Rasulullah mengajarkan umat Islam untuk berlemah lembut kepada sesama muslim dan keras kepada orang-orang kafir sebagaimana dalam Surat al-Fath [48] ayat 29 : Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” Demikian petikan pesan itu dibagikan untuk menegaskan sikap dan karakter umat Islam ketika berhadapan dengan orang kafir atau non muslim.
Dari pemahaman sepotong tersebut bahwa menjadi muslim yang sejati harus memiliki karakter yang keras terhadap orang kafir. Menunjukkan sikap yang tidak ramah dan selalu kaku. Kepada mereka tidak boleh lunak apalagi bekerjasama. Tidak ada ruang pertemanan dengan orang-orang kafir.
Petikan ayat 29 Al Fath: Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, seringkali meluncur di mimbar agama untuk memberikan semangat kepada jamaahnya agar tidak lunak dengan yang berbeda agama seperti orang kafir dan non muslim. Memang menggelegar, tetapi sesungguhnya miskin ilmu dan pemahaman terhadap al-Quran. Akibatnya, al-Quran menjadi tameng memupuk kebencian dan bersikap keras terhadap yang berbeda.
Pertanyaannya, bagaimana dengan ayat lain dalam al-Quran yang berbunyi : “Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS : Al Mumtahanah : 8). Apakah ayat umat Islam harus keras bertentangan dengan ayat umat Islam bisa berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang kafir dan non muslim?
Tentu mereka yang keukeuh dengan sikap keras akan menentangnya. Mereka akan bilang ayat Mumtahanah konteksnya berbeda, jangan disamakan dengan ayat al-Fath 29. Konteksnya berbeda. Inilah mestinya kata kuncinya.
Nah, jika konteksnya berbeda, maka memahami ayat harus sesuai dengan konteksnya dan diberlakukan dengan melihat konteks kekinian. Tidak boleh asal comot ayat kemudian disebarkan dan dipropagandakan membakar umat Islam untuk benci dan keras terhadap kafir dan non muslim di tempat dan waktu seperti saat ini.
Inilah salah kaprah memahami ayat 29 Surat Al Fath. Seolah Islam itu harus melakukan konfrontasi terus dengan yang namanya kafir, non muslim atau yang berbeda agama. Pemahaman ini dipegang oleh sebagian kecil generasi muda saat ini yang terlihat seolah militan, tetapi miskin asupan ilmu pengetahuan.
Karena itulah, mari kita pahami secara utuh (kaffah) agar tidak mudah mencomot ayat untuk pembenaran sikap yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Seolah umat Islam harus bersikap sangar saat ini kepada temannya yang berbeda agama, kafir dan non muslim. Pokoknya, jadi umat Islam harus memasang tampang sangar, judes, dan tidak usah menyapa kepada non muslim.
Inilah salah kaprah memahami ayat 29 Surat Al Fath. Seolah Islam itu harus melakukan konfrontasi terus dengan yang namanya kafir, non muslim atau yang berbeda agama. Pemahaman ini dipegang oleh sebagian kecil generasi muda saat ini yang terlihat seolah militan, tetapi miskin asupan ilmu pengetahuan. Pokoknya asal comot ayat dan hadist, tetapi tidak memiliki dasar ilmu. Satu-satunya dasar ilmu bagi mereka adalah terjemahannya.
Meluruskan Pemahaman Ayat
Memahami al-Fath [48] ayat 29 sebagai salah satu karakter Nabi dan para sahabat yang keras terhadap semua kafir bukan hanya salah pemahaman, tetapi berpotensi merusak citra Islam itu sendiri. Dalam sejarah praktek pengalaman hidupnya, Rasulullah kerap sekali mengadakan dialog, kerjasama, transaksi dan perjanjian dengan orang kafir atau non muslim. Sangat fatal jika dipahami Nabi sangat keras terhadap orang kafir dalam kondisi apapun.
Ayat 29 di atas harus dipahami dengan ilmu bukan dengan terjemahan belaka. Ayat tersebut turun dalam suasana ketegangan dan konfrontasi, bukan suasana damai sebagaimana Nabi membangun perjanjian Madinah dengan orang Yahudi. Konteks ayat tersebut karena Nabi beserta romobongan dihalang-halangi untuk melaksanakan ibadah haji oleh kafir Quraisy.
Dari proses ketegangan itulah muncul ayat tersebut dan keluarlah apa yang disebut dengan perjanjian damai hudaibiyah (Sulh Hudaibiyyah). Jika dibaca dalam perspektif para sahabat ketika itu, perjanjian itu justru menunjukkan lunaknya Nabi dan banyak para sahabat yang bersikap keras dan keberatan dengan perjanjian yang dianggap merugikan tersebut.
Imam Ibn Abbas generasi awal para penafsir al-Quran mengatakan ayat 29 tersebut berlaku untuk para sahabat yang mengalami peristiwa Hudaibiyah. Sahabat yang menyertai Nabi dalam khitab ayat tersebut adalah Abu Bakar, yang keras terhadap orang kafir adalah Umar, yang berkasih sayang sesama mereka adalah Ustman, dan yang rukuk dan sujud adalah Ali bin Abi Thalib.
Sejatinya, konteks ayat tersebut Nabi sedang mengalami ketegangan dengan orang kafir yang ingin menghalangi Nabi untuk melaksanakan Haji. Apa yang dilakukan Nabi bukan justru bersifat keras dan melakukan konfrontasi, tetapi justru melakukan kontrak perdamaian dengan orang kafir yang dikenal perjanjian Hudaibiyah.
Jika memahami konteks tersebut, sesungguhnya adalah serampangan dan salah fatal jika memotong ayat 29 dijadikan dalil agar umat Islam bersikap keras dan kaku terhadap non muslim di segala kondisi apalagi kondisi damai. Bukti kongkret adalah setelag Nabi menaklukkan Makkah dalam kondisi damai apa yang dilakukan Nabi terhadap kafir Quraisy?
Apa yang dilakukan Nabi bukan justru bersifat keras dan melakukan konfrontasi, tetapi justru melakukan kontrak perdamaian dengan orang kafir yang dikenal perjanjian Hudaibiyah.
Apakah Nabi bersikap keras terhadap orang kafir Quraisy dan melakukan balas dendam? Apakah dengan dalil di atas Nabi selalu menampakkan muka permusuhan dan keras terhadap orang kafir Quraisy?
Inilah yang tidak dipahami atau ditutupi oleh mereka yang menganggap ayat 29 itu sebagai pembenaran berlaku keras terhadap orang kafir. Ketika Rasulullah menaklukkan Makkah dan mempunyai kesempatan untuk melakukan balas dendam atas kekejian yang diterima Nabi dan pengikutnya di Makkah dahulu, Nabi justru menampakkan akhlak mulia terhadap orang kafir Quraisy. Nabi tidak seperti dipahami sepenggal ayat 29 itu dengan mengatakan Nabi keras terhadap orang kafir. Nabi memaafkan dan memerdekakan dan menjamin keamanan masyarakat Quraisy yang pernah mengusirnya.
Jadi, pemahaman sepenggal ayat 29 Al fath yang dipelintir sikap Nabi keras terhadap orang kafir dan karenanya umat Islam harus keras terhadap non muslim saat ini sungguh pemahaman yang salah. Menjadikan ayat tersebut agar kita tidak bergaul dengan ramah dengan yang berbeda agama di lingkungan Pendidikan, di kantor, di lingkungan masyarakat adalah kesalahan penafsiran dan pemenggalan ayat Tuhan dari makna sebenarnya.