Dewasa ini praktik suap menjadi problematika di berbagai sendi kehidupan masyarakat. Bahkan tidak berlebihan bila kita katakan, bahwa persoalan ini sudah menjadi masalah yang multi dimensional. Melihat telah merambah dalam ranah sosial, moral, hukum, ekonomi dan pendidikan.
Seorang yang melakukan suap, biasanya ia memberikan suap untuk suatu kepentingan; baik berupa keuntungan tertentu atau supaya terbebas dari jerat hukuman. Al Fayyumi rahimahullah, dalam Mishbahul Munir menjelaskan makna daripada risywah,
“Risywah (gratifikasi) adalah sebuah pemberian seseorang kepada hakim atau selain hakim, supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi menuruti keinginannya” (1)
Al-Jurjani dalam at-tarifat menerangkan, “Risywah adalah, harta yang diberikan untuk tujuan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah” (2)
Maka tidaklah heran, bila pihak yang paling rawan berhubungan dengan suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah, yang memiliki peranan penting dalam memutuskan perkara. Semisal dalam pemberian izin ataupun pemberian mandat proyek.
Dalam urusan administrasi, juga tidak lepas dari suap. Untuk saat ini, pejabat yang berwenang mengeluarkan surat administrasi ataupun identitas; semisal paspor, KTP, SIM dan lain-lain, rentan berhubungan dengan suap.
Bahkan saat ini, suap ditengarai sudah merambah ke dunia pendidikan. Baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswa baru, kenaikan kelas, kelulusan atau untuk mendapatkan nilai bagus dalam ujian mata pelajaran atau mata kuliah.
Amat menyedihkah bukan melihat kenyataan yang seperti ini (?!) Lembaga pendidikan yang dielu-elukan menjadi tonggak masa depan bangsa, pun ternyata tak lepas dari praktik sogok. Yang sudah barang tentu praktik haram seperti ini akan menghilangkan keberkahan daripada ilmu. Untuk itu perlu digalakkan lagi gerakan penyadaran masyarakat akan bahaya risywah atau gratifikasi.
Pandangan Islam Terhadap Gratifikasi
Di antara prinsip dasar Islam adalah mendatangkan segala hal yang bisa memberikan maslahat bagi kehidupan manusia, dan mencegah segala perkara yang bisa merugikan kehidupan manusia atau meminimalisir dampaknya. Di antara perkara yang merugikan kehidupan manusia adalah praktik risywah (gratifikasi). Oleh karenanya, Islam menetapkan keharaman praktik ini.
Bahkan sebagian ulama telah menukilkan ijma (kesepakatan di kalangan ulama) akan keharaman risywah. Di antaranya adalah Taqiyyuddin as Subki rahimahullah dalam kitab fatwanya (3). Mereka menyimpulkan dari banyak dalil yang secara tegas melarang perbuatan ini.
Di antaranya adalah berikut ini:
Pertama: firman Allah taala, “Mereka (orang-orang Yahudi) itu suka mendengar kebohongan-kebohongan para pendeta mereka dan suka memakan as-suht” (QS Al Maidah 42).
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) berlomba-lomba berbuat dosa dan permusuhan serta memakan harta as-suht. Sungguh amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu” (QS. Al-Maidah: 62)
Lalu apa gerangan makna as-suht pada ayat di atas?
Ternyata makna as-suht pada ayat di atas adalah risywah, sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahualaihiwasallam dalam sabdanya, “Setiap daging yang tumbuh karena as-suht, maka api nereka lebih pantas untuknya. Para sahabat bertanya, Wahai Rasul, apa as-suht itu? Beliau menjawab, Risywah dalam memutuskan perkara.” (HR. Baihaqi).
Ibnu Masud radhiyallahuanhu juga menerangkan makna as-suht, “Suht adalah engkau memenuhi keperluan saudaramu, kemudian dia memberikan hadiah kepadamu, lalu engkau menerima hadiah tersebut.” (4)
Para pembaca yang dimuliakan Allah, konteks ayat di atas sedang membicarakan sifat orang-orang Yahudi, yang mana mereka biasa memakan harta suht. Dan telah kita simak bersama pemaparan mengenai makna suht, bahwa maknanya adalah risywah atau harta suap. Dari sini dapat kita ketahui, bahwa di antara sifat orang-orang Yahudi adalah biasa melakukan praktik risywah.
Oleh karenanya, larangan terhadap perbuatan ini tidak hanya karena keharaman harta suap itu sendiri, namun juga karena terdapat unsur tasyabbuh dengan orang-orang Yahudi.
Kedua, Allah taala berfirman, “Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. Jangan pula kalian mengajukan perkara kepada hakim-hakim dengan cara yang batil, supaya kalian dapat mengambil sebagian daripada harta benda orang lain padahal kalian mengetahui, bahwa cara semacam itu adalah batil.” (QS Al Baqarah: 188).
Imam Qurtubi rahimahullah, dalam tafsirnya menukilkan salah satu penjelasan ahli tafsir mengenai makna ayat ini, “Maksud ayat ini adalah, janganlah kalian merayu para hakim dengan menyuap mereka, dengan harta kalian. Untuk memenangkan siapa yang iming-iming uangnya paling banyak.”
Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu Athiyyah rahimahullah, yang menunjukkan tarjih (pilihan) beliau terhadap penafsiran ini, “Penafsiran inilah yang paling kuat. Karena hakim memang rawan menerima suap. Kecuali hakim yang mendapat taufik untuk menjauhi praktik haram tersebut dan mereka hanya segelintir.” (5)
Realita di lapangan memang demikian. Suap sering diberikan kepada aparat penegak hukum atau para pejabat di lingkungan birokrasi pemerintahan, yang memiliki peranan penting dalam memberikan suatu keputusan.
Imam al Baghowi dalan tafsirnya juga menjelaskan makna ayat ini, “Memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, maksudnya adalah memakan harta milik saudaramu dengan cara yang tidak halal.”
Beliau melanjutkan, “Memakan dengan cara batil ada banyak macamnya. Bisa dengan cara menggosob atau merampok. Bisa pula berupa harta yang didapat dari hasil judi atau gaji penyanyi dan lain yang sejenis. Terkadang bisa melalui risywah (gratifikasi) atau khianat (korupsi).” (6)
Ketiga, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memakan harta yang baik dan halal. Di antaranya adalah firman Allah taala, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari sebagian rezeki yang telah Allah berikan kepada kalian. Dan bertakwalah kepada Allah. Tuhan yang kalian imani” (QS. Al-Maidah: 88).
Dalam kaidah ushul fikih disebutkan, perintah terhadap sesuatu, bermakna larangan terhadap perkara sebaliknya.
Ayat di atas memerintahkan kaum mukminin untuk memakan rezeki yang baik dan halal. Dari kaidah ushul fikih di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa perintah ini mengandung makna larangan dari perkara sebaliknya, yaitu segala macam rezeki yang haram. Dan termasuk dalam kategori rezeki yang haram adalah harta risywah atau gratifikasi.
Keempat, laknat Rasulullah terhadap orang yang menyuap dan yang menerima suap.
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahuanhu, beliau mengatakan, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Juga riwayat dari sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu, “Rasulullah shallallahualaihi wasallam melaknat penyuap dan orang yang menerima suap” (HR Abu Daud, dinilai shahih oleh al-Albani).
Kelima, hadis dari sahabat Abu Humaid as Saidi radhiyallahuanhu, bahwa beliau menceritakan, Nabi shallallahualaihiwasallam mempekerjakan seseorang dari suku Azdy, namanya Ibnu Al Utbiyyah untuk mengurusi zakat. Tatkala ia datang iapun berkata (kepada Rasulullah), “Ini untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku.”
Nabipun lantas bersabda, “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu? Demi Allah, tidaklah salah seorang di antara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya melainkan dia akan menemui Allah dengan membawa beban pada hari Kiamat kelak. Kalau unta atau sapi atau kambing, semua bersuara dengan suaranya.”
Kemudian beliau mengangkat tangan sampai kelihatan putih ketiak beliau, seraya bersabda, “Ya Allah, tidakkah telah aku sampaikan” Beliau mengatakan demikian sebanyak tiga kali” (HR. Bukhari).
Keenam, hadis Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu, Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda, “Penyuap dan orang yang menerima suap berada dalam neraka” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir).
Hati-hatilah, Risywah adalah Dosa Besar
Diantara dalil telah yang kami paparkan di atas, terdapat hadis yang menerangkan ancaman laknat bagi para penyuap dan yang menerima suap. Sedang Para ulama menjelaskan, “Setiap dosa yang hukumnya berupa laknat, maka dosa tersebut termasuk dosa besar.”
Ini menunjukkan bahwa risywah masuk dalam kategori dosa besar, yang seharusnya diwaspadai.
Di samping itu, Allah taala juga menerangkan, bahwa kebiasaan memakan harta suap adalah sifat orang-orang Yahudi. Sehingga praktik suap termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai ciri khas) orang-orang kafir. Dan tasyabbuh kepada orang kafir termasuk dosa besar. Karena Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya” (HR. Abu Daud no. 4031. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676).
Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam Al Kabair menggolongkan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, ke dalam dosa besar. Beliau menyatakan, “Dosa besar ke 20: Kedzoliman dalam bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil.” Kemudian beliau menyampaikan firman Allah taala,
“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. Jangan pula kalian mengajukan perkara kepada hakim-hakim dengan cara yang batil, supaya kalian dapat mengambil sebagian daripada harta benda orang lain padahal kalian mengetahui, bahwa cara semacam itu adalah batil” (QS: Al Baqarah188). (7)
Tentu tak diragukan lagi, termasuk memakan harta dengan cara yang batil adalah, praktik sogok atau suap menyuap. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam al Baghowi dalam tafsirnya,
“Memakan harta manusia dengan cara yang batil ada banyak macamnya. Bisa dengan mengghosob atau merampok. Bisa hasil judi atau gaji penyanyi dan yang sejenis. Terkadang bisa melalui risywah (gratifikasi) atau khianat (korupsi).” (8) [Ahmad Anshori]
Catatan kaki:
[1] Mishbahul Munir hal. 228, dalam Nadhrotun Naim 10/4542
[2] at-Tarifat hal. 116, dalam Nadhrotun Naim 10/4542
[3] Fatawa as Subki, 1/204, maktbah Syamilah
[4] Al-Kabair hal. 143
[5] Tafsir Al-Qurtubi 2/226
[6] Tafsir Al Baghowi 1/165
[7] Al Kabair hal: 86
[8] Tafsir Al Baghowi 1/165
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2282476/penyuap-dan-penerima-suap-neraka-jahanam#sthash.QtZEFjBD.dpuf