Jika diri merasa nikmat tatkala bermesraan dengan maksiat atau diri sedang bermalas-malasan dalam kebaikan, maka hendaknya ia menghukum dirinya sendiri dengan ber-muhasabah. Hendaknya seseorang senantiasa menghukum dirinya sendiri sebelum menghukumi orang lain.
Menghukum diri sendiri dengan mengerjakan amal ketaatan tertentu karena telah tertinggal suatu amal ibadah atau telah melakukan suatu maksiat itu diperbolehkan dalam Islam. Hal ini telah dicontohkan oleh orang-orang saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat, tabiin, dan orang-orang saleh sesudah mereka.
Di antara bentuk hukuman terhadap diri sendiri adalah dengan melazimkan atau mengharuskan bagi dirinya untuk melakukan suatu amalan ketaatan. Hal ini untuk mendidik diri sendiri sebagai bentuk tambalan atas berbagai kekurangan, sebagai bentuk koreksi atas kealpaan dirinya atas berbagai hal yang ditinggalkan, dan sebagai kiat melawan hawa nafsu. Demikianlah contoh para sahabat dan orang saleh terdahulu.
Teladan salaf dalam menghukum diri
Teladan pertama diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan bahwa suatu ketika ayahanda beliau, yaitu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ketika keluar ke perkebunan miliknya tersibukkan dengan mengurusi kurma-kurma di kebunnya. Tatkala pulang, orang-orang telah selesai menunaikan salat asar. Maka, dia berkata,”Sesungguhnya saya keluar ke perkebunanku dan ketika pulang, orang telah menyelesaikan salat asar.” Maka, beliau pun menyatakan bahwa kebun kurma tersebut beliau sedekahkan untuk orang-orang miskin. (Lihat ‘Umdatul Qari, 12: 173)
Kisah teladan selanjutnya berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Qais radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَصَلَّيْتُ مَعَهُ الصُّبْحَ، ثُمَّ انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَنِي أُصَلِّي، فَقَالَ: مَهْلاً يَا قَيْسُ، أَصَلاَتَانِ مَعًا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي لَمْ أَكُنْ رَكَعْتُ رَكْعَتَيِ الفَجْرِ، قَالَ: فَلاَ إِذَنْ
“Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (untuk salat jemaah). Maka, dikumandangkanlah ikamah, lantas aku salat Subuh bersama beliau. Kemudian, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai dari salat, beliau mendapatiku hendak mengerjakan salat, maka beliau bersabda,
‘Sebentar wahai Qais, apakah ada dua salat yang dikerjakan secara bersamaan?’
Maka, aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku belum mengerjakan salat dua rakaat sunah fajar.’
Lantas, beliau bersabda, ‘Kalau begitu tidak mengapa.’” (HR. Tirmidzi no. 422)
Bentuk hukuman kepada diri sendiri dari kisah para salaf berikutnya diriwayatkan bahwa Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu senantiasa menunaikan salat malam (tahajud). Suatu malam, beliau ketiduran sehingga tidak menunaikan salat tahajud sampai terbit fajar (subuh). Maka, beliau menunaikan qiyamul lail selama satu tahun dan beliau tidak tidur sebagai hukuman karena ketiduran pada malam itu. (Lihat terjemahan ‘Ihya ‘Ulumuddin, hal 40)
Adz-Dzahabi rahimahullah mengisahkan bahwa seorang ulama bernama Abdullah bin Wahb rahimahullah pernah berkata, “Saya bernazar bahwa tiap kali saya menggibah seseorang, maka saya akan berpuasa satu hari. Maka, hal ini sangat membuatku kepayahan. Karena saat itu, saya menggunjing lalu berpuasa.” (Lihat Siyar A’lam Nubala, 9: 228)
Dan masih banyak kisah teladan salaf yang lainnya.
Berdasarkan kisah-kisah teladan menghukum diri dengan muhasabah di atas, maka dianjurkan menghukum diri sendiri dengan standar yang tinggi pada dirinya, tetapi jangan menggunakan standar yang sama untuk orang lain.
Motivasi untuk menghukum diri sendiri
Syekh Muhammad Al-Munajjid hafizhahullah menerangkan bahwa agar seseorang termotivasi untuk terbiasa menghukum dirinya sendiri. Di antara hal tersebut, yaitu:
Pertama, mengingat-ingat berbagai ayat dan riwayat mengenai besarnya pahala suatu amalan, meskipun amalan tersebut kecil (sepele). (Lihat Al-Muhasabah, hal. 48). Misalnya sebagaimana kisah sahabat Qais di atas. Beliau mengetahui besarnya pahala salat sunah fajar (qabliyah subuh) sebagaimana yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
لَمْ يَكُنِ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ تَعَاهُداً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memperhatikan salat-salat sunah melebihi dua rakaat sunah fajar.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat sunah fajar lebih baik daripada dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim)
Demikian pula, yang dilakukan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengetahui bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan berbagai macam keutamaannya. Salah satunya bahwa salat tahajud merupakan salat yang paling utama setelah salat wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam (tahajud).” (HR. Muslim)
Selain mengingat-ingat berbagai ayat tentang keutamaan (besarnya pahala) suatu amalan, hendaknya juga merenungkan ayat-ayat yang menjelaskan perihal besarnya dosa dan hukuman suatu maksiat. Sebagaimana Abdullah bin Wahb yang menghukum dirinya karena mengetahui bahaya dan besarnya dosa gibah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ يَغْتِبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
“Dan janganlah sebagian kalian menggibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka, bertakwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima tobat dan Maha Pengasih.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Dalam hadis juga disebutkan tentang hukuman pelaku gibah di akhirat. Hal ini sebagaimana hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُِ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
”Pada malam Isra’, aku melewati sekelompok orang yang melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka.” Lalu aku (Anas bin Malik) bertanya, ”Siapakah mereka, ya Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang menggibahi manusia, dan mencela kehormatan-kehormatan mereka.” (HR. Ahmad, 3:223)
Kedua, hendaknya merenungkan riwayat maupun kisah-kisah keadaan para orang saleh terdahulu dalam menghukum dirinya sendiri. Demikian agar senantiasa timbul semangat dalam mengoreksi dirinya. (Lihat Al-Muhasabah, hal. 48)
Dari Syaddad bin Aus, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺍﻟْﻜَﻴِّﺲُ ﻣَﻦْ ﺩَﺍﻥَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﻟِﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ
“Orang yang berakal (cerdas) adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya, dan memperbanyak amalan untuk bekal mati.” (HR. Tirmidzi no. 2459. Lihat Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, hal. 58)
Semoga kita senantiasa mendapatkan taufik agar menjadi orang yang dimudahkan dalam menghukum diri dengan muhasabah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian.
***
Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86852-menghukum-diri-dengan-muhasabah.html