Kemah-kemah pasukan Salahudin Al Ayubi bertebaran di sepanjang Lembah Tanduk Hittin. Sementara pasukan Salib berkemah di sepanjang lereng yang berdekatan dengan lembah tersebut. Mereka terlihat kelelahan setelah menempuh sebuah perjalanan panjang.
Di perkemahan pasukan Salahudin, 12 ribu prajurit mendendangkan untaian kata penyemangat jiwa. Malam 27 Ramadhan 583 H atau 1187 M menyusupkan semangat tersendiri bagi pasukan Muslim yang akan segera bertempur dengan pasukan Salib. Kemenangan seakan telah di depan mata sebab kelelahan dan perpecahan di kalangan pihak Salib sendiri. Namun, Salahudin tak mau gegabah. Ia perintahkan pasukannya untuk melakukan pengepungan atas perkemahan pasukan Salib.
Karen Armstrong dalam bukunya Perang Suci, mengisahkan, usai fajar menyingsing pasukan Muslim yang dipimpin Salahudin bergegas meninggalkan perkemahan dan melakukan penyerangan. Kavaleri dari pasukan Salib yang dipimpin oleh Raymund melakukan perlawanan sengit.
Pengepungan yang dilakukan pasukan Muslim pun kemudian berlubang. Namun kemudian Salahudin segera memerintahkan pasukannya untuk kembali menutup lubang tersebut. Dan pasukan Muslim kemudian membentuk sebuah pengepungan yang begitu rapat.
Pertempuran pun akhirnya dimenangkan pasukan Salahudin.”Ayahku turun dari pelana kuda kemudian bersujud di atas tanah. Ia bersyukur kepada Allah dengan tangis bahagia,” demikian pernyataan Afdhal, anak Salahudin, yang menyertainya dalam pertempuran tersebut.
Kemenangan ini telah membuat pasukan Salib hancur. Dan tak lama kemudian Salahudin mampu mengambil kembali Yerusalem ke pangkuan umat Islam. Sesaat sebelum memasuki Yerusalem, ia mengatakan kepada pasukannya akan makna penting Yerusalem bagi Islam.
Kaum Muslim yang paling awal, pernah menjalankan shalat menghadap Yerusalem. Kemudian Salahudin dan pasukannya memasuki Yerusalem tanpa perlawanan berarti. Ini terjadi pada 2 Oktober 1178 M dan sejak saat itu Yerusalem menjadi kota Muslim hingga 800 tahun lamanya.
Saat itu Salahudin meminta pemimpin Salib dan orang-orang Kristen waktu itu untuk meninggalkan Yerusalem secara damai. Tak akan ada pertempuran, kata Salahudin, bila tak ada perlawanan yang dilakukan terhadap pasukan Muslim. Tak ada penjarahan harta milik orang Kristen.
Dalam peristiwa itu, tak ada satu pun orang Kristen yang dibunuh. Tak ada pembantaian yang pernah dilakukan pasukan Salib kepada umat Islam seperti sebelumnya terjadi. Tak ada genangan darah yang membasahi tanah Yerusalem.
Mengutip Islamonline, setahun setelah keberhasilan Salahudin bersama pasukannya menguasai Yerusalem, yaitu pada 584 H mereka juga kembali mencapai kemenangan gemilang dengan merebut kembali sejumlah kota dari pasukan Salib. Di antaranya adalah Gebla, Al-Lazikiyah, dan Sayhun.
Salahudin selama hidupnya dikenal sebagai orang yang saleh. Dalam peperangan, ia pun dengan konsisten berupaya untuk tetap berjalan dalam tuntutan Alquran dan Sunnah. Tak heran bila tak ada pembantaian dan penjarahan setalah kemenangan ada di tangan.
Salahudin juga memiliki kedekatan dengan rakyatnya. Ia tak membuat jarak dan menonjolkan statusnya ketika berhadapan dengan rakyat jelata. Ia juga memiliki semangat tinggi dalam mencapai tujuan, terutama dalam membebaskan tanah-tanah Muslim dari tangan pasukan Salib.
Sejumlah penasihat Salahudin suatu saat pernah memberikan masukan kepadanya agar rehat sejenak saat Ramadhan. Namun Salahudin dengan tegas menolak usulan itu. ”Kehidupan manusia sangat pendek dan kematian tak pernah memberikan kesempatan kepada kita untuk memilih,” katanya.
Salahudin menambahkan, tak ingin membiarkan mereka (salib) menduduki tanah-tanah Muslim meski hanya sehari. Ia menyatakan pula bahwa Ramadhan menjadi sebuah kesempatan baginya dan pasukan Muslim untuk merebut kembali tanah-tanah Muslim yang telah diduduki pasukan Musuh. ”Ramadhan tak menjadi sebuah penghalang untuk berjuang membebaskan tanah-tanah Muslim itu,” katanya.