Toleransi Beragama Nabi Muhammad SAW

Toleransi Beragama Nabi Muhammad SAW

Berikut ini artikel tentang toleransi beragama Nabi Muhammad.  Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad saw. tercatat pernah berdakwah melalui surat dimulai ketika terjadi gencatan senjata yang dikenal dengan perjanjian damai Hudaibiyah (Sulhu Hudaibiyyah) pada tahun ke-6 hijriah hingga beliau wafat, yakni tahun ke-10 Hijriah (Lings, 2007: 489-491). 

Dalam mendakwahkan Islam dengan sarana tulisan yang berupa surat resmi berstempel kenabian ini, kesuksesan banyak diraih. Dalam surat Nabi Muhammad Saw. yang disampaikan kepada raja-raja yang non muslim dikatakan bahwa hanya Islam lah agama yang menjamin keselamatan, khususnya dari azab Allah di Akhirat kelak. Akan tetapi, dalam surat tersebut terungkap pula bahwa Islam juga sebenarnya membebaskan mereka untuk memeluk agamanya masing-masing, tanpa paksaan.

Hal ini ditemukan dalam penutup akhir surat yang dikirimkan kepada Kaisar Heraklius (Herkules) dan Raja Muqauqis (Cyrus) 

فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslim)” (al-Bukhari, 1314 H: 9). 

Dalam kalimat akhir surat ini, yang juga merupakan kutipan dari Surah Ali Imran (3) ayat 64, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad hanya sebatas mendakwahkan ajaran Islam. Jika penerima surat berpaling dan tidak menerima ajakan tersebut, ia diminta mempersaksikan bahwa Nabi Muhammad beserta pengikutnya telah menjadi orang yang berserah diri terhadap ajaran Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yakni Islam.

Sikap toleransi beragama yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam kalimat akhir suratnya kepada Kaisar Heraklius dan Raja Muqawqis sebagai wujud bahwa Islam bukanlah agama yang memaksa. Kewajiban Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan ajaran Islam, tidak boleh memaksakan semua orang untuk beragama Islam. Hal ini tentu dilandasi dengan firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 256, لا إكراه في الدين “Tiada paksaan dalam beragama”.

Adapun sikap toleransi beragama Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat pada wilayah kekuasaan yang telah menjadi milik Islam adalah mereka tidak akan diganggu dalam wilayah Islam asalkan mereka telah membayar jizyah. Hal ini tertuang dalam surat Nabi Muhammad kepada Raja al-Hāris al-Himyāri di Yaman berikut. 

وَمَنْ كَانَ عَلى يَهُوْدِيَّتِهِ أوْ نَصْرَانِيَّتِهِ، فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ عَنْهَا، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ عَلىَ كُلِّ حَالِمٍ ذَكَرٍ وَأُنْثَى، حُرٍّ أوْ عَبْدٍ دِيْنَارٌ وَافٍّ، مِنْ قِيْمَةِ الْمَعَافِرِ أوْ عِوَضَهُ ثِياَباً. فَمَنْ أَدَّى ذَلِكَ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ فَإِنَّ لَهُ ذِمَّةَ اللهِ وَذِمَّةَ رَسُوْلِهِ، وَمَنْ مَنَعَهُ فَإِنَّهُ عَدُوٌّ  للهِ وَلِرَسُوْلِهِ 

Siapa yang tetap dalam agama Yahudi maupun Nasrani, maka biarkanlah, ia harus membayar jizyah bagi setiap orang yang telah baligh, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau sahaya, sebesar satu dinar, yang berlaku pada penduduk Ma’afir, atau dapat menggantinya dengan sejumlah pakaian. 

Siapa yang memberikan itu semua kepada Rasulullah, maka ia berhak menerima perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya, siapa yang menolaknya, ia merupakan musuh Allah dan Rasul-Nya (Ibn al-Asir, t.t. [II]: 317).

Dari kutipan surat yang dikirim pada tahun ke-9 H ini diketahui bahwa apabila pemeluk agama Yahudi maupun Nasrani tetap ingin menganut agamanya masing-masing tidak ada paksaan bagi mereka. Mereka dibebaskan oleh Nabi Muhammad saw memeluk agamanya, setelah sebelumnya terlebih dahulu diajak memeluk Islam. 

Padahal, jika Nabi Muhammad saw. berkehendak, dapat saja ia memaksa umat Yahudi dan Nasrani yang ada di Yaman untuk memeluk Islam karena ketika itu telah memiliki pengikut dalam jumlah besar.

Namun, Islam bukanlah agama yang sifatnya memaksa. Nabi Muhammad, selaku pemimpin agama dan negara sekaligus, memberikan pilihan kepada mereka jika ingin tetap tinggal di wilayah Islam dan menjalankan kewajiban agama mereka tanpa ada gangguan dari pihak muslim, yakni berupa kewajiban membayar jizyah.

Apabila hal ini telah mereka lakukan, mereka dapat hidup berdampingan dengan pemeluk Islam yang ada di wilayah kekuasaan negara Islam yang berada di bawah Nabi Muhammad.

Adapun kewajiban membayar jizyah bagi mereka yang ingin tetap memeluk agamanya masing-masing dan ingin tetap tinggal di wilayah negara Islam, merupakan suatu kewajaran, yang diantara fungsinya sebagai berikut:

 1) Perlindungan dan Keamanan: Jizyah memberikan perlindungan dan keamanan kepada non-Muslim yang tinggal di negara Islam. Dengan membayar pajak ini, mereka dijamin kebebasan beragama dan hak-hak mereka diakui dan dilindungi oleh negara, 

2) Kontribusi Sosial: Jizyah menjadi cara bagi non-Muslim untuk berkontribusi dalam pengelolaan dan pembangunan negara yang mereka tinggali, meskipun mereka tidak diwajibkan untuk berpartisipasi dalam kewajiban militer.

 3) Penguatan Ekonomi: Penerimaan dari jizyah dapat membantu pemerintah dalam membiayai berbagai layanan publik, infrastruktur, dan program sosial yang menguntungkan seluruh penduduk, termasuk non-Muslim.

 4) Kesetaraan di Mata Hukum: Jizyah bertujuan untuk menciptakan kesetaraan di mata hukum antara warga Muslim dan non-Muslim dalam suatu negara Islam. Para pemeluk agama lain harus diperlakukan secara adil dan setara.

 5) Penghormatan Terhadap Non-Muslim: Meskipun non-Muslim membayar jizyah, mereka tidak diwajibkan untuk mematuhi kewajiban agama Islam atau terlibat dalam urusan internal komunitas Muslim.

Apabila mereka telah melakukan ini semua, mereka disebut dengan ahlu dzimmi (non muslim yang berada dalam tanggungan Islam karena telah membayar jizyah). Darah mereka haram ditumpahkan oleh umat Islam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullāh bin ‘Amr dalam hadis berikut.

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Siapa yang membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun (An-Nasa’i, 2001 [VIII]: 78).

Tidak hanya kepada ahlu dzimmi, kepada mu’āhad (non muslim yang mengadakan gencatan senjata untuk beberapa waktu lamanya) pun Nabi Muhammad memberi ancaman yang sama:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Siapa yang membunuh orang mu’ahad, dia tidak akan mencium bau surga yang aromanya telah tercium selama perjalanan empat puluh tahun (al-Bukhari, 1314 H: no. 2930).

Dari pernyataan yang tertuang dalam hadis ini,  betapa berat ancaman religius dalam Islam bagi seorang muslim yang mengganggu non Muslim yang tidak menyerang agama Islam dan pemeluknya, yang mau hidup berdampingan dengan muslim lainnya. Nabi Muhammad saw. benar-benar serius dalam menjamin keselamatan non Muslim meskipun mereka tidak mau memeluk agama Islam. 

Muslim yang tidak mengindahkan peringatan Nabi Muhammad ini, tidak akan masuk surga selama-lamanya. Ini sebuah konsekuensi religius paling berat dalam agama Islam, tetap beragama Islam, tetapi tidak bisa mencium bau surga, artinya akan berdiam di neraka selama-lamanya.

Nabi Muhammad juga memberikan kebebasan beribadah bagi mereka yang tidak memeluk Islam, karena memang Islam tidak pernah memaksa umat agama lain untuk memeluknya. Hal ini dapat diketahui dalam surat perjanjian antara kaum muslimin dengan kaum Nasrani di Najran. 

Di antara isi perjanjian itu menyebutkan bahwa Nabi Muhammad tetap membiarkan gereja-gereja berdiri tegak dan para pendeta tetap menjalankan aktivitasnya sebagai pemuka agama Nasrani. Redaksi lengkap perjanjian ini dapat dilihat dalam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (1399 H [III]: 942).

Selain agama Nasrani, yang saat ini dikenal dengan Kristen Katolik dan Kristen Protestan, pada masa pemerintahan Nabi Muhammad juga ditemukan banyak penganut agama-agama lain yang saling hidup berdampingan dengan umat Islam, seperti pemeluk agama Yahudi, Majusi, Saba’iyah, dan Watsaniyah (Pagan). Bahkan, dalam akhir hayatnya, Nabi Muhammad saw masih melakukan transaksi muamalah kepada seorang Yahudi, Abu Syahm. 

Beliau menggadaikan baju besinya kepada Yahudi tersebut untuk keperluan sehari-hari. Belum sempat baju besi yang tergadai tersebut ditebus, Nabi Muhammad saw. lebih dahulu meninggal dunia dan akhirnya baju besi tersebut ditebus oleh menantunya, Ali bin Abi Thalib. 

Bukankah masih banyak sahabat Nabi Muhammad saw yang siap membantu beliau saat itu? Mengapa Nabi Muhammad saw lebih memilih bertransaksi dengan seorang Yahudi? Tentu banyak pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa ini, yang titik tekannya pada komunikasi sosial dan tolong menolong sesama umat antar agama.

Menurut Moltmann (via Cobb Jr., 1999: 35) sikap toleransi yang diajarkan oleh Nabi Muhammad termasuk dalam toleransi yang produktif (productive tolerance), yaitu sikap saling menghargai dan menerima perbedaan dengan cara yang memungkinkan untuk berkolaborasi, meningkatkan pertumbuhan, dan perkembangan yang positif bagi individu dan masyarakat. 

Bagaimana tidak, Nabi Muhammad tidak hanya melindungi kebebasan beragama bagi non Muslim, ia juga menjamin keselamatan nyawa mereka, bahkan tidak segan-segan berinteraksi sosial dalam kehidupan sehari-hari bersama mereka, tetangga non Muslim yang hidup berdampingan di Madinah.

Apabila Nabi Muhammad bersikap acuh tak acuh terhadap non muslim mu’āhid atau ahlu dzimmi, maka sikap toleransi yang demikian disebut oleh Moltman dengan toleransi yang skeptis (skeptical tolerance) yakni sikap atau pandangan yang mengakui dan menghargai hak seseorang untuk meragukan klaim, ide, atau keyakinan tertentu.

Dalam kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat yang pluralis ini, sudah sepantasnya sikap toleransi produktif yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. menjadi landasan sehari-hari bangsa Indonesia di mana pun dan sampai kapan pun. Khususnya dalam berinteraksi antar pemeluk agama yang berbeda, selagi tidak ada ancaman fisik terhadap kita sebagai sesama manusia.

Demikian penjelasan terkait toleransi beragama Nabi Muhammad SAW. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH