Hukum Istri Memandikan Jenazah Suami dalam Islam

Hukum Istri Memandikan Jenazah Suami dalam Islam

Bolehkan seorang istri memandaikan jenazah suami? Apa pandangan ulama mahzah terkait masalah ini?

ASSALAMU’ALAIKUM. Apa hukumnya jika seorang perempuan memandikan jenazah suaminya, sadangkan terkadang ada situasi di mana tidak ada kaum lelaki yang memandikan jenazahnya? Nisa | Jakarta

***

Walaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Syari`at Islam memberi penghormatan dan pemuliaan kepada manusia. Salah satu dari perkara syari`at yang berkenaan dengan itu adalah kewajiban bagi umat Islam untuk membersihakan dan memandikan jenazah.

Memandikan jenazah hukumnya fardhu kifayah menurut kesepakatan umat Islam. Yakni jika ada pihak yang melaskanakannya maka gugurlah kewajiban bagi pihak lain. Namun jika semuanya tidak melaksanakan, maka semuanya berdosa. (Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 5/128).

Hukum asal, bahwasanya pihak yang memandikan jenazah memiliki jenis kelamin yang sama dengan jenazah. Imam Al Kasani dari Madzhab Hanafi menyatakan, ”Jenis kelamin tertentu memandikan jenis yang sama, lelaki memandikan lelaki, perempuan memandikan perempuan. Hal itu karena dibolehkan menyentuh tanpa syahwat bagi sesamaa jenis di saat dalam kondisi hidup, maka demikian pula dalam kondisi setelah wafat.” (Badai` Ash Shanai`, 1/304).

Kesepakatan Ulama Dibolehkan Istri Memandikan Suami

Adapun hukum seorang istri memandikan jenazah suaminya, maka para ulama pun sepakat membolehkannya, tanpa melihat kondisi darurat atau tidak.

Imam Ibnu Al Mundzir menyatakan; ”Dan para ulama bersepakat bahwa seorang perempuan boleh memandikan suaminya jika sang suami sudah meninggal.” (Al Ijma` li Ibni Al Mundzir, 44/78).

Dalil dari Hadits dan Amalan Para Sahabat

Para ulama juga berhujjah dengan hadits:

عَن عَائِشَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَت: لَو اسْتقْبلتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرت مَا غَسَّلَ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَّا نِسَاؤُهُ (أخرجه الحاكم وقال: صحيح على شرط مسلم).

“Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata,”Kalau sekiranya aku saat ini bertemu dengan persoalan yang telah lalu, tidak ada yang memandikan Rasulullah kecuali para istri beliau.” (Riwayat Al Hakim dan ia berkata, ”Shahih sesuai dengan syarat Muslim”, 3/61).

Para ulama juga berhujjah dengan perbuatan para sahabat, bahwasannya Abu Bakr Ash Shiddiq dimandikan oleh istrinya, yakni Asma` bint Umais. Demikian pula Abu Musa Al Asy`ari, dimandikan oleh istrinya yang bernama Umm Abdillah (Riwayat Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, 3/409).

Para ulama empat madzhab juga menegaskan, bahwasannya istri boleh memandikan jenazah suaminya.

Madzhab Hanafi

As Samarqandi Al Hanafi menyatakan: ”Adapun jika keduanya suami istri, maka istri yang masih menjalani masa iddah karena kematian suami, maka dibolehkan baginya memandikan suaminya menurut ijma`.” (Tuhfah Al Fuqaha`, 1/240).

Madzhab Maliki

Imam Ibnu Rusyd mengutip pendapat Imam Ibnu Al Qasim: ”Adapun perempuan ia boleh memandikan suaminya, dan suami boleh memandikan istrinya, baik dalam kondisi bermukim maupun sedang melakukan safar.” (Al Bayan wa At Tahsil, 2/262).

Madzhab Syafi`i

Imam An-Nawawi berkata:  ”Bagi perempuan boleh memandikan jenazah suaminya. Namun jika suaminya mentalaknya dengan talak raj`i (talak yang memungkinkan untuk rujuk), sedangkan salah satu dari keduanya wafat di masa iddah, maka satu sama lain tidak boleh memandikan, karena diharamkan melihat ketika masih hidup.” (Raudhah Ath Thalibin, 2/104).

Madzhab Hanbali

Az-Zarkasyi menyatakan:  ”Perempuan boleh memandikan istrinya. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan para ulama madzhab, dan Imam Ahmad, Ibnu Al Mundzir, serta Ibnu Abdi Al-Barr bahwa perkara itu merupakan ijma`.” (Syarh Az Zarkasyi, 2/336).

Dari paparan di atas bisa diambil kesimpulan bahwasannya dibolehkan bagi istri untuk memandikan suaminya, baik ada laki-laki yang memandikannya maupun tidak ada. Wallahu a`lam bish shawab.*/Thoriq, LC, MA, redaktur rubrik fikihMajalah Suara Hidayatullah

HIDAYATULLAH