Rabu kemarin (08/11), Komisi fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan Terhadap Perjuangan Palestina. Pada poin nomor dua dan tiga, fatwa MUI tersebut adalah hukum boleh menyalurkan zakat untuk korban perang di Palestina.
Hukum Zakat untuk Korban Palestina
Berdasarkan hasil fatwa MUI, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina saat ini hukumnya wajib. Dukungan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan mendistribusikan infaq, sedekah, dan zakat untuk kepentingan perjuangan rakyat Palestina
Pertama, dukungan di atas, termasuk dengan mendistribusikan zakat, infaq dan sedekah untuk kepentingan perjuangan rakyat Palestina.
Kedua, Pada dasarnya dana zakat harus didistribusikan kepada mustahik yang berada di sekitar muzakki. Dalam hal keadaan darurat atau kebutuhan yang mendesak dana zakat boleh didistribusikan ke mustahik yang berada di tempat yang lebih jauh, seperti untuk perjuangan Palestina.
Kedua poin dalam fatwa itu, bagaimanapun, layak mendapatkan perhatian khusus, terutama dari para dai dan influencer. Agar bertambah dukungan kepada perjuangan rakyat Palestina dalam berbagai bidang. Adapun para dai dan influencer merupakan diantara garda terdepan pemilik cerobong informasi untuk umat belakangan ini.
Tinjauan Fiqh
Dalam lembaran fatwa MUI tersebut, terkait hukum zakat boleh untuk korban Palestina, salah satu kutipan yang menjadi poin bagian “memperhatikan” diambil dari catatan tambahan (Taqrir) al-Sayyid al-Bakri di pinggir kitab beliau, I’anah al-Thalibin. Berikut ini saya kutip langsung dari kitab tersebut:
وَمُقَابِلُ الْمَشْهُوْرُ جَوَازُ النَّقْلِ، وَهُوَ مَذْهَبَ الْاِمَامِ أَبِىْ حَنِيْفَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ وَكَثِيْرٌ مِنَ الْمُجْتَهِدِيْنَ، مِنْهُمُ اْلاِمَامُ الْبُخَارِيُّ فإنه ترجم المَسْألَة بِقَوْلِهِ باب أخْذِ الصَّدقة من الأغنياء وترد على الفقراء حيث كانوا قَالَ شَارِحُهُ الْقَسْطَلاَنِىُّ: ظَاهِرُهُ أَنَّ الْمُؤَلِّفُ يَخْتَارُ جَوَازَ نَقْلِ الزَّكَاةِ مِنْ بَلَدِ الْمَالِ
“Menurut lawan pendapat yang masyhur; boleh hukumnya memindahkan zakat dari wilayah asalnya. Itu adalah madzhab Imam Abu Hanifah ra dan banyak ulama mujtahid lain, diantaranya Imam al-Bukhari.
Imam al-Bukhari bahkan menjadikan persoalan ini sebagai salah satu judul bahasan dalam kitab hadits beliau, dengan menuliskan; Bab Tentang Memungut Zakat dari Orang-orang Kaya, Kemudian Didistribusikan Kepada Orang-orang Fakir di Manapun Mereka.
Syaikh al-Qasthalani, salah satu pensyarah Shahih Bukhari, mengatakan; secara lahir, pengarang (Imam al-Bukhari) membolehkan untuk memindahkan zakat dari wilayah asalnya”. (Lihat Sayyid Bakri, Taqrir I’anah dalam I’anah al-Thalibin, 2/187)
Saya sengaja mengutip teks Taqrir dari kitab I’anah al-Thalibin itu lebih panjang, agar bisa menangkap kerangka persoalan. Meskipun kutipan saya itu belum menyeluruh, paling tidak dengan sebegitu telah membantu mengenali siapa ulama yang dimaksud oleh penulis Taqrir. Supaya pembaca mengenali pula para ulama tersebut.
Di dalam Kitab I’anah al-Thalibin sendiri, al-Sayyid al-Bakri juga menukil satu komentar penting tentang boleh memindahkan pendistribusian zakat dari wilayah asalnya. Pendapat itu berasal dari ulama Mazhab Syafi’i, Ibnu ‘Ujail al-Yamani (w. 696 H).
Beliau mengatakan bahwa kebolehan mengalihkan distribusi zakat dari wilayah asalnya, ialah di antara topik zakat yang fatwanya boleh keluar dari pendapat yang kuat di jalur Mazhab Syafi’i (al-Mazhab). Begini kata beliau:
قال ابن عجيل اليمني ثلاث مسائل في الزكاة يفتى فيها على خلاف المذهب، نقل الزكاة، ودفع زكاة واحد إلى واحد، ودفعها إلى صنف واحد.
“Ibnu ‘Ujail al-Yamani mengatakan; tiga permasalahan zakat yang difatwakan berbeda dengan pendapat yang kuat (al-Madzhab), kebolehan memindah zakat (dari wilayah asalnya), kebolehan menyerahkan zakatnya satu jiwa kepada satu orang (dari seluruh asnaf yang ada), dan kebolehan memberi zakat kepada satu golongan (dari yang delapan).” (Lihat Sayyid Bakri, I’anah al-Thalibin, jilid 2, halaman 187)
Ibnu ‘Ujail bukanlah satu-satunya ulama Mazhab Syafi’i yang mengatakan boleh memindahkan pendistribusian zakat dari wilayah asalnya. Selain beliau ada juga Ibnu Shalah (w. 643 H), Ibnu Firkah (w. 729 H) dan sekelompok ulama Mazhab Syafi’i lain. Pendapat ini bahkan menjadi pegangan banyak ulama dalam Mazhab Syafi’i, sebagaimana kutipan dari kitab Syekh ‘Amirah berikut ini:
قَوْلُهُ: (وَالثَّانِي يَجُوزُ إلَخْ) . هُوَ مَا أَفْتَى بِهِ ابْنُ الصَّلَاحِ، وَابْنُ الْفِرْكَاحِ عِنْدَ وُجُودِ مَصْلَحَةٍ مِنْ قَرِيبٍ، وَنَحْوِهُ، قَالَ الْبَغَوِيّ وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ
“Kata pengarang (dan menurut qaul tsani boleh sampai akhir—yaitu boleh memindahkan pendistribusian zakat dari wilayah asalnya) itu adalah fatwa Ibnu Shalah dan Ibnu Firkah, ketika ada maslahat/kemanfaatan, seperti kerabat atau semisalnya. Imam al-Baghawi mengatakan; banyak ulama yang berpegang kepada pendapat itu. (Lihat Qulyubi dan ‘Amirah, Hasyiyah Qulyubi wa ‘Amirah, 3/203)
Meskipun banyak ulama mengizinkan untuk mengamalkan pendapat ini, tetap saja menurut pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafi’i tidak boleh hukumnya memindahkan pendistribusian zakat dari wilayah asalnya. Berikut penjelasan Imam al-Mahalli dalam kitab beliau:
(وَالْأَظْهَرُ مَنْعُ نَقْلِ الزَّكَاةِ ) مِنْ بَلَدِ الْوُجُوبِ مَعَ وُجُودِ الْمُسْتَحِقِّينَ فِيهِ إلَى بَلَدٍ آخَرَ فِيهِ الْمُسْتَحِقُّونَ
“(Menurut qaul azhar tidak boleh memindahkan zakat) dari wilayah yang diwajibkan mengeluarkannya, serta ada orang-orang yang berhak menerima zakat di wilayah itu. Tidak boleh dipindahkan ke wilayah lain yang di sana juga ada orang-orang yang berhak menerima zakat.” (Lihat al-Mahalli, Kanz al-Raghibin dalam Hasyiyah Qulyubi wa ‘Amirah, 3/202)
Hukum Penyaluran Zakat Untuk Rakyat Palestina
Adapun kasus pendistribusian zakat kepada rakyat Palestina kali ini diurus oleh pemerintah atau oleh lembaga yang diberi izin oleh pemerintah, seperti Baznas (Badan Amil Zakat Nasional). Kondisi perang membuat akses orang luar atas nama pribadi terbatas ke wilayah Palestina. Bahkan untuk sekedar mengantarkan zakat bisa menjadi tragedi mengantarkan nyawa.
Karena yang memindahkan pendistribusian harta zakat dari wilayah asalnya adalah pemerintah atau lembaga yang mendapat izin pemerintah, persoalan hukumnya menjadi berbeda.
Pendapat kuat yang melarang untuk memindahkan pendistribusian zakat dari wilayah asalnya itu, berlaku untuk kasus pendistribusian zakat secara personal. Sedangkan dalam hal pendistribusian zakat yang dikendalikan pemerintah, pendapat yang kuat adalah pemerintah boleh memindahkannya dari wilayah asal zakat.
وَفِي الرَّوْضَةِ كَأَصْلِهَا الْخِلَافُ فِي جَوَازِ النَّقْلِ وَتَفْرِيقُهُ ظَاهِرٌ فِيمَا إذَا فَرَّقَ رَبُّ الْمَالِ زَكَاتَهُ، أَمَّا إذَا فَرَّقَ الْإِمَامُ، فَرُبَّمَا اقْتَضَى كَلَامُ الْأَصْحَابِ طَرْدَ الْخِلَافِ فِيهِ، وَرُبَّمَا دَلَّ عَلَى جَوَازِ النَّقْلِ لَهُ، وَالتَّفْرِقَةِ كَيْفَ شَاءَ وَهَذَا أَشْبَهُ. (قَوْلُهُ وَهَذَا أَشْبَهُ) وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ
“Dalam kitab Raudhah al-Thalibin seperti kitab induknya (al-Muharrar); perbedaan pendapat tentang boleh memindahkan harta zakat dan mendistribusikannya tidak di wilayah asal adalah nyata pada kasus pendistribusian oleh pemilik zakat. Adapun kalau yang mendistribusikan pemerintah bisa jadi kesimpulan kalam tokoh-tokoh Mazhab Syafi’i menghalau perbedaan pendapat tersebut.
Boleh jadi hal itu mengindikasikan kebolehan memindahkan dan mendistribusikan zakat sesuai keinginan pemerintah. Pendapat ini lebih kuat. ‘(Kata Imam Mahalli ‘wa hatza asybah) itu adalah yang mu’tamad (resmi)’—Komentar Imam Qulyubi.” (Lihat al-Mahalli, Kanz al-Raghibin dalam Hasyiyah Qulyubi wa ‘Amirah, 3/203)
Dasar Perbedaan Pendapat
Dasar perbedaan pendapat tentang memindahkan pendistribusian zakat itu adalah perbedaan persepsi tentang hadis dari Sahabat Ibnu ‘Abbas ra. Hadis ini menceritakan tentang pesan Rasulullah Saw. kepada Sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika beliau diutus ke Yaman. Salah satu pesan Rasulullah Saw. kepada beliau adalah tentang pemungutan zakat. Berikut lafadz haditsnya dalam kitab Sahih Muslim, hadis nomor 19:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ في فُقَرَائِهِمْ
“Maka beritahulah mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) yang dipungut dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (Muttafaq ‘Alaih)
Ulama yang melarang untuk memindahkan zakat dari wilayah asalnya mendasarkan pendapatnya pada konteks hadis ini. Konteks hadis ini ialah Rasulullah Saw. tengah berpesan kepada Sahabat Muadz ra. tentang hal-hal yang mesti beliau ajarkan kepada penduduk Yaman. Sehingga seluruh lafaz yang bermakna “mereka” dalam hadis ini merupakan kata ganti dari orang-orang yang sesuai konteks hadis, yaitu penduduk Yaman.
Dengan demikian kalau “zakat dipungut dari orang-orang kaya mereka (penduduk Yaman)” maka juga “diberikan kepada orang-orang fakir mereka (penduduk Yaman). Hukum yang seperti itu berlaku untuk pemungutan zakat di seluruh daerah kaum muslimin. Begitu uraian singkat tentang sisi pandang pendapat ini.
Namun, Imam Nawawi mengomentari cara pandang pendapat ini dalam kitab Syarh Hadis Muslim. Beliau menuliskan:
وَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ لَيْسَ بِظَاهِرٍ لِأَنَّ الضَّمِيرَ فِي فُقَرَائِهِمْ مُحْتَمِلٌ لِفُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ وَلِفُقَرَاءِ أَهْلِ تِلْكَ الْبَلْدَةِ وَالنَّاحِيَةِ وَهَذَا الِاحْتِمَالُ أَظْهَرُ
“Cara berdalil ini rancu. Karena dhamir yang ada pada ‘fu-qa-raa-i-him’ berpotensi mengandung maksud orang-orang fakir kaum muslimin, dan orang-orang fakir dari penduduk negeri atau wilayah itu. Dan potensi itu nyata.” (Lihat Yahya bin Syarf an-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, 1/07).
Demikian penjelasan terkait fatwa MUI tentang hukum boleh zakat untuk korban perang Palestina.Wallahu ‘a’lam.