Dalam era informasi saat ini, kita tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa berita palsu atau hoaks telah menjadi ancaman nyata dalam literatur sejarah Islam. Melalui berbagai bentuk berita yang mengandung kebohongan, kedustaan, dan bahkan fitnah terhadap individu atau kelompok, hoaks telah mengacaukan pemahaman dan perspektif sejarah.
Zaman sekarang telah menyaksikan lonjakan drastis dalam penyebaran berita dan informasi melalui media sosial. Namun, kerentanannya terhadap manipulasi telah membuatnya menjadi sasaran empuk bagi para produsen hoaks. Lebih menyedihkannya lagi, masyarakat terkadang tanpa sadar ikut menyebarkan berita palsu ini, memicu penyebarannya secara masif tanpa memeriksa kebenarannya.
Akibat dari berita hoaks dapat sangat merugikan. Pertama, individu atau penyebar hoaks akan kehilangan kredibilitas dan kepercayaan. Dalam beberapa kasus, pelaku penyebar hoaks dapat terkena hukuman berat sesuai UU ITE, membawa konsekuensi penjara hingga 6 tahun dan denda miliaran rupiah.
Dampak kedua terasa bagi masyarakat secara keseluruhan. Hoaks dapat memicu perselisihan, ketidakharmonisan, bahkan dapat memecah belah persatuan dalam masyarakat, terutama jika berita tersebut berhubungan dengan isu politik atau SARA.
Meskipun kemajuan teknologi seperti smartphone telah memberikan kemudahan dalam akses informasi, namun jika tidak disertai kedewasaan dalam mengelolanya, dampak negatif justru dapat meluas. Fenomena ini menggambarkan bahwa memiliki akses ke peralatan teknologi canggih belum tentu diiringi oleh kemampuan penggunaannya dengan bijak.
Namun, bagaimana sebenarnya hoaks berperan dalam literatur sejarah Islam? Pada suatu kesempatan di Indonesia Lawers Club [ILC], Rocky Gerung mengungkapkan asal mula istilah hoaks dalam konteks ilmu pengetahuan. Alan Sokal, seorang profesor Fisika di Universitas New York, menulis artikel dalam Majalah Sosial Teks dengan nama samaran. Artikel tersebut, tanpa disadari, diulas dengan penuh pujian oleh redaktur tanpa memahami bahwa itu adalah kebohongan.
Lebih lanjut, Rocky Gerung menyoroti fungsi hoaks dalam kasus Alan Sokal, yang ternyata adalah untuk menguji pengetahuan redaktur majalah terkemuka tersebut. Ini memberikan pandangan bahwa istilah hoaks sebenarnya telah muncul lama sebelumnya, ketika Alan Sokal menguji tingkat pemahaman redaktur.
Tidak hanya dalam konteks ilmu pengetahuan modern, hoaks juga telah disebutkan dalam al-Qur’an dalam surat Al-Ahzab. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah Swt. mengungkapkan bahwa hoaks adalah alat bagi orang-orang munafik untuk mengganggu, menyesatkan, dan merusak. Namun, saat ini, berita palsu telah mencapai dimensi baru dengan aplikasi media sosial, yang kecepatannya melebihi jet tempur.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana umat Islam dapat menjadi pemenang dalam kancah dunia jika mereka terlibat dalam perang informasi dan fitnah? Jawabannya jelas: tidak mungkin. Oleh karena itu, era hoaks harus diakhiri. Kita harus menjadi individu bijak yang saling menguatkan dalam kebenaran.
Sebagai langkah konkret, penyebaran hoaks dapat diminimalisir dengan berpikir kritis, mengendalikan emosi, melakukan klarifikasi, dan memperluas wawasan. Al-Qur’an juga mengajarkan etika komunikasi yang baik, dengan menekankan pentingnya perkataan yang benar, baik, lemah lembut, mulia, dan baik. Kritis dalam menanggapi berita-berita yang tersebar, khususnya di media sosial, adalah langkah penting dalam menghadapi tantangan hoaks.
Dengan demikian, pemahaman mengenai hoaks dalam literatur sejarah Islam mengungkapkan kerentanannya di era modern ini. Dengan harapan bahwa penjelasan ini bermanfaat, mari kita berupaya bersama mengatasi tantangan hoaks demi kebenaran dan persatuan. Wallahu a’lam bisshawab.