapa yang meninggal dan tidak tobat dari dosanya, maka urusannya diserahkan kepada Tuhannya”. Inilah akidah dan keyakinan kami tentang pelaku dosa besar. Hal ini sekaligus menjadi bantahan atas kaum Khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukannya.
Sementara, adapun orang-orang yang bertentangan dengan kami dari kalangan ahli kiblat (muslim) dalam masalah-masalah yang diperdebatkan di antara kami dengan mereka, bukan kapasitas kami untuk mengkafirkan satu pun di antara mereka meskipun kami meyakini batil dan rusaknya mazhab mereka.
Abu Ali Zahir ibn Ahmad al-Sarkhasi mengungkapkan, “Saat kehadiran ajal Abu al-Hasan al-Asy’ari sudah dekat-saat itu beliau di rumahnya di Baghdad-beliau mengundangku. Aku pun memenuhi undangannya. Di hadapanku, beliau berkata, “Saksikanlah bahwa aku tidak pernah mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat (muslim). Sebab, semuanya bermaksud kepada satu Dzat yang disembah. Hanya saja masing memiliki cara pengungkapan yang berbeda-beda.”
Itulah garis-garis besar aliran Asy’ariyyah. Walhasil, mereka tidak pernah mengkafirkan siapa pun dari ahli kiblat (sesama muslim) yang bertentangan dengan pandangan mereka, seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya. Alasannya, karena mereka termasuk orang-orang yang ahli takwil, sehingga mungkin saja berpedoman pada nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang mutasyabihat.
Sesungguhnya, keimanan itu adalah dasar yang paling mendasar dalam agama Islam. Siapa saja yang memasukinya dengan yakin, maka tidak bisa keluar darinya kecuali dengan yakin pula. Sehingga seseorang tidak dapat dinyatakan keluar dari keimanan dengan perkara yang syubhat (belum jelas).
Jalan kami dengan mereka adalah berdiskusi dan berdebat secara ilmiah, sehingga kita sampai kepada kebenaran kecuali orang yang angkat senjata di depan wajah kami, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Khawarij. Mereka harus diperangi guna menghadang fitnah mereka dan mempertahankan Islam serta membela diri.
Meski demikian, kita tetap harus mengajak mereka beradu argumen secara ilmiah sebelum berperang, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat mengutus Abdullah ibn Abbas untuk berdebat dengan mereka, dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Jika tidak tercapai kesepahaman dan perdebatan yang baik dengan mereka, dengan kata lain mereka menolak kecuali dengan jalan perang, maka jalan terakhir adalah angkat senjata.
Demikian penjelasan terkait sikap Imam Al-Asy’ari atas fenomena takfir. Wallahu a’lam bisshawaab.