Berikut penjelasan terkait titik temu syura dengan demokrasi. Sudah lumrah, dalam konteks Islam, kita sering melihat dan menyandingkan syura dengan demokrasi. Konsep syura adalah perintah Tuhan yang langsung diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai teladan untuk umat. Syura adalah suatu proses pengambilan keputusan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan bersama.
Bahkan, syura juga gambaran tentang cara kaum beriman menyelesaikan persoalan dan urusan sosial mereka. Syura dalam al-Qur’an dijelaskan dalam dua surat, yakni dalam surat Asy-Syura ayat 38, dan surat Ali Imran ayat 159. Allah Swt. berfirman:
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوْا الصَّلٰوةَ ۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْ ۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura [42]: 38).
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِ ۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran [3]: 159).
Salah seorang tokoh dan filsuf bernama Al-Farabi mensyaratkan adanya pemimpin yang tidak otoriter dan bisa membimbing masyarakat dengan cara menyelesaikan masalah secara bersama-sama.
Demikian juga shura menurut Muhammad Syahrur yang mengandung dua pengertian. Pertama, syura sebagai prinsip mutlak sebagaimana iman kepada Allah, shalat, dan zakat. Kedua, syura sebagai praktik sehari-hari yang mengikuti laju sejarah yang dihuni oleh masyarakat apa pun, atau dengan kata lain, shura yang terstruktur secara historis.
Makna syura
Tentu saja, pada pengertian pertama, syura merupakan bagian fundamental iman untuk menjawab seruan Tuhan, di samping shalat dan zakat.
Dari sini kita tahu bahwa, Islam datang untuk memahamkan manusia bahwa gerakan revolusi apapun yang berjuang dengan tujuan kebebasan berakidah dan berpendapat, sebenarnya merupakan perjuangan yang bertujuan pada syura.
Begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang mencegah syura, tidak percaya kepadanya, sama halnya dengan orang yang mencegah shalat dan zakat. Hal ini untuk mengokohkan shura dari sudut pandang akidah sebelum praktik-praktik lainnya.
Oleh karena itu, orang Islam tidak boleh mengganti syura dalam aspek prinsip-prinsipnya, karena syura termasuk dasar-dasar akidah dan ibadah.
Sementara, dalam pengertian yang kedua, syura sebagai praktik historis yang meliputi aspek politik dan sosial ekonomi umat. Artinya, Allah Swt. memerintah Nabi Muhammad Saw. untuk bermusyawarah dengan manusia dalam masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan wahyu.
Jadi objek Ali Imran: 159 tersebut diarahkan kepada Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul yang berhubungan langsung dengan manusia yang semasa dengannya. Di sinilah, Nabi Muhammad mempraktikkan masalah ini dalam struktur masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai sosial-kultural dan historis.
Kekuasaan Tuhan
Adanya kekuasaan manusia bukan berarti menafikan kekuasaan Tuhan, karena secara teologis manusia dituntut untuk “mengatur” kehidupannya sendiri di dunia.
Kita tahu, bahwa dalam teologi Islam, persoalan ini sudah menjadi persoalan klasik yang diperdebatkan oleh para mutakallimin. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kehidupan manusia di dunia diatur dan dikontrol sepenuhnya oleh Tuhan (Jabariyah).
Artinya, manusia hanya sebagai “robot” yang semua gerak-geriknya sudah ditentukan dan diatur oleh Tuhan. Sebagian yang lain mengatakan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan (Qadariyah). Tuhan hanya sebagai Pencipta, dan manusia diberi kebebasan mengatur kehidupan mereka.
Berbeda dalam konteks demokrasi (syura), umat Islam secara umum dan umat Islam Indonesia secara khusus, masih memperdebatkan dan mempermasalahkan kedaulatan mutlak Tuhan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Natsir.
Hanya saja, rakyat tetap mempunyai kedaulatan. Artinya, dalam negara Islam, rakyat mempunyai dua hak, yaitu hak untuk menyusun undang-undang dan hak untuk memilih kepala negara. Pemikiran ini didasarkan pada ayat al-Qur’an surat Ali Imran [3]: 159, An-Nisa’ [4]: 59.
Karena itu, menerapkan kedaulatan rakyat bukan berarti mengingkari kedaulatan Tuhan. Meskipun agama berasal dari Tuhan, tetapi pada pelaksanaannya tetap melibatkan peran manusia. Maka disinilah perlunya penafsiran secara terus-menerus terhadap teks-teks agama guna melestarikan alam ciptaan Tuhan.
Nah, yang diperlukan sekarang bukan mempersoalkan kedaulatan rakyat dengan kedaulatan Tuhan, tetapi usaha untuk melakukan kebaikan sesama manusia ciptaan Tuhan di dunia inilah yang sangat penting.
Penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat Tuhan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, selalu diperlukan dan dibutuhkan sesuai dengan konteks kehidupan manusia.
Apakah syura hanya sebatas ajaran agama?
Bagi bangsa Indonesia, syura tidak hanya sebatas ajaran agama, tetapi juga sudah menjadi kebudayaan dan tradisi masyarakat Indonesia dalam memutuskan urusan-urusan bersama.
Secara teologis-sosiologis, masyarakat Indonesia tidak mempersoalkan muasal konsep tersebut dan tidak mempersoalkan kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat. Dengan demikian, maka muncullah ungkapan “demokrasi Indonesia” atau “demokrasi Pancasila”.
Syahdan, salah satu ciri wacana politik abad ke-20 adalah kenyataan bahwa hampir semua gerakan politik mengklaim diri bersifat demokratis, dan mengembangkan demokrasi.
Dalam hal ini, hampir tak ada kelompok politik yang dapat menghindar atau menolak klaim ini. Alasan yang mendasari fenomena ini adalah gagasan sentral demokrasi, bahwa semua kekuasaan diberikan oleh rakyat, dan bahwa penggunaan kekuasaan hanya sah jika mewakili kehendak rakyat.
Dengan demikian, wajar jika dikatakan bahwa demokrasi merupakan konsep yang diterima secara universal, termasuk di dunia Islam. Banyak teoretisi atau politisi yang secara eksplisit menulis atau bertindak dalam kerangka Islam, menyatakan bahwa teori politik mereka juga bersifat demokratis.
Bahkan, konsep negara dan pemerintahan Abu A’la al-Maududi dan Imam Khomeini selalu disebut teo-demokrasi Islam atau demokrasi Islam yang bersifat plebisit (plebiscitary Islam-democracy). Pun banyak juga penulis dari dunia Islam mengatakan bahwa Islam merupakan bentuk demokrasi yang sejati dan paling baik.
Akan tetapi, demokrasi yang menekankan pada suara rakyat mayoritas juga tidak terbebas dari kekurangan. Dalam demokrasi, legitimasi politik sering dipahami sebatas dalam koridor kehendak mayoritas, bukan pada pengetahuan tentang kebenaran, sehingga kesalahan dalam mengambil keputusan jarang dipersoalkan.
Catatan akhir
Kondisi ini akhirnya mengakibatkan benturan antara keadilan prosedural dan keadilan substantif. Bahwa kaum demokrat bisa dikatakan lebih mengutamakan keadilan prosedural yang berlandaskan suara mayoritas, yang dengannya keadilan substantif pun dapat tercapai.
Padahal, keadilan substantif hanya bisa diperoleh melalui pendekatan filosofis, yang menegaskan bahwa kebenaran tidak bisa diperoleh dari pengambilan keputusan yang salah.
Dua implikasi terkait dengan hal ini. Pertama, kekuatan rakyat seharusnya dibatasi oleh kebenaran tentang keputusan yang mereka ambil. Kedua, perlu adanya pengawasan kekuasaan evaluatif terhadap keputusan rakyat.
Ini bisa diwujudkan melalui pembentukan lembaga khusus yang terdiri dari orang- orang tertentu yang dinilai lebih memahami kebenaran dibanding kebanyakan orang. Artinya, lembaga ini kemudian diberi hak prosedural untuk mengintervensi pemerintah berdasarkan argumen substantif tentang kebenaran pengetahuan.
Sekalipun demikian, ada pula kalangan yang mendukung pemisahan demokrasi dari masalah kebenaran dengan mempertanyakan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan objektif tentang kebenaran.
Misalnya seperti Robert Dahl salah satu yang menekankan bahwa demokrasi harus terbebas dari pertanyaan-pertanyaan epistemologis ontologis tentang sifat dasar penilaian moral. Menurutnya, kita harus mencurigai siapapun yang mengklaim memiliki pengetahuan objektif tentang kebaikan.
Demikian penjelasan titik temu syura dengan demokrasi. Semoga titik temu syura dengan demokrasi bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawaab.